Mencari Pemimpin Sesuai Kepentingan atau Keinginan Rakyat?

oleh -47 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: H. Bahauddin Thonti (Pemerhati Politik)

SwaraSenayan.com. Anthony Giddens, Sosiolog Inggris melalui The Third Way berkali-kali menyatakan melalui berbagai tulisannya bahwa pencapaian politik tidak akan pernah terwujud sukses ketika politik tidak dapat berada di dua ruang yang tepat. Yaitu Politik harus mampu berada di kutub ideologi dan pragmatis. Karena bagi Giddens, politik tanpa ideologi menjadikan politik tersebut kering dan tidak bermakna, sedangkan politik ideologi tanpa melibatkan politik pragmatis, politik tersebut menjadi utopia.

banner 336x280

Pernyataan itulah yang diyakini sebagai resep gagasan hingga berhasil memenangkan Partai Buruh atas Partai Konservatif di Inggris setelah sekian lama menjadi partai oposisi. Perlu dicatat, pernyataan Giddens tentang makna pragmatis disini adalah bukan pemaknaan pragmatis untuk kepentingan pribadi, sekelompok orang atau golongan dan partai politiknya saja, melainkan sebuah gagasan pragmatis sosial, dimana kepentingan-kepentingan sosial masyarakat menjadi gerakan dari partai politik melalui program-program politiknya, seperti demokrasi, ekonomi campuran baru, kesamaan sebagai inklusi, kesejahteraan positif, ekologis dan investasi sosial negara.

Saya melihat bahwa gagasan-gagasan Giddens mencoba menyeimbangkan antara kepentingan rakyat dan keinginan rakyat. Kepentingan adalah apa yang dibutuhkan rakyat (needs). Kebutuhan diartikan sebagai semua barang ataupun jasa yang dibutuhkan manusia demi menunjang segala aktivitas agar manusia dapat berfungsi secara sempurna, sedangkan keinginan (wants) diartikan sebagai sesuatu baik barang maupun jasa yang berangkat dari hasrat (nafsu) atau harapan manusia, tidak memiliki keharusan untuk segera dipenuhi, lebih bersifat tambahan ketika kebutuhan pokok telah terpenuhi karenanya hanya akan menghasilkan kepuasan.

Idealnya, pemenuhan keinginan harus berdasarkan kebutuhan karena pemenuhan konsumsi hanya berdasarkan keinginan hanya menghasilkan kepuasan dan sebaliknya, jika berdasar kebutuhan saja maka hanya akan menghasilkan manfaat saja.

Sejatinya, manusia adalah makhluk politik karena hidup adalah politik yang penuh dengan dinamika dan retorika berfikir, bertutur kata, beretorika dan bertindak. Manusia harus menjalani roda kehidupan demi memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya. Manusia yang bisa menyelaraskan antara hati, akal pikiran, tutur kata dan tindakan lah yang bakal menjadi pemenangnya.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, peranan politik sangat vital bagi kemajuan bangsa. Sejarah mencatat, di era kemerdekaan sampai pertengahan Orde Baru, banyak orang yang melihat tokoh politik sebagai tokoh idola sehingga banyak orangtua yang mencita-citakan anak-anaknya untuk menjadi seperti mereka, misalnya seperti Bung Karno, Bung Hatta, HOS Cokroaminoto, M. Natsir, Ki Hajar Dewantara, Wahid Hasyim, Idham Khalid, dan masih banyak lagi.

Boleh dikatakan citra dunia politik dan para politisi sangat bagus karena telah menjadi sumber teladan. Hingga ketika inisiatif reformasi muncul, kita ingin wilayah politik menjadi prioritas reformasi. Kita menganggap perpolitikan di masa Orde Baru adalah politik yang tidak demokratis, politik yang otoriter, politik yang dipenuhi praktek KKN, politik yang mempertahankan status quo, politik yang hanya mengejar pertumbuhan dengan mengabaikan pemerataan.

Bagaimana dengan politik hari ini? Bagaimana bila seseorang ditanya mengenai asosiasi atau bayangannya terhadap dunia politik atau politisi? Sebagian kita membayangkan dunia politik adalah dunia yang jauh nun di sana, dunia para elit, dunia pertarungan retorika dan kepentingan, dunia yang dipenuhi trik dan intrik, dunia yang sehari-hari disorot oleh kamera pemberitaan, dan dunia hura-hura. Masyarakat kita punya sikap yang paradoks terhadap politik dan politisi hingga sebagian masyarakat memberi label terhadap politik dan politisi, seperti  tukang korupsi, tukang menyengsarakan rakyat, tukang tipu dan lain-lain.

Kemenangan  materialisme juga telah mengubah apa yang menjadi motif orang terjun di dunia politik. Orang terjun di politik bukan untuk menggunakan politik sebagai cara menciptakan kesejahteraan dengan kekuasaannya, tetapi cara untuk mendapatkan materi dengan segala representasinya. Jabatan politik dibeli dengan materi melalui praktek money politic, lalu dijadikan alat untuk mendapatkan materi yang lebih banyak. Politik adalah perdagangan kepentingan materi.

Dengan proses politik yang menuntut biaya tinggi seperti sekarang ini maka mau tak mau yang bisa masuk ke panggung-panggung politik adalah orang-orang yang punya kekuatan ekonomi tinggi. Proses demikian telah memberikan efek yang luar biasa pada kehidupan ekonomi yang semakin menjauhkan dari cita-cita lahirnya ekonomi kerakyatan. Mau tak mau yang menang adalah yang kakap meski belum tentu cakap.

