Oleh : Natalius Pigai, Mantan Staf Khusus Menteri, Pernah Menjabat Kasubid Statistik Kemenakertras
SwaraSenayan.com. Indonesia Hari ini: “Orang miskin 25,14 juta, 22 juta orang Kelaparan, Pengangguran naik 7,05 juta. Pertumbuhan ekonomi 2019 turun dari 5,07 ke 5,02. Petumbuhan Industri hanya 3%. Sejumlah 188 pabrik di Jawa Barat Tutup, 68 ribu PHK.
Lahan Pangan berkurang tiap tahun 200 ribu Ha di Jawa dari 8 juta Ha. Indeks Ketahanan Pangan Rendah ke-17, IPM menurun dari 116 dunia 2014 ke 108 dunia 2019. 5 tahun kepemimpinan Jokowi telah membesarkan orang kaya sebesar 17.00 orang dari 11 Ribu Trilyun APBN, Pundi-Pundi orang kaya bertambah 10 perseran tiap tahun. Kesenjangan paling terendah di dunia.”
APBN Salah Arah: 5 Tahun APBN 11 Ribu Trilyun, 17.000 Orang Kaya Baru di Indonesia
Sejak tahun 2014 sampai 2019 dalam kurun waktu 5 tahun, Pemerintah menggunakan APBN sebanyak kurang lebih 11 ribu trilyun jika dihitung pertahun APBN 2.200 trilyun. Pada periode pertama Presiden Joko Widodo pemanfataan APBN hanya dirahakan pada pembangunan infrastruktur. Uang rakyat diinvestasikan pada pembangunan infrastruktur ternyata tidak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja serta peningkatan kesejahteraan orang miskin. Kelompok oligarki ekonomi memainkan peran penting sebagai pelaksana pembangunan infrastruktur, dibangun dengan bahan baku import, menyedot lapangan kerja yang terbatas juga tidak mampu menciptakan multiplier efek bagi peningkatan kapasitas sosial ekonomi bagi masyarakat.
Thesis yang saya sampaikan tersebut di atas ternyata terbukti bahwa perioritas pembangunan infrastruktur hanya meningkatkan akumulasi modal bagi kaum elit. Hasil survei Global Wealth Report 2014 yang diterbitkan oleh Credit Suisse, Indonesia kini memiliki 98 ribu miliarder, dan tahun 2017 menjadi 111 ribu penduduk Indonesia juga digolongkan sebagai miliuner atau orang yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 juta atau setara Rp 13,5 miliar. Dan tahun 2019 Indonesia memiliki 115.000 penduduk yang masuk ke dalam kategori 1 persen orang paling kaya di dunia.
Berdasarkan laporan Global Wealth Report 2019 yang dikeluarkan oleh Credit Suisse. Selain itu, 115.000 penduduk Indonesia masuk dalam 1 persen orang yang memegang kekayaan global. Bukan menurut saya tetapi menurut Credit Suisse bahwa jumlah ini telah menujukkan kesenjangan di Indonesia lebih tinggi dibanding rata-rata dunia. Koefisien gini (ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan) mencapai 83 persen, dengan nilai aset mereka yang masuk dalam kategori 1 persen tersebut mencakup 45 persen dari keseluruhan aset kekayaan penduduk Indonesia. Menurut Credit Suisse kedua kategori baik ketidamerataan maupun juga jurang ketimpangan tergolong tinggi untuk standar internasional.
Negara Makin Jauh Dari Orang Miskin: Tumpukkan Kemiskinan Tolak Ukur Kemajuan Suatu Negara
Kemiskinan merupakan problem serius suatu negara manapun. Salah satu tolak ukur kemajuan suatu negara adalah memajukan masyarakat yang adil dan makmur. Bangsa manapun tidak akan mencapai cita-cita sejahtera apabila jumlah penduduk miskin makin tinggi. Garis kemiskinan (GK) rakyat dilihat atas penjumlahan 2 variabel utama yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) yang dilihat menurut konsumsi kalori maksimum, untuk negara kita dihitung dari konsumsi 2100 per kapita /hari dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis Kemiskian Non Makanan (GKNM) merupakan kemampuan rakyat untuk memenuhi aspek sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itulah maka pengentasan kemiskinan menjadi amat penting bagi sebuah bangsa karena akan mengukur kemampuan rakyat memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach).
