Oleh: Rusdianto Samawa, Global Base Review (GBR)
SwaraSenayan.com – Sontak publik menilai Presiden Jokowi sesuatu yang aneh. Tapi sekaligus unik. Betapa tidak, Kalangjengking yang selama ini berhabitat diwilayah tropis, maka Indonesia dinilai potensi besar dan cocok untuk beternak Kalangjengking. Petani-petani dan rakyat miskin bisa lakukan ini secara enteng.
Ilustrasi Presiden Jokowi dalam sebuah video berdurasi pendek itu, katakan “cukup produksi 100 liter per bulan. Harga satu liter US $ 10.500.000,-. Hasil ekspor satu tahun: US $ 10.500.000,- x 1200 liter = US $ 12.6 milyar.”
Komentar Presiden itu, kalau pakai analisis teori komunikasi dengan pendekatan fenomena, maka ide Presiden dinilai peluang, sebaliknya juga bisa jadi konyol. Apalagi Presiden, jabatan politik, tentu pendekatan fenomenal itu melahirkan ide sekaligus degradasi sikap dan keputusan karena menunjukkan kebingungan sebagai kepala negara dalam mencari solusi ekonomi rakyat.
Menurut Litle John dalam buku ajar Komunikasi Politik, menjelaskan bahwa “isyarat dan pesan harus disampaikan secara lugas dan berhasil dicerna oleh publik dan bernilai tinggi.” Lalu, abstraksi pesan politik Jokowi dalam narasi “Bisnis Racun Kalajengking” sangat dangkal manfaatnya. Selaku Presiden mestinya argumentasi didasarkan pada realitas, bukan angan-angan karena sangat bertolak belakang dengan prinsip jabatannya dan tidak sesuai dengan nilai-nilai akademis.
Bayangkan saja, pesan Presiden itu berbanding sama dengan apa yang diucapkan oleh Gusdur “Krisis Beras, Rakyat Baiknya Tanam Cabai saja”, atau yang diutarakan oleh Amran Menteri Pertanian, ketika terjadi krisis daging, rakyat disarankan makan “Keong Sawah”. Begitu juga, Menteri Kesehatan tentang polemik Cacing dalam ikan kaleng makarel, malah sarankan rakyat “Cacing mengandung vitamin”. Masya Allah, Lalu, Presiden memberikan saran kepada rakyatnya atasi krisis ekonomi dengan “Beternak dan Berbisnis Kalajengking.” Ini khayalan tingkat paripurna.
Sesungguhnya, Presiden dan menteri pejabat negara yang diharapkan oleh rakyat untuk memberi solusi ekonomi jangka pendek dan panjang. Namun, haruslah realistis ekonominya sebagai security pangan nasional. Tapi, kalau Kalangjengking, tidak memberi efek ekonomi yang baik.
Lantas, saran bisnis racun Kalangjengking yang disampaikan Presiden Jokowi itu akan menjadi realitas kiblat ekonomi rakyat ataukah hanya khayalan?. Tentu, jelas sekali, apabila Kalangjengking yang berstatus kecil, mungil dan besar itu menjadi poros ekonomi. Mengapa tidak dari dulu, seolah dunia runtuh?.
Sementara poros maritim yang sudah sangat jelas pondasi sejarah, ide, visi misi dan sistemnya belum mampu untuk melaksanakannya. Lalu, ekonomi bisnis Kalangjengking seperti apa yang diharapkan?. Yang sudah jelas saja sangat sulit, apalagi yang belum jelas.
Ini yang dimaksud oleh Litle John, bahwa taraf komunikasi politik dan pembicaraan (publc speare) sebagai Presiden itu sangat mustahil dan tak masuk dalam kategori estetika bicara. Pernyataan Presiden itu berstatus memberi instruksi, akan hilang martabat negara apabila tidak dilaksanakan oleh bawahannya.
Menurut Ilmu Estetika, dilema komunikasi yang selama ini dikhawatirkan “apa adanya, ada apanya” karena gaya dan gesture bisa menghilangkan negara secara esensi.
Mau bukti? Immanuel Kant katakan bahwa “Artist, as the makers of visual messages, are infinitely connected aesthetic clues, their selection, manipulation, and ultimate refinement”. Nah, posisi Presiden itu sebagai seniman yang membuat estetika visual yang terhubung dengan rakyat, warga negara, pemilihan, manipulasi, dan perbaikan yang harus dilakukan.
Dari persfektif artistik itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ide-ide mustahil Presiden Jokowi yang menyarankan bisnis racun Kalangjengking itu menyalahi kaidah dan bentuk kepanikan untuk mengatasi ekonomi. Karena, ditekan oleh dollars, investor, Tenaga Kerja Asing Illegal hingga ancaman investasi hengkang dari Indonesia.
Bisa juga, bisnis Kalangjengking sebagai peluru opini Presiden Jokowi keluar dari issue – issue fundamental Tenaga Kerja Asing. Serasa bisnis Kalangjengking tak mungkin ada. Namun, karena Presiden yang mengucapkan, maka pasti akan ada viralisasi dan vestifalisasi tandingan issue. Bisa jadi.
Namun, sungguh konyol, seharusnya pidato-pidato visi poros maritim masuk dalam kategori kurikulum sekolah dan perguruan tinggi, untuk menciptakan transformasi knowledge dan basis keilmuan maritim. Daripada harus berfikir dan beternak bisnis Kalangjengking, sesuatu diluar nalar.
Sebenarnya, untuk merealisasikan visi misi poros maritim itu, tinggal ungkap ke publik apa kesulitan yang dihadapi pemerintah dan peluang yang ada. Karena, poros maritim masih banyak rencana pembangunan infrastruktur yang belum direalisasikan dan koneksifitas yang perlu diterapkan, misalnya pelabuhan, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), transportation, the gateway, quiet gateway, cultural village, eco zone and agro zone dan integrated theme park, Industrial zone maritim dan central business district.
Pemerintah harus segera merealisasikan visi misinya, bukan menyarankan produksi racun Kalangjengking sebagai bisnis menjanjikan. Untuk saat ini sangat sulit. Kalau kedepan mungkin saja bisa direalisasikan.