Jujur saja, perubahan di dunia politik sudah banyak yang dapat dilihat, utamanya ketika berbicara hubungan antara politik dan demokrasi. Indonesia kini konon menjadi negara yang terdemokrasi di dunia karena hampir bisa dikatakan bahwa semua orang boleh punya aspirasi politik dan boleh pula dengan mudah membentuk partai politik.

Tak perlu takut untuk maju menjadi calon pemimpin maupun calon legislator. Seburuk apapun catatan seseorang, hari ini tidak menjadi penghalang untuk maju karena rakyat akan dengan mudah memaafkan. sebagai budaya bangsa, maaf-memaafkan masih terpatri kuat di benak rakyat Indonesia. Pasca reformasi pun masyarakat Indonesia masih tetap punya kemampuan untuk tetap memaafkan. Cuma, dalam prateknya, terkadang masih susah membedakan mana yang memaafkan dan mana yang melupakan atau memaklumi. Ada perbedaan antara permaafan dan permakluman.

Masyarakat akan dengan mudah memaklumi orang yang ingkar janji. Hanya saja, apa jadinya jika maaf yang tulus dari masyarakat disalahgunakan oleh orang-orang yang sama sekali tidak mempedulikan budaya bangsa dan ajaran-ajaran agama yang agung itu. Maaf dijadikan alasan untuk terus membohongi, merampok dan berlaku sesuka hati. Maaf dijadikan komoditas politik untuk kembali mengkhianati rakyat dan maaf yang tulus dari masyarakat Indonesia sebagai bangsa dijadikan landasan untuk melanggar norma dan aturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertanyaannya adalah sudahkah reformasi perpolitikan kita berhasil sesuai yang dicita-citakan reformasi? Untuk menjawab pernyataan ini, yang paling simpel adalah melihat apa tujuan dari politik itu lalu membandingkannya dengan realitas yang terjadi. Tujuan politik jelas bukan kekuasaan. Kekuasaan hanyalah alat. Tujuan politik adalah rakyat atau oleh Aristotle disebutnya dengan bahasa perbaikan keadaan. Selama ini, politik kita baru mensejahterakan aparat pemerintah dan para politikus. Rakyat masih belum sejahtera dengan politik kita.

Dunia politik kita pasca reformasi malah manghadapi persoalan yang lebih sulit lagi. Perpolitikan kita dijajah oleh aksi kecurangan dan politik uang (money politic) secara massal sehingga kualitas pemimpin yang dihasilkannya tidak memenuhi kriteria, standar, dan kualifikasi untuk bisa mengatarkan bangsa ini pada perubahan yang lebih baik.

Rakyat dihadapkan pada situasi bimbang tentang siapa yang harus mereka pilih. Ideologi yang ditawarkan partai hampir semua sama yaitu Nasionalis dan religius. Kalaupun ada kata lain yang digunakan, hanyalah anak kata yang bermuara dari dua kata tersebut. Hampir semua partai ternoda dengan ulah para kadernya yang “mengaku” menjadi wakil rakyat lalu meringkuk di tahanan KPK karena mengkhinati amanat rakyat dengan cara korupsi uang rakyat.

Dengan merebaknya wabah politik uang, maka jabatan politik hanya bisa didapat oleh mereka yang berani membeli dengan harga tinggi. Logikanya sederhana. Ketika jabatan itu dibeli dengan harga tinggi maka insting manusiawi dari si pejabat itu adalah bagaimana mengembalikan modal untuk mendapatkan jabatan itu.

Jabatan politik di Indonesia saat ini tidak berubah dari tangan-tangan orang yang berkuasa, orang-orang yang punya duit atau orang-orang kuat. Inilah yang membuat reformasi tidak bisa mengurangi KKN. Reformasi politik masih gagal mengantarkan bangsa Indonesia menuju tujuan dari reformasi itu sendiri. Reformasi tidak melahirkan transisi namun malah menciptakan transaksi.

Disisi rakyat yang sedang dihadapkan pada banyak pilihan, sisi transaksional seakan menjadi gula untuk meraih pundi-pundi rupiah. Tak perlu memikirkan nanti bagaimana yang penting bagaimana sekarang. Siapa yang memberi hari ini dialah yang dicari karena nanti -setelah jadi- belum tentu mereka mau memberi.

Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi 19 partai politik peserta pemilu dan ribuan bahkan jutaan orang yang berlomba-lomba ingin memperebutkan jabatan politik itu.

Saya haqqul yakin bahwa rakyat sudah semakin pintar dalam menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin dan siapa yang berhak mewakili suara mereka di parlemen nanti. Yaitu mereka yang mengerti dan bisa memenuhi apa yang menjadi kebutuhan rakyat hari ini dan nanti. Mereka yang bisa mengerti dan memenuhi apa yang menjadi keinginan rakyat hari ini dan nanti. Bukan dengan janji dan hanya membuat rakyat suka. Tapi, buat mereka percaya dengan menitipkan sebuah pesan bahwa kehadiran para calon pemimpin dan calon legislator adalah solusi atas semua masalah mereka, hati ini dan nanti.

Tanpa ada perubahan mendasar dari proses politik yang kita jalani, rasa-rasanya sangat sulit kita akan mendapatkan para pemimpin yang konsentrasinya mengurus bangsa. Pemilu 2019 ini mudah-mudahan dapat menghasilkan manusia-manusia yang kualitasnya jauh lebih bagus dibanding yang lalu. *den

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.