Penjelasan saya berikut ini belum bisa dulu menjelaskan angka kemiskinan menurut Kabupaten/kota karena sampai saat ini BPS belum merilis untuk membeli buku data maupun juga row data BPS yang memang saya selalu langganan sejak lama, padahal data lengkap ini penting untuk melihat indeks kedalaman kemiskinan (poverty gab index) istilah statistik dengan simbol (P1). Namun akan saya jelaskan potret buram kemiskinan negeri ini dibawah kepemimpinan Jokowi setelah bulan Agustus 2019.
Meskipun demikian saya memiliki data nasional sehingga selanjutnya akan menjelaskan perkembangan global atau data secara nasional baik dalam angka postulat maupun juga persentase kemiskinan sejak orde baru masa Presiden Suharto tahun 1998 sampai dengan Joko Widodo 2018 yaitu kurang lebih 20 tahun.
Perbandingan ini penting karena gambaran periodik ini akan membuka tabir kemampuan (kapabilitas) seorang presiden, siapa Presiden yang pro dan tulus terhadap orang miskin (pro poor) dan siapa presiden yang tidak peduli dengan orang miskin, siapa Presiden yang lebih pro kepada Sekelomok elit oligarki dan orang-orang kaya.
Tahun lalu, semua orang terperangah mendengar pernyataan Menteri Keuangan yang konon katanya terbaik Sri Mulya Indrawati serta Kepala Badan Pusat Statistik RI. Bagi orang awam seantero Republik Indonesia terperangah mendengar kata-kata “penurunan tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia karena terjadi penurunan hingga mencapai 9,86% atau 25,96 juta”. Konon katanya juga baru pertama kali memasuki 1 digit yaitu dibawah 10 persen.
Sebelum saya mengulas Jokowi adalah presiden sepanjang sejarah yang paling buruk kinerja dalam menurunkan angka kemiskinan, terlebih dahulu perlu saya analis hasil rilis Menkeu dan Kepala BPS. Bahwa penurunan angka kemiskinan adalah wajar dan normal, tidak ada yang lebih hebat karena sejak jaman Soeharto, Habibie, Megawati, SBY sampai Jokowi angka kemiskinan mengalami penurunan. Berikut saya menyajikan data penurunan angka kemiskinan sejak tahun 1998 dilihat menurut periode kepemimpinan Presiden:
Pertama, Habibie hanya dalam setahun menurunkan angka kemiskinan 1,1% yaitu dari 24,43 menjadi 23,42%.
Kedua, Gus Dur hanya dalam 2 tahun memimpin angka kemiskinan turun sebanyak 5,01% yaitu dari 23,42% menjadi 18,41%.
Ketiga, Megawati mampu menurunkan angka kemiskinan dalam durasi waktu singkat 2,51% yaitu dari 18,41% menjadi 1,75%.
Keempat, SBY periode pertama mampu menurunkan angka kemiskinan sebanyak 2,51% yaitu dari 16,66% menjadi 14,15%.
Kelima, SBY periode kedua kemiskinan turun sebanyak 3,46% yaitu dari 14,15% menjadi 10,96%.
Keenam, Joko Widodo hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebanyak 1,1% persen yaitu dari 10,96% menjadi 9,41%.
Dari point 1-6 dalam kurun waktu 20 tahun kemiskinan mengalami penurunan dari 24,43 menjadi 9,41 yaitu turun sebesar 14,90%, atau bila dilihat dari angka postulat maka jumlah penduduk miskin dari 49,50 juta tahun 1998 menjadi 25,14 juta pada tahun 2019.
Kalau mau jujur soal reputasi terbaik “sepanjang sejarah” maka masing-masing-masing Presiden memiliki reputasi terbaik sepanjang sejarah jika dilihat dari massa dimana Presiden masing-masing memimpin. Pada masanya Presiden Habibie terbaik sepanjang sejarah karena menurunkan angka kemiskinan dari 24,43% menjadi 23,42%.
Demikian pula Gus Dur memecahkan rekor terbaik dijamannya menjadi 18,41%, dan seterusnya akhirnya jaman Jokowi menjadi 9,86% juga terbaik sepanjang sejarah. Dan seterusnya jika siapapum terpilih menjadi Presiden akan memecahkan rekor karena kemiskinan di negeri ini juga seluruh dunia cenderung mengalami penurunan secara alamiah. Oleh karena itu pernyataan pernyataan pemerintah tersebut narasi yang manipulatif dan menyesatkan.
