Oleh: Taufiequrrachman Ruky
SwaraSenayan.com. Ketika ada seorang kepala daerah Incumbent yang memutuskan akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah untuk kedua kalinya dengan menggunakan jalur perseorangan dan itu berarti meninggalkan partai pendukungnya dulu, maka itu bisa disebut deparpolisasi.
Seharusnya para pimpinan parpol sudah bisa membaca bagaimana watak dan sikap dasar dari calon kepala daerah tersebut, dari karier politiknya saja kita bisa lihat partai apa yang dia pakai ketika mencalonkan diri untuk jadi Bupati? Kemudian partai apa yang dipakainya untuk mencalonkan diri sebagai calon Gubernur yang ternyata gagal. Lalu, partai apa juga yang dipakainya untuk menjadi Anggota DPR.
Dan, terakhir partai apa yang dipakainya untuk mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Gubernur dari propinsi yang berbeda, masing-masing dari daerah yang berbeda-beda dan kesemuanya dengan menggunakan partai yang berbeda-beda juga. Lalu, sebutan apa lagi yang tepat untuk sikap politik seperti ini kecuali: KUTU LONCAT.
Tapi menurut Nicolo Machiavelli, itulah gambaran dari seorang Politisi sejati yang menganut “the end justified the means” dan “no morrals in politic”. Hanya kepentingan, itulah yang ada dalam mindset politisi seperti ini.
Lalu, bagaimana dengan kawan? tidak ada itu perkawanan, tidak ada loyalitas kepada kawan, tidak ada kawan abadi, yang ada cuma follower, yang ada cuma ekor cecak, tinggal diputus kalau diperlukan untuk penyelamatan. Yang akan diperhatikan oleh politisi seperti ini cuma bagaimana memanfaatkan perkawanan tadi untuk mencapai kepentingannya. Jadi masih mendinglah kalau “kawan” tadi cuma ditinggal, bahkan diabaikan, buat dia yang berwatak seperti itu, kawan itu dikhianati pun tidak apa-apa.
Caranya bagaimana? Segala cara, sepanjang itu tidak dilarang oleh undang-undang, bahkan kalau perlu yang dilarang oleh undang-undang pun ditabrak saja. Jangan bicara fatsun, jangan bicara etika, dan juga moral. No moral untuk politisi seperti ini. Jadi siap-siaplah merasa bodoh dan dibodohi dan juga dikhianati.
Menyadari bahwa partainya tidak cukup kuat untuk mengusung seorang calon sebagai kepala daerah karena perolehan suara nya yang minim dan sementara itu calon partainya sendiri belum ada yang layak “jual” sebagai calon kepala daerah, maka buat pimpinan partai tertentu, yang paling pas adalah menjadi pendukung calon lain, dan kembali politik kepentingan berlaku, siapa dapat apa, berapa dan bagaimana.
Maka ketika ada calon yang diperkirakan kuat dan kemudian menyatakan maju sebagai calon perseorangan, dengan serta merta, parpol tersebut mendukungnya, itu adalah hal wajar yang tidak perlu bikin kita bengong. Tidak aneh? tentu tidak, karena lagi-lagi itulah politik, semua cara syah-syah saja.
Paradoks? Iya, karena menjadi tidak lucu ketika ada seorang calon kepala daerah yang maju sebagai calon perseorangan dan itu artinya meninggalkan partai pendukungnya dulu, dan itu artinya adalah Deparpolisasi, dan lalu kemudian ada partai lain yang medukung calon perseorangan tersebut.
Pertimbangannya apa? Lagi-lagi tiada lain, dan pasti, itu adalah kepentingan. Kepentingannya dimana? Bagaimanapun seorang kepala daerah tidak mungkin bisa bekerja sendiri tanpa kerja sama dengan DPRD nya, karena dalam undang-undang disebutkan bahwa Pemerintah adalah Kepala Pemerintahan dan DPR.
Nah dengan perhitungan inilah, partai pendukung calon perseorangan ini sudah menyiapkan partainya di DPRD nanti sebagai pendukung gubernur terpilih dari calon persorangan tadi, manakala yang bersangkuitan terpilih. Itung-itung ngasih voorskot lah kepada calon tersebut, apakah itu gratis? Wallahu’alam.
Lalu penyesalannya dimana? Dengan melihat sikap dan watak dasar dari calon tadi, maka kita akan saksikan bahwa dukungan parpol itu tidak akan ada gunanya, karena dan dalam waktu singkat akan ditinggal, dan diabaikan, seperti cecak, apalagi kalau parpol tersebut tidak bisa memperolah suara mayoritas di DPRD pada pileg yang akan datang, alias no power for bargaining.
Menyesal memang selalu datang belakangan, kalau datangnya duluan ya namanya direncanakan. ■ss