Penulis: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
SwaraSenayan.com. Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, dua sosok yang elektabilitasnya berada di papan atas untuk pilpres 2024. Selain Prabowo, Ketum partai Gerindra yang masih punya kans besar untuk nyapres.
Anies adalah mantan mendikbud, dan sekarang menjadi Gubernur DKI periode 2017-2022. Satu tahun lagi, Anies berakhir jabatannya. Tepatnya tanggal 16 Oktober 2022.
Pilpres rencananya digelar tahun 2024. Perkiraan bulan Juni 2023 pendaftaran Pilpres dibuka. Anies diuntungkan, karena punya waktu tujuh bulan untuk branding, mengaktifkan timses dan memaksimalkan seluruh jaringan menuju pendaftaran Pilpres.
Anies bukan kader partai. Lalu, partai apa yang akan mengusung Anies?
Bagi partai, mencalonkan kader sendiri itu bukan saja kebanggaan, tapi akan sangat menguntungkan. Ada keuntungan coattal-efect, juga tentu saja akan menjadi partai penguasa jika kadernya menang.
Kemenangan adalah prioritas utama bagi partai. Kader atau bukan, yang penting menang. Disinilah, Anies punya peluang.
Peluang Anies cukup besar untuk menang. Pertama, Anies punya performence. Tampilan sebagai presiden itu ada. Ganteng, wibawa, populer dan menghipnotis jika bicara. Ini akan menyasar preferenai psikologis.
Kedua, Anies punya banyak kontens. Yayasan “Indonesia Mengajar”, “Turun Tangan”, Rektor Paramadina, Mendikbud, Gubernur DKI, ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), berbagai prestasi yang diperoleh sebagai Gubernur DKI, jaringan luar negeri, dan kemampuan berbahasa Inggris yang bagus. Ini semua bisa diolah sebagai bahan kampanye.
Ketiga, ada lima kali debat Capres yang akan ditonton dan jadi pembicaraan nasional di semua lapisan. Mulai kantor belantai 59 hingga warung kopi, semua akan membicarakan debat Capres. Di sini, Anies punya kekuatan di gagasan dan kemampuan menyampaikan gagasan itu. Ini faktor yang sangat kuat untuk mempengaruhi mindset dan psikologi pemilih.
Tiga faktor ini akan menjadi pertimbangan parpol untuk menghitung posisi Anies.
Di sisi lain, ada Ganjar Pranowo. Ganjar adalah kader PDIP. Namun, tak ada kepastian apakah PDIP akan memberinya tiket. Di PDIP, ada Puan yang dijagokan.
Antara Ganjar dan Puan, beberapa bulan terakhir ini ada ketegangan. Puan sebagai kader DPP dan putri mahkota Ketum PDIP merasa dilangkahi Ganjar.
Tak ada pilihan bagi Ganjar jika ingin nyapres, harus berani menabrak tembok partai. Dan kerja keras Ganjar berhasil. Ganjar dengan upaya keras tim medianya berhasil meningkatkan elektabilitasnya.
Penampilan Ganjar yang renyah dengan kehadirannya di masyarakat secara intens, menjadi faktor penyumbang utama elektabilitas. Sementara faktor prestasi, nampak belum terlihat dari Ganjar. Kekuatan Ganjar bukan di prestasi, tapi di performence: sederhana, renyah, gaul dan banyak senyum. Jika ingin menyasar kelas menengah-atas, Ganjar mesti menunjukkan prestasinya. Mengingat bahwa bangsa ini lebih butuh prestasi seorang calon pemimpin, bukan penampilannya.
Apakah Puan dan DPP PDIP akhirnya menyerah dan memberikan tiketnya ke Ganjar? Semua masih terbuka kemungkinan.
Bagi PDIP, ini dilema. Satu sisi, Ganjar adalah kader potensial. Punya elektabilitas cukup tinggi. Di sisi lain, dalam waktu yang tak terlalu lama, akan ada suksesi kepemimpinan di PDIP. Jika suksesi di PDIP terjadi dan kekuasaan dipegang kader PDIP, tak menutup kemungkinan Puan bisa tersingkir. Lalu, trah Soekarno akan lenyap dari Partai Marhaenis ini.
Saat ini, PDIP masih dalam kendali Megawati. Megawati sangat kuat posisinya. Tak ada kader yang punya kekuatan untuk menggeser. Beda Mega, beda Puan. Soal ini, sudah banyak isu yang berkembang. Bahwa, PDIP adalah partai yang seksi untuk diperebutkan pasca Megawati.
Jika PDIP tak mengusung Ganjar, maka peluang untuk diusung partai lain tetap ada. Dengan satu catatan, elektabilitas Ganjar harus paling tinggi. Disini, peran presiden Jokowi sangat menentukan. Tanpa campur tangan kekuatan Jokowi, Ganjar bukan siapa-siapa.
Mengusung Ganjar bagi partai lain bukan tanpa risiko. Mengingat Ganjar adalah kader PDIP. Kader tetap kader. Apalagi, Ganjar cukup lama berkarir di PDIP. Tentu ini memiliki ikatan emosional, rasional dan sosial yang cukup kuat. Setiap saat Ganjar bisa kembali ke PDIP jika hajatan Pilpres sudah selesai. Sebab, PDIP adalah rumah yang paling nyaman buat Ganjar dengan semua histori, kolega dan konstutuennya.
Berbeda dengan Anies, karena bukan kader, maka saham dan posisioning partai akan lebih kuat. Anies bisa menjadi milik bersama, bukan milik partai tertentu. Di sini, ada kolektifitas yang memberi jaminan setiap partai untuk terlibat dalam kebijakan. Dan ini, tak mudah didapatkan jika mendukung kader partai lain.
Bagi partai besar seperti Golkar, mendukung Anies bisa menempatkannya menjadi dirijen. Jika mengusung Ganjar, nasib Golkar akan seperti saat ini, kalah gaung dan pengaruh dari PDIP.
Dari sisi karakter, Anies dan Golkar memiliki chemistry. Anies sosok yang egaliter, moderat dan terbuka. Begitu juga dengan Golkar, partai moderat dan sangat terbuka.
Hanya saja, Golkar biasanya kalah berani dan kalah cepat dengan langkah NasDem. NasDem dikenal sebagai partai yang berani ambil langkah cepat untuk mendukung Capres. Dan nampaknya, di pilpres 2024, NasDem menghindari satu gerbong dengan PDIP. Pengalaman 2019 membuat NasDem tak banyak bisa bergerak karena kuatnya pengaruh PDIP.
Bagaimana dengan PKS, PAN dan PPP? Jika tiga partai ini satu gerbong dengan PDIP, suaranya besar kemungkinan akan rontok. Konstituen tiga partai ini sedang marah terhadap PDIP.
Sementara Demokrat, wait and see. Mungkin akan menentukan pilihan di akhir. Sedangkan PKB? Muhaimin cukup lincah dalam lobi. Akan bergantung hasil negosiasi. Kecuali jika ia terpilih jadi Ketum PBNU. Konstalasi bisa berubah.
Jakarta, 3 Nopember 2021