Selanjutnya kalau kita melihat kinerja masing-masing presiden terkait seberapa besar upaya menurunkan angka kemiskinan maka Presiden Jokowi merupakan Presiden paling terburuk kinerjanya dalam menurunkan angka kemiskinan.
Dengan demikian Presiden Jokowi dalam jangka waktu 5 tahun, hanya mampu menurunkan angka kemiskinan 1,1% Sangat kecil sekali dibandingkan dengan presiden-presiden yang lain. Lebih ironi lagi bahwa Jokowi 5 Tahun Orang Miskin Turun 1,1%, sementara pundi-pundi orang kaya naik 10%.
Data yang saya hitung dari Laporan BPS bahwa Kepemimpinan Presiden BJ Habibie berhasil menurunkan angka kemiskinan dari jumlah 24,43 persen menjadi 23,42 persen. Diketahui, Habibie menjadi presiden hanya 1 tahun dan 5 bulan.
Kemudian, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari 23,42 persen menjadi 18,41 persen atau turun 5,1 persen. Gus Dur memimpin Indonesia dimulai pada 1999 hingga 2001. Di masa pemerintahan Megawati angka kemiskinan dari 18,41 persen menjadi 17,42 persen, kemudian dilanjutkan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono-red) dari 17,42 persen turun menjadi 14,15 persen di periode pertama dan menjadi 10,96 persen di periode kedua.
Seperti diketahui, Megawati menjadi presiden dimulai pada 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004, dan SBY memimpin selama dua periode. Tahun pertama kepemimpinan SBY turun 2,51 persen dan periode kedua turun 3,46 persen. Kemudian lanjut ke Jokowi. Dari 10,96 persen sekarang 9,86 persen. Turunnya itu cuma 1 persen selama empat tahun. Dari data sah BPS, Jokowi itu paling gagal, ia hanya berhasil menurunkan angka kemiskinan sebanyak ,1 persen selama lima tahun. Rp 11 ribu triliun APBN yang dihabiskan.
Salah satu kegagalan Jokowi turunkan angka kemiskinan karena selain Jokowi tidak punya niat baik juga tidak punya master plan. Konsepsi dan arah pembangunan yang berorientasi pada, Pengentasan Kemiskian (pro poor), Penciptaan lapangan kerja (pro job), Berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (pro growth).
Pemerintah Jokowi justru menghadirkan program yang mencekik leher rakyat miskin seperti kenaikan harga BBM, Kenaikan harga listrik, Kenaikan BPJS dan pengendalian harga pangan untuk menekan inflasi yang kurang sehingga penyebab sulitnya mengentaskan kemiskinan di negeri ini.
Untuk menurunkan orang miskin di negeri ini tidak sulit. Negara harus memastikan untuk menutup faktor kemiskinan yang muncul karena kalori atau pangan dan non pangan seperti kesehatan, pendidikan serta distribusi uang ke rakyat secara langsung untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Uang 11 Ribu Trilyun dalam 5 Tahun APBN adalah jumlah yang besar namum hanya membuat kenyang orang-orang kaya.
Putuskan Rantai Pengangguran: Cipta Lapangan Kerja
Presiden ketika Ir. Joko Widodo pada pelantikan sebagai Presiden RI tanggal 20 Oktober 2019 menyampaikan secara gamblang bukan visi misi tetapi langsung Program Kerja 5 tahun. Ada 5 perioritas Program Kerja 2019-2024 yang disampaikan Presiden yaitu: 1. Perioritas pada Pembangunan Sumber (SDM). 2. Pembangunan Infrastuktur yang menjangkau sentra-sentra ekonomi dan distribusi untuk lapangan kerja baru. 3. penyederhanaan kendala regulasi, diantaranya dengan membuat UU tentang Cipta Lapangan Kerja yang akan menjadi omnibus law. 4. Pemangkasan Birokrasi dengan meningkatkan kompetensi kerja dan penguatan fungsi kerja dengan memangkas eselonering. 5. Transformasi Ekonomi dari ketergantungan sumber daya alam ke manufaktur dan industri.
