Oleh: Dian AK (Women Movement Institute)
SwaraSenayan.com. Indonesia dikejutkan dengan permintaan kontroversi sang kepala negara pada TNI dan Polri untuk mensosialisasikan program pemerintah. Arahan ini disampaikan saat pidato kepada siswa Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Republik Indonesia tahun 2018 di Istana Negara. Sontak saja, hal ini menuai banyak kritikan dari berbagai pihak.
Jika benar, permintaan ini ditindaklanjuti maka akan terjadi beberapa hal. Pertama, bergesernya tugas militer. Perlu diketahui bahwa tugas TNI dan Polri adalah menjaga keamanan negara. Hanya saja tugas nya akan berubah dari sebagai alat negara menjadi alat kekuasaan elit politik. Dan posisi mereka yang harusnya netral akan cenderung sepihak, berpihak pada siapa yang menguasai mereka.
Kedua, demokrasi terkebiri. Pesta demokrasi 2019 akan cenderung ternodai, tatkala keberadaan militer ini diberdayakan sebagai juru kampanye (jurkam) benar adanya. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa siapa saja yang menguasai militer, akan mendapat jalan mulus menuju senayan. Sudah jelas keberadaannya mampu memaksa rakyat memilih siapa pilihan mereka. Walhasil pemilu yang konon katanya cerminan demokrasi tak lagi benar, karena suara rakyat cenderung dipaksakan.
Ketiga, rusaknya politik umat. Dengan digandengnya militer sebagai alat kekuasaan elit politik pemerintah, maka akan cenderung terbentuk military government. Hal ini tidak terlepas dari situasi pemerintah saat ini yang masih ingin mempertahankan kekuasaannya dan keinginan untuk mencalonkan lagi dalam pemilu 2019 mendatang. Maka perlindungan pada pihak pemerintah sekalipun dalam kesempatan lain membawa nama partai menjadi tugas wajib bagi militer. Walhasil rakyat jadi korban, politik yang bermakna mengurusi urusan umat tak lagi benar. Hal ini tidak lain akibat cara diktaktor, otoriter bahkan barbar yang dikedepankan tatkala berseberangan dengan kepentingan penguasa.
Sungguh hal ini sangat berbahaya tak hanya bagi rakyat sipil saja tapi juga penguasa. Yang apabila terus-terusan berlanjut maka tidak menutup kemungkinan akan menelan penguasa itu sendiri. Seperti mengulang sejarah, kondisi semacam ini tak jauh berbeda dengan sesaat sebelum reformasi. Yang pada saat itu rakyat sendiri yang menjatuhkan kekuasaan. Hanya saja kondisi saat ini apakah akan memiliki ending yang sama? Apalagi melihat tingkat kesadaran rakyat yang sudah melek, tak hanya berkeinginan mengganti penguasa namun juga mengganti sistem. *SS