Oleh: Bambang Wiwoho
SwaraSENAYAN.com. Tatkala rezim kekuasaan berpindah dari Orde Baru ke Orde Reformasi, Puang Kyai Ali Yafie dengan lembut menasihati saya mengenai dua hal yang saling berkaitan. Pertama, sebuah kalimat bijak dari Bugis yang berbunyi, “aja mureppe, i arung maloloe, aja to mureppe, i to so gi barue”. Artinya, jangan dekat-dekat dengan Raja Muda, dan juga jangan dekat-dekat dengan orang kaya baru. Kedua, nasehat Imam Al Mawardi (Imam Besar pada masa Khalifah Al Qadir Billah dan Khalifah Al-Qaimu Billah di Baghdag abad ke 11 Masehi), tentang lima hal yang dapat mengubah perilaku yaitu kekuasaan, harta benda, penyakit, usia dan teman pergaulan.
Dari kelima hal tersebut yang paling besar pengaruhnya dan bisa dengan cepat mengubah perilaku adalah kekuasaan dan harta benda. Raja Muda dalam petuah Bugis tadi bisa diartikan pula sebagai kekuasaan, sedangkan orang kaya baru adalah harta benda.
Pesona Kekuasaan
Kekuasaan itu sungguh ibarat harimau. Memiliki dan duduk di atas tahta kekuasaan, ibarat menaiki punggung harimau. Kelamaan duduk tidak nyaman, karena akan menimbulkan kejenuhan dan membangkitkan perlawanan. Tetapi mau turun juga “sulit”. Salah-salah kita sendiri yang akan diterkam oleh harimau kekuasaan kita. Oleh karena itu orang-orang bijak mengajarkan, begitu kita mulai mendaki jalan kekuasaan, pelajari dan kuasai pulalah jalan turunnya. Di samping itu kita pun harus teguh menempatkan kekuasaan hanya sebagai salah satu sarana mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri.
Bahwa kekuasaan itu penting, tidak ada yang membantahnya. Mari coba kita renungkan contoh sederhana ini. Seorang rakyat biasa, marah dan mengecam keras kebobrokan suatu lembaga negara, serta berkali-kali mengirimkan kecamannya ke media-media massa. Namun demikian, tidak satu pun media massa yang memuatnya. Setahun kemudian, ucapan dan kalimat yang sama persis dilontarkan oleh seorang Menteri. Hanya dalam tempo beberapa menit , berbagai media massa on-line telah memuat “kepretan” Menteri tersebut. Begitu pula radio, televisi dan media cetak, selama sebulan menggoreng pernyataan tersebut. Masyarakat heboh dan para pengamat sibuk membuat analisa dan pernyataan.
Ucapan dan kalimat yang diungkapkan seorang rakyat tadi, sama persis dengan yang dilontarkan Menteri. Namun masyarakat dan media massa memberikan tanggapan yang berbeda. Mengapa bisa begitu? Ya, itulah bedanya ucapan seseorang yang tidak memiliki kekuasaan, dengan orang lain yang memiliki kekuasaan.
Betapa besar pengaruh suatu kekuasaan, sehingga wajar bila Imam Al Mawardi dan orang-orang bijak Bugis menasihati kita agar hati-hati menyikapinya. Kekuasaan bisa dengan sekejap membuat orang lupa diri dan sombong. Padahal kesombongan adalah dosa pertama yang dilakukan oleh hamba Allah, yakni setan tatkala menolak perintah-Nya untuk sujud kepada manusia, lantaran merasa lebih hebat. Akibatnya setan mendapat murka Allah sehingga diusir dari surga dan dari sisi-Nya.
Abah Thoyib dari Semengko, Mojokerto berpesan, “Jangan kamu berdoa meminta pesona dunia, meminta dijadikan kaya apalagi berambisi pada pangkat, jabatan dan kekuasaan. Sebab mungkin saja Gusti Allah mengabulkan, tapi jika seraya itu juga sekaligus memberimu banyak musuh serta mencabut keberkahan-Nya darimu, lantas apa nikmatnya?” ■