Kelima Perioritas Program Kerja 5 tahun 2019-2024 tersebut di atas, setelah saya analisa ternyata berorientasi pada sektor ketenagakerjaan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya perlu kembangkan kerangka teknis bagaimana menciptakan lapangan kerja untuk menampung tingginya angkatan kerja usia produktif sebagai konsekuensi dari bonus demografi. Kerangka kerja untuk penanggulangan pengangguran dan penciptaan lapangan kerja didukung oleh regulasi yang bersifat undang-undang tersendiri merupakan terobosan baru dalam kebijakan pembangunan ekonomi pembangunan di Indonesia. Selanjutnya saya akan menyajikan secara teknis bagaimana pemerintah mengembangkan kebijakan yang riil agar keinginan pemerintah dapat terlaksana. Ada beberapa variabel yang Pemerintah perlu memperhatikan yaitu bagaimana kondisi. Penduduk Usia Kerja saat ini, bagaimana kondisi pengangguran, apa saja terget yang diharapkan pada tahun 2024
Kondisi Penduduk Usia Kerja dan Angkatan Kerja Saat ini (2019)
Berdasarkan data Worldometers, Indonesia saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 269 juta jiwa atau 3,49% dari total populasi dunia. Indonesia berada di peringkat ke empat negara berpenduduk terbanyak di dunia setelah Tiongkok (1,4 miliar jiwa), India (1,3 miliar jiwa), dan Amerika Serikat (328 juta jiwa).
Bappenas memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 271 juta di tahun 2020 dengan Laju pertumbuhan penduduk sebanyak 1,9 pesen dan meningkatnya angkatan kerja yang cukup tinggi negara kita menjadi suatu persoalan utama. Apalagi bila dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk yang amat cepat, rata-rata 1 persen tiap tahun yang menempatkan Indonesia sebagai negera berjumlah penduduk terbanyak ke 4 di dunia.
Data BPS yang dirilis pada bulan Pebruari 2019, dari jumlah penduduk tersebut di atas, penduduk yang produktif atau usia kerja sebanyak 196,46 juta bertambah 2 juta lebih dari tahun sebelumnya yang jumlahnya 193 juta. Jumlah Angkatan Kerja yang siap memasuki dunia kerja sebanyak 136,18 juta orang atau bertambah 2 juta dari 133 juta di tahun 2018. Angkatan kerja di indonesia senantiasa mengalami pertumbuhan rata-rata 2 juta tiap tahun sehingga hanya dalam jangka waktu setahun 2018-2019 peningkatan jumlah angkatan kerja mencapai 2,24 juta orang. Dari jumlah Angkatan Kerja sebanyak 136.18 juta tersebut, mereka yang bekerja sebanyak 129,36 juta dan 6,82 bertambah dari 127,07 di tahun 2018. Dari 196,46 juta tersebut di atas, mereka yang bukan angkatan kerja sebanyak 60.28 juta.
Salah satu yang penting diperhatikan adalah mereka yang penduduk usia kerja yang tidak masuk kategori bukan angkatan kerja yaitu bersekolah pada tahun 2019 sebanyak 16,5 juta dan mengalami pertumbuhan jumlah sebanyak 054 juta atau 3,46 persen. Kondisi ini perlu diantisipasi karena berpotensi menjadi penganggur baru di masa yang akan datang.
Persentase penduduk yang pekerja penuh (jam kerja minimal 35 jam per minggu) sebesar 69,96 persen. Sementara itu, pekerja tidak penuh terbagi menjadi dua, yaitu pekerja paruh waktu (22,67 persen) dan pekerja setengah penganggur (7,37 persen).
Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan utamanya pada Pertanian (1,00 persen poin); Administrasi Pemerintahan (0,23 persen poin); serta Informasi dan Komunikasi (0,06 persen poin). Sebanyak 74,08 juta orang (57,27 persen) bekerja pada kegiatan informal. Selama setahun terakhir (Februari 2018–Februari 2019), pekerja informal turun sebesar 0,95 persen poin.
Rata-rata upah buruh berdasarkan hasil Sakernas Pebruari 2019 sebesar 2,79 juta rupiah. Rata-rata upah buruh laki-laki sebesar 3,05 juta rupiah dan rata-rata upah buruh perempuan sebesar 2,33 juta rupiah.
Terdapat 7 dari 17 kategori lapangan pekerjaan dengan rata-rata upah buruh lebih rendah daripada rata-rata upah buruh nasional. Rata-rata upah buruh berpendidikan universitas sebesar 4,34 juta rupiah, sedangkan buruh berpendidikan SD ke bawah sebesar 1,73 juta rupiah.
Pengangguran Bertambah di Tahun 2019
Pada Agustus 2019 jumlah pengangguran di Indonesia mengalami peningkatan menjadi 7,05% atau penganggur bertambah dari 7% tahun 2019. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Pada Bulan Pebruari 2019 Tingkat Penganggur Terbuka 5,01 persen atau 6,82 juta. Jumlah tersebut di tambah dengan pekerja tidak penuh terbagi yaitu pekerja paruh waktu (22,67 persen) dan pekerja setengah penganggur (7,37 persen). Dengan demikian secara keseluruhan jumlah penganggur baik penganggur Tebuka, maupun setengah penganggur menjadi 35,05 persen.
Tingkat pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah penganggur/pencari kerja terhadap jumlah angkatan kerja berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja baru. Selain itu, perkembangannya dapat menunjukkan tingkat keberhasilan program ketenagakerjaan dari tahun ke tahun. Lebih penting lagi digunakan sebagai bahan evaluasi keberhasilan pembangunan perekonomian, selain angka kemiskinan.
Pada tahun 2018 jumlah Tingkat Pengangguran Terbuka sebanyak 5,13 pesen menjadi 5,01 persen di tahun 2019. Mengalami penurunan sebesar 0,12 persen. Walaupun Tingkat pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan, namun persentase TPT di Perkotaan lebi h tinggi dari pada di perkotaan yaitu 6,30 persen di kota dan 3,45 persen di pedesaan. Bahkan jika dilihat dari perubahan julah TPT dalam satu tahun terakhir di perkotaan hanya berkurang 0,04 persen dibanding perdesaan sebanyak 0,27 persen.
Dilihat dari menurut pendidikan maka Tingkat Pengangguran Terbuka untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih tertinggi yaitu 8,63 persen, diikuti oleh Diploma I/II/III 6,89 persen. Problemnya adalah penawaran pasar kerja untuk lulusan SMU/ Diploma kurang terserap. Demikian pula lulusan sekolah dasar ke bawah lebih terserap di dunia kerja, dapat di duga karena lulusan sekolah dasar lebih cenderung menerima pekerjaan apa adanya.
Pengangguran memang mengalami penurunan dari 7,01 juta di tahun 2017, kemudian 6,87 juta tahun 2018 menjadi 6,82 juta atau 5,01 persen di tahun 2019. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah soal setengah penganggur yang tidak banyak disorot publik. Persentase penduduk yang pekerja penuh (jam kerja minimal 35 jam per minggu) sebesar 69,96 persen. Sementara itu, pekerja tidak penuh terbagi menjadi dua, yaitu pekerja paruh waktu (22,67 persen) dan pekerja setengah penganggur (7,37 persen). Dengan melihat angka tersebut di atas penganggur paru waktu dan pekerja setengah penganggur dapat dikategorikan sebagai setengah penganggur. Maka secara keseluruhan jumlah pengangguran di Indonesia 35,05 persen atau 45,27 juta jiwa dari total 129,36 juta Angkatan Kerja di Indonesia. namun soal angka pengangguran ini bisa di berdebatkan.
Sesuai dengan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tingkat penganggur terbuka terdiri dari empat komponen. Pertama, mereka yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan. Kedua, mereka yang tidak bekerja dan mempersiapkan usaha. Ketiga, mereka yang tidak bekerja, dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Keempat, mereka yang tidak bekerja, dan tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja, tetapi belum mulai bekerja.
Elastisitas Serapan Tenaga Kerja 250 Ribu/1% Pertumbuhan Ekonomi: Angkatan Kerja Membludak 2,24 Juta/Tahun
Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah kurang memberikan jaminan lapangan kerja yang luas dan terbuka. Perekonomian yang tidak menentu ini, justru dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk membuka lapangan kerja di sektor informal. Kondisi ini belum mampu menjamin terciptanya tenaga kerja yang berkualitas dan berdaya saing yang tinggi, sebab sektor informal kurang mengandalkan kualifikasi teknik tertentu, sehingga tidak mengherankan kalau jumlah setengah penganggur meningkat tajam.
