SwaraSenayan.com. Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Victor Bungtilu Laiskodat telah menerbitkan regulasi terkait moratorium Pekerja Migran Indonesia (PMI). Regulasi ini dikeluarkan dalam bentuk Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur bernomor 357/KEP/HK/3018 tertanggal 14 November 2018 tentang Penghentian Pemberangkatan Calon Pekerja Migran Indonesia / Pekerja Migran Indonesia Asal Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Keputusan tersebut dinilai sebagian pihak sebagai sebuah tindakan yang melampaui kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda). Pemda tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan keputusan Moratorium terhadap Pekerja Migran Indonesia. Hal tersebut berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), sebagai hasil perubahan dari UU Nomor 39 tahun 2004 tentang PPTKLN. Kewenangan mengeluarkan moratorium hanya dimiliki pemerintah pusat melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) RI.
Hal ini dikatakan Wakil Sekjen Bidang Hukum, HAM dan Keamanan, Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Hanura, Petrus Selestinus saat menyampaikan materi dalam Focus Group Discussion (FGD) Fraksi Partai Hanura dengan tema “Pentingnya Memahami Keputusan Moratorium Pekerja Migran Indonesia” di Gedung Nusantara 1, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (28/1/2019).
Menurut Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini, bila ada pemerintah daerah di Indonesia yang membuat keputusan melampaui peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka keputusan tersebut segera dicabut.
Menurutnya, sesuai UU Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, sebagai hasil amandemen dari UU Nomor 39 tahun 2004 tentang PPTKLN, Pemda tak memiliki kewenangan untuk menerbitkan keputusan Moratorium terhadap Pekerja Migran Indonesia. Karena kewenangan mengeluarkan moratorium itu hanya dimiliki pemerintah pusat melalui Kemenaker.
“Kalau ada pemda yang membuat keputusan melampaui peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka sebaiknya kepetusan tersebut segera dicabut agar tidak menjadi polemik,” kata Petrus.
Hal senada juga dikatakan Pemerhati Ketenagakerjaan Antonius Doni Dihen. Menurut mantan staf khusus Kemnaker ini, pemerintah daerah perlu memperhatikan produk perundangan-undangan yang berlaku dalam membuat suatu keputusan penting apalagi berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sehingga keputusan tersebut tidak dianggap sebagai pembangkangan.
“Saya sebenarnya bingung ada daerah yang lakukan moratorium terhadap Pekerja Migran. Harusnya pemerintah daerah perlu perhatikan perundangan-undangan yang berlaku dalam membuat keputusan penting apalagi berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sehingga keputusan itu tidak dianggap sebagai pembangkangan bahkan kegalauan,” kata Anton Doni yang juga sebagai narasumber.
Jika terjadi beberapa kasus yang dialami oleh pekerja migran Indonesia di negara penempatan, menurut Anton, moratorium bukan solusinya. Anton menegaskan perlunya sistem perlindungan seperti yang diterapkan Filipina dengan membentuk lembaga perlindungan yang kuat terhadap pekerja migrannya, POLO (Phiiliphine Overseas Labor Office).
“Kita perlu meniru Filipina dengan membentuk POLO untuk melindungi tenaga migrannya di negara-negara penempatan. Sementara Indonesia dengan pekerja migram lebih low profile hanya mengandalkan satu orang atase ketenagakerjaan,” terang Anton. *mtq