Oleh : Djoko Edhi Abdurrahman (Anggota Komisi Hukum DPR 2004 – 2009, Advokat & Wasek Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU).
SwaraSenayan.com – Kalau Jokowi sampai 2 periode, kian parah kesengsaraan rakyat. Sekarang saja 66 biji janji pilpresnya, tak sebiji pun yang dipenuhi. Kalau 2 periode, niscaya dustanya 2 kali lipat.
Dosa besar dalam politik adalah berdusta. Janji pilpres adalah social contract, wajib dipenuhi menurut Thomas Hobbes, John Locke, Jacques Rosseau, dan Montesqieu. Menurut keempat icon pakem Ilmu Negara itu, plus Al Mawardi, jika janji tadi tak dipenuhi pemimpin terpilih, rakyat kudu tarik mandat. Jika yang ditimbulkan oleh pembangkangan atas social contract, telah melanggar HAM, rakyat berhak memberontak.
Hanya satu orang di atas bumi yang membolehkan kepala negara berbohong. Yaitu ahli dan penulis buku “Discoursi” ialah Niccholo Machiavelli yang sangat masyhur.
Dalam buku keduanya, “Il Principe”, Machiavelli memberi saran, “Berdustalah yang banyak, jika itu untuk mempertahankan kekuasaan!”.
Machiavelli segenerasi dengan Jamaludin El Afghani, peletak dasar Emansipasi pertama di dunia, “Tahrir El Mar’ah”, telah menjadi sangat masyhur berkat saran paradok berat itu.
Habis itu, para sosiolog se dunia, menurut Profesor Hunt dan Profesor Horton dari Michigan University, dalam “Sociology I”, memberi juluk kepada Machiavelli, ilmuwan syetan.
Hukum Macet
Menurut Joan Bodin, sesungguhnya hanya satu yang diderma oleh kedaulatan rakyat kepada pemimpin terpilih. Yaitu kedaulatan rakyat dari demokrasi itu mewariskan kekuasaan kepada kepala negara untuk menghukum yang bersalah.
Sudah 4 tahun berjalan kekuasaan Jokowi, tak satupun ia melakukan kekuasaan teorema Bodin itu. Hukum macet di mana-mana. Sejak dari excess du pavoir (penyalahgunaan kekuasaan), detournament du pavoir (penyalahgunaan wewenang), dan tort (kesalahan pidana) menjadi pemandangan luar biasa yang biasa, business as usual.
Tapi saya setuju Machiavelli, bahwa rakyat Indonesia tidak memiliki “Nasib Baik” untuk memiliki “pemimpin yang baik” ketika Jokowi terpilih menjadi presiden. Sedangkan Jokowi tak memiliki “Nasib Baik” untuk menjadi “Pemimpin yang Baik”.
Machiavelli menyebutnya “Nasib Baik” tadi dengan frasa “Glorium”. Rakyat Indonesia dan Jokowi sama-sama tak memiliki glorium yang kini menampilkan sikon negara menuju titik nadir, nyungsep.
Di sini perbedaan Jokowi dengan Soeharto ketika Soeharto jadi kepala negara. Soeharto memiliki “Nasib Baik” untuk menjadi “Pemimpin yang Baik”, dan pada saat bersamaan rakyat Indonesia memiliki “Nasib Baik” untuk memiliki “Pemimpin yang Baik”. Soeharto dan rakyatnya sama-sama memiliki glorium.
Saya tidak melihat Machiavelli masuk ke ilmu kanuragan, klenik, kejawen, sinkretisme, atau paranormal. Machiavelli bukan itu. Ia adalah pejabat tinggi negara layer 1, yang pada akhirnya masuk penjara akibat pemikirannya. Berbeda dengan buku keduanya yang ditulis di penjara “Il Principe”, yang sangat pragmatis. Pada “Discoursi”, Machiavelli jernih, ilmuwan murni.
Machiavelli meneliti kekuasaan Romawi dan Yunani semasa Ecklesia (negara kota), asal muasal negara demokrasi. “Mengapa paling lama 40 tahun, kekuasaan di Romawi mengalami pemberontakan? Dan runtuh. Mengapa di Yunani, selama 900 tahun lebih, di bawah hukum Liqurgus, dijagai para Spartan, tak ada gejolak yang berarti seperti di Roma?”
Yaitu glorium. Romawi tak punya glorium. Romawi selalu salah, rakyat Romawi salah pilih orang. Demokrasi di Ecklesia itu menipu, menjauhkan glorium dari sana.
“Jangan kau tangisi darah yang tumpah oleh revolusi. Tapi menangislah ketika pemimpin terpilih, tak memiliki nasib baik untuk menjadi pemimpin yang baik, dan rakyat yang memilih, tak memiliki nasib baik untuk memiliki pemimpin yang baik”, kata Machivelli.
Bukti bahwa pemimpin terpilih tak punya glorium, diketahui dari janji dalam political contract (social contract) nya yang tak mampu direalisasikan. Game Over! *SS