Pada tahun 2017, pengangguran bertambah 10 ribu orang, dari 7,03 juta menjadi 7,04 juta jiwa. Sementara tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 5,33 persen pada Februari 2017 menjadi 5,59 persen pada Agustus 2017. Tingkat elastisitas penyerapan tenaga kerja juga terus menurun sejak 2010.
Menurut Indef, pada 2016, tiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya dapat menyerap 110.000 tenaga kerja. Angka ini jauh jika dibandingkan dengan 2011, di mana tiap 1 persen pertumbuhan ekonomi 1 bisa menyerap 225.000 tenaga kerja.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah diperkirakan tak berubah sejak 2017 sampai dengan 2020 yaitu sebesar 5%. Angka tersebut belum dapat menyerap angkatan kerja baru. Besarnya investasi yang masuk dan sejumlah proyek infrastruktur nasional ditengarai tidak banyak menyerap lapangan kerja formal secara langsung. Bahkan, investasi yang tercatat lebih besar ke sektor padat modal.
Bappenas telah menyatakan bahwa elastisi serapan tenaga kerja di Indonesia belum banyak berubah sejak 2015. Selama 3 tahun terakhir setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 250 ribu tenaga kerja. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan elastisitas serapan tenaga kerja pada 10 tahun lalu yang mencapai 500 ribu tenaga kerja. Negara belum mampu mencari jalan keluar karena tidak banyak berubahnya angka serapan tenaga kerja sebesar 250 ribu per satu persen pertumbuhan itu disebabkan pasar kerja di Indonesia yang masih kaku dengan sejumlah aturan-aturan. Sedangkan anggakatan kerja setiap tahun tumbuh 2,24 juta.
Kondisi Tenaga Kerja Yang Diharapkan Pada 2024
Masalah pengangguran dapat menentukan kondisi sosial ekonomi nasional. Sekalipun pengangguran sebagai suatu masalah ketenagakerjaan, namun kenyataan menunjukkan bahwa kondisi perekonomian nasional mempengaruhi meningkatnya angka pengangguran, disamping pertambahan penduduk yang dapat mempengaruhi kondisi demografis, serta jumlah tamatan pendidikan yang meningkat justru menambah persediaan tenaga kerja terdidik. Namun hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi kita tahun 2019 hanya 5,02 % /tahun kurang mampu membuka daya tampung tenaga kerja. Kondisi ini diperparah lagi oleh para pelaksana hubungan industrial yang kurang peka dalam mengejawantakan amanat konstitusi untuk terus mencarai jalan keluar atau paling sedikit meminimalisasi melonjaknya angka pengangguran tersebut.
Jika dicermati secara baik maka, berbagai aspek turut mempengaruhi peningkatan pengangguran ini, baik sumber-sumber penyebab yang ada di sektor hulu maupun muaranya. Maka perlu ada suatu strategi yang mampu menekan melonjaknya angka pengangguran. Oleh karena itu, maka kondisi/situasi ketenagakarjaan yang diharapkan/diinginkan oleh rakyat pada periode mendatang adalah: Dengan jumlah Angkatan Kerja Indonesia bertambah dari 136,19 juta tahun 2019 menjadi 146 juta tahun 2024 dan jumlah Angkatan Kerja yang bekerja bertambah dari 129 juta tahun 2019 menjadi 140 juta tahun 2024. Diharapkan pula jumlah penganggur turun dari 6,82 tahun 2019 menjadi 4 juta tahun 2024. Tingkat pengangguran juga diharapkan turun dari 5,01 persen tahun 2019 menjadi 4 persen tahun 2024. Kondisi Ketenagakerjaan tersebut juga mesti di dukung dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi lebih dari 5 persen.
Diharapakan penurunan jumlah pengangguran tersebut terjadi terutama pada: Penganggur muda usia; berpendidikan rendah, Penganggur yang tinggal di P.Jawa; Berlokasi di daerah perkotaan; Pada penganggur wanita; Penganggur terdidik; Setengah pengangguran yang mayoritasnya ada di desa.
Kendati rakyat mengharapkan stabilitas ketenagakerjaan di Indonesia seperti tersebut di atas, namun kenyataannya tidak muda, bila dilakukan tanpa suatu resep atau target penurunan pengangguran dengan berpatokan pada beberapa asumsi dasar dapat terlaksana: Pertumbuhan Kesempatan Kerja rata-rata per tahun dapat dinaikan dari 1,9 persen pada periode 2015-2019 menjadi 2 persen pada periode 2019-2024 dan pertumbuhan angkatan kerja dapat ditekan dari 1,67 persen pada periode 2014-2019 menjadi 1persen pada periode 2019-2024; Pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun dapat ditingkatkan dari 5 persen pada periode 2014-2019 menjadi 6 persen pada periode 2019-2024; Transformasi Sektor Informal ke Sektor Formal dapat dipercepat baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, terutama di sektor pertanian, perdagangan, jasa, industri dan sektor lainnya.
Upaya Pengentasan Pengangguran
Kondisi ketenagakerjaan Indonesia saat ini tidak hanya menghadapi kendala internal seperti masih rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia, juga kendala eksternal seperti kesepakatan AFTA, APEC dan WTO yang mengarah pada terjadinya migrasi Tenaga Kerja Asing ke Indonesia. Keadaan ini perlu diantisipasi dengan adanya pelatihan kerja yang berbasis kompetensi guna meningkatkan kualitas, profesionalisme, daya saing dan kompetensi tenaga kerja di segala bidang. Berbagai upaya untuk mengentaskan masalah ketenagakerjaan adalah menyusun program dalam mengatasi permasalahan di bidang ketenagakerjaan yang meliputi: Perluasan dan Penciptaan Kesempatan Kerja, Peningkatan Kualitas Angkatan Kerja, Peningkatan Informasi Pasar Kerja dan Bursa Kerja, Pengendalian Angkatan Kerja, Pembinaan Hubungan Industrial
Walaupun berbagai usaha telah dilakukan namun pada kenyataanya tingkat pengangguran semakin meningkat, hal ini maka perlu dilihat khususnya terhadap hal-hal yang dapat mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan pasar kerja yang menyangkut masalah supply tenaga kerja (penawaran tenaga kerja) dan demand (permintaan tenaga kerja). apakah memang ada kesenjangan atau hal-hal lain yang dapat menghabat prosses pertemuan antara pencari kerja dan yang membutuhkan
Permasalahan pengangguran adalah permasalahan nasional yang menyangkut hayat hidup orang banyak, dan merupakan tanggung jawab pemerintah sehingga perlu mendapat perhatian serius. Masalah pengangguran bagi Indonesia bersifat sangat kompleks sehingga memerlukan pemecahan yang arif secara konseptual. Kerana itu diharapakan dalam proses pemecahannya harus dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen/potensi negara yang meliputi; Pemerintah, Dunia Usaha, Asosiasi Dunia Perbankan, serta Masyarakat Umum.
Konsep penanggulangan ke depan harus dapat mengutamakan penyelesaian terdahulu terhadap akar permasalahannya secara menyeluruh dan konsepsional, ketimbang penyelesaian yang bersifat gradual. Hal ini perlu digaris bawahi sebab seringkali kita mengambil keputusan yang bersifat sementara, hanya sekedar meredam gejolak massa. Padahal yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin yang arif dan bijak adalah keputusan-keputusan yang bersifat visioner. Sehubungan dengan ini, penulis memberikan Pekerjaan Rumah (yang berasal dari perpaduan pemikiran rakyat, bagi pemecahan masalah pengangguran yang harus/mutlak dilakukan oleh Presiden dalam rangka memecahkan permasalahan pengangguran.
Pada masa yang akan datang harus ada perubahan struktur ekonomi dan keluwesan di pasar kerja yang akan membuat angka elastisitas bisa berubah menjadi lebih baik. Salah satu strategi dasar untuk menciptakan lapangan dan memperluas kesempatan kerja adalah suatu strategi pembangunan yang berorientasi untuk memberi peluang pembukaan lapangan kerja yang produktif dan berorintasi pada peningkatan sumber daya manusia sebagaimana disampaikan Presiden. Pembangunan yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia itulah yang perlu dilakukan mengingat bangsa kita berjumlah penduduk terbanyak yang berorientasi pada demografik sentris. *SS