POLITIK TNI ADALAH POLITIK NEGARA YANG BERDIRI DIATAS SEMUA GOLONGAN

Ayo Berbagi!
Laksma (Purn) Bambang Susanto, SH. MH.
Laksma (Purn) Bambang Susanto, SH. MH.

SwaraSenayan.com. Pasca reformasi menunjukkan betapa kondisi sosial, ekonomi, politik kian masuk ke dalam suatu krisis multi-dimensional. Dengan demikian, dapat dimengerti mengapa banyak masyarakat semakin kehilangan makna atas Pancasila di Indonesia, dan karenanya semakin tidak percaya dengan proses-proses politik yang sedang berjalan atau mengalami DISTRUST (ketidak percayaan) terhadap SISTEM POLITIK, kepemimpinan politik, organisasi politik serta lembaga-lembaga politik (formal maupun non-formal).

Kondisi ini paling tidak oleh sebagian kalangan dikuatirkan akan menuju stagnasi politik, dengan demikian proyek REFORMASI pun gagal, yang ujungnya akan bisa menimbulkan krisis politik dan ekonomi yang jauh lebih parah dari yang sebelumnya pernah dialami. Sementara, salah satu ekses reformasi adalah dicabutnya Dwifungsi ABRI. Citra militer di hadapan masyarakat terus-menerus merosot, apalagi setelah Orde Baru runtuh, secara berangsur-angsur peran TNI dalam menjaga dan menegakkan politik Negara kian berkurang.

Konsolidasi demokrasi dengan meminggirkan peran TNI justru menampakkan wajah demokrasi kebablasan, tak berjalan semulus dengan harapan yang diangankan yang menggerus kedaulatan rakyat. Yang ada hanyalah supremasi kepentingan partai-partai politik.

Kini, di era “Demokrasi Kebablasan” seperti saat sekarang ini, TNI disuruh kembali ke barak sebagaimana tuntutan reformasi, hal inilah yang melemahkan ‘hak politik negara’ yang diemban TNI. Karena itulah, menempatkan TNI sebagai prajurit yang lahir batin, jiwa raganya untuk bangsa dan Negara sebagai penjaga sekaligus menegakkan politik Negara yang berdiri tegak diatas semua golongan dan kepentingan harus diberikan ruang dalam parlemen.

“Kenapa suara TNI di parlemen sebagai penegak politik negara diberhangus oleh sistem demokrasi liberal  yang tidak saja melemahkan TNI namun justru melemahkan kedaulatan rakyat,” jelas Laksma (Purn) Bambang Susanto, SH. MH. mantan Kadiskum TNI AL dan Waka Babinkum Mabes TNI saat dihubungi SWARA SENAYAN (24/12/2016).

Menurut Bambang, proses kesejarahan lahirnya TNI itu dari unsur rakyat. Karenanya, ketika TNI menjalankan tugasnya dalam menjaga kedaulatan Negara hak politiknya dicabut sehingga tidak boleh memilih atau dipilih sebagai bhayangkara negara, karena itu TNI memiliki hak politik sebagai penjaga politik Negara harus masuk kedalam sistem parlemen yang merepresentasikan bhayangkara Negara yang mengedepankan kepentingan nasional (national interest) bukan kepentingan-kepentingan golongan.

“Aneh sekali, Negara Republik Indonesia berdiri karena TNI dan rakyat bersatu padu menghendaki adanya konsensus nasional sebagai benteng dan penjaga politik negara. Saat ini telah terjadi pelemahan TNI dengan dikeluarkan hak politiknya dari parlemen. Parlemen tanpa TNI adalah sama saja menghilangkan kontrol terhadap kepentingan nasional diatas kepentingan golongan. Dengan dihilangkannya unsur TNI dari parlemen, maka terbuka lebar apabila ada niat dan konspirasi oleh pihak-pihak tertentu yang melemahkan dan pembelokkan terhadap ideologi Pancasila,” tegas Bambang.

Konsekuensinya, TNI sebagai penjaga politik Negara adalah ketidak bolehan seorang prajurit TNI dalam berpolitik praktis kedalam  partai politik. Berpolitik yang berdiri diatas golongan tertentu harus dihindari seorang prajurit. Bambang juga menyatakan, ketika seorang purnawirawan sudah memilih berpolitik dalam partai yang dipilihnya inipun sesungguhnya sudah bertentangan dengan ajaran TNI.

“Sampai kapanpun jiwa dan raga TNI hanya untuk kedaulatan NKRI, bukan malah membuat dan mendukung partai politik tertentu dengan golongan dalam masyarakat dan mengkotak-kotakkannya kedalam kepentingan parsial golongan masing-masing,” tandas Bambang yang juga sebagai Alumni Perwira AL 75 dan Kabid Hukum PPAL.

“Saya sangat tidak setuju kalau TNI diberikan hak politik untuk dipilih atau memilih, itu sama dengan penggembosan atau pemecah belahan kekuatan dan kesatuan TNI. Ini sangat berbahaya dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara,” tegas Bambang.

Lalu. bagaimana kalau ada prajurit TNI dan purnawirawan ingin menjadi kepala daerah atau presiden, menurut Bambang, jalan yang ditempuh harus melalui jalur independen agar dia tetap berdiri diatas semua golongan. Untuk itu, ketentuan pasangan capres dan cawapres dari jalur independen harus diatur dalam UUD.

Jalur independen ini, menurut Bambang agar prajurit TNI tetap menjaga khittah politik Negara yang diembannya untuk senantiasa tetap berada diatas semua golongan. Mengembalikan TNI masuk kedalam sistem parlemen adalah semata-mata menjalankan politik Negara.*DAM

Ayo Berbagi!