Oleh : Ferdinand Hutahaean
SwaraSenayan.com. Jakarta, 10 Mei 2017. Kasus Penistaan Agama yang mendudukkan Basuki Thajaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta sebagai terhukum telah memasuki babak baru. Setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis hukuman kepada Ahok yaitu hukuman penjara atau kurungan selama 2 tahun telah melahirkan babak baru situasi politik negara.
Ada Dua hal yang menjadi pokok utama jika kita boleh menyebutnya sebagai masalah, yaitu kasus Ahok dan pembubaran HTI (Hisbuth Tahrir Indonesia) yang tentu menjadi beban berat bagi pemerintahan Jokowi. Menjadi beban berat karena kedua masalah tersebut berkaitan dengan hal yang fundamental atau setidak-tidaknya dikaitkan menjadi fundamental, yaitu isu Agama. Kasus Ahok distigmakan sebagai gangguan terhadap kebhinekaan dan pembubaran HTI diopinikan sebagai pemberangusan kebebasan berorganisasi serta ketidakadilan bagi Islam. Indonesia bisa menjadi seperti negara-negara di Timur Tengah yang hancur luluh lantah karena konflik Agama jika ini terbiarkan atau ditangani dengan cara yang salah. Dua hal ini sangat berbahaya jika dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, akurat, terukur dan bijaksana, karena dampaknya adalah perpecahan bangsa, perpecahan keutuhan negara dan perpecahan ditengah rakyat.
Kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama tentu tidak akan sebesar sekarang dampaknya andai dari awal ditangani secara benar, adil dan tidak mengusik rasa keadilan rakyat serta tidak mengusik keyakinan yang di imani oleh setiap orang. Mengganggu ketentraman Hak Azasi tentang agama adalah sama saja mengganggu nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan, sehingga dapat dipastikan akan memicu gelombang perlawanan. Tidak akan ada satupun manusia yang akan diam dan merasa tenang-tenang saja jika iman nya diusik, agamanya di nista, meski ekspresi setiap orang tentu berbeda dalam memberikan respon.
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh penguasa dan kelompoknya adalah membentuk stigma, label dan opini bahwa kasus Ahok adalah masalah kebhinekaan yang diganggu. Ini fatal dan buruk, dampaknya rasa keadilan semakin terusik dan tertekan. Yang tidak sepaham dengan Ahok dan penguasa dituduh intoleran, dicap radikal, dilabeli perusak kebinekaan, anti keberagaman dan tidak cinta NKRI. Sungguh, semua stigma negatif itu adalah kecerobohan besar penguasa dalam mengelola negara. Pemerintah telah dengan sadar demi membela kelompoknya yaitu Ahok, memilih berhadap-hadapan dengan rakyatnya dan bahkan boleh kita sebut memusuhi rakyatnya. Padahal mestinya cukup menyelesaikan masalah itu dari awal sebelum besar dengan dialog, minta maaf atau diselesaikan secara hukum tanpa melalui sebuah proses pengerahan massa. Kelompok Islam bergerak menuntut keadilan, kelompok pendukung Ahok bergerak dengan isu kebinekaan, akhirnya polarisasi terjadi dengan cepat dan tajam.
Demikian juga dengan pembubaran ormas HTI. Pemerintah harus saya nyatakan dalam hal ini tidak bijak dalam mengelola negara, mengurus masalah dan tidak menerapkan manajemen krisis secara baik dan benar. Padahal, mereka yang saat ini duduk membantu presiden katanya adalah orang-orang terbaik dibidangnya, entahlah benar atau tidak hanya mereka yang tahu dan Tuhan. Kita mendukung upaya tegas pemerintah untuk menindak siapa saja atau kelompok mana saja yang anti Pancasila, anti NKRI dan anti Demokrasi. Keutuhan bangsa adalah harga yang tidak bisa ditawar. Ideologi selain Pancasila tidak boleh dipaksakan mengganti Ideologi Bangsa. Ideologi lain selain Pancasila, silahkan diamalkan secara pribadi-pribadi sepanjang tidak melanggar hukum, tidak melanggar konstitusi negara ini dan tidak dipaksakan kepada pihak lain. Pancasila dan Bineka Tunggal Ika adalah harga yang tidak bisa diganggu gugat oleh apapun karena bangsa ini memang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan keragaman yang luar biasa indahnya. Keragamanan itu adalah berkah luar biasa dari sang pencipta yang tidak boleh diganggu atau di hilangkan dan diseragamkan sesuai keinginan kelompok atau orang tertentu. Kita besar karena perbedaan itu adalah anugerah.
Namun demikian, jika pemerintah harus melakukan penindakan terhadap ormas atau kelompok masyarakat hanya boleh dilakukan oleh pemerintah didalam koridor aturan yang ada. Terkait ormas, patuhi saja UU Ormas No 17 tahun 2013 yang sudah dibuat di era pemerintahan SBY sebagai perlindungan terhadap ormas, bukan untuk memberangus ormas dengan hukum kekuasaan. Pemerintah janganlah mengurus negara dengan pendekatan kekuasaan, semua ada aturannya, dan kita harap pemerintah akan berjalan diatas koridor hukum karena negara kita adalah negara hukum.
Nampaknya masalah Ahok dan Pembubaran HTI telah juga membuat perbedaan yang cukup tajam antara Presiden dan Wakil Presiden. Perbedaan dalam persepsi di bidang Hukum dan Politik tentu bisa melahirkan perpecahan. Memori sejarah membawa kita kepada perpecahan Dwi Tunggal Bung Karno dan Bung Hatta pada masanya. Namun bedanya, perbedaan pandangan antara Bung Karno dan Bung Hatta tidak menjadikan rakyat sebagai korban, jauh berbeda dengan perbedaan antara Jokowi dan Jusuf Kalla, rakyat menjadi terpecah.
Melihat semua situasi tersebut, adalah sebuah keniscayaan bahwa politik akan semakin memanas bila tidak ada langkah konkret, tidak ada langkah bijaksana dalam mengambil langkah-langkah yang tepat mengatasi keguncangan politik ini. Ada 3 point utama yang harus diperhatikan oleh Presiden untuk mengurai masalah kegentingan politik ini. Pertama, bahwa Presiden harus dengan penuh kebijaksanaan mengambil langkah-langkah yang tepat menyelesaikan masalah bangsa sekarang. Kedua, situasi sekarang yang terjadi harus dijadikan sebagai cermin untuk memperbaiki cara-cara Presiden dalam mengelola negara. Ketiga, ini adalah ujian kepemimpinan bagi Jokowi, ujian kapasitas dan kapabilitas sebagai pemimpin, ujian kemampuan Jokowi untuk menyelesaikan masalah-masalah kritis.
Demikianlah 3 point yang harus diperhatikan oleh Jokowi sebagai presiden. Jokowi juga tidak boleh meninggalkan semua pihak untuk mengelola negara ini. Berkaca kepada masa lalu dibawah pemerintahan Presiden RI Ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono menjadi penting untuk melihat bagaimana cara-cara SBY dan Pak JK mengurai banyak masalah seperti Aceh, Poso, Ambon dan konflik lainnya yang sesungguhnya jauh lebih besar tingkat masalahnya dibanding kasus Ahok dan HTI. Mengajak semua pihak untuk berdiskusi menjadi penting untuk memperkaya pemikiran Presiden. Jokowi tidak bisa lagi hanya mengandalkan pembantunya karena sudah berpihak didalam masalah dan menjadi bagian dari masalah. Tidak mungkin bagian dari masalah bisa menyelesaikan masalah. Sekarang waktunya bagi Jokowi untuk mengambil keputusan penting demi masa depan bangsa dan negara dengan melibatkan semua pihak.
Salah mengambil langkah, kerusakan bangsa yang lebih besar yang akan terjadi..!!! Maka tugas Jokowi dalah harus mengembalikan marwah bangsa Indonesia kepada posisi Indonesia yang adil, tentram, sentosa, makmur dan sejahtera. *SS