FOPNAS Mengusung Politik Kebangsaan, Enyahkan Komunisme dan Liberalisme di Indonesia

Ayo Berbagi!
IMG-20170325-WA0400
Bambang HBS, saat melantik Pengurus DPW FOPNAS DKI Jakarta

SwaraSenayan.com. Forum Pemuda Nasional (FOPNAS) adalah organisasi kepemudaan yang lahir karena kepeduliaannya untuk mengatasi stagnasi pergerakan pemuda Indonesia yang cenderung terpolarisasi menjadi organisasi partisan dalam kanalisasi politik praktis. Akibatnya, organisasi arus utama yang relatif mapan (mainstream) dijadikan tunggangan kepentingan elite pemuda.

Demikian disampaikan Bambang HBS selaku ketua umum FOPNAS kepada SWARA SENAYAN, sesaat setelah melantik Pengurus DPW FOPNAS DKI di kawasan Senopati Jakarta (24/3).

Menurut Bambang, organisasi mapan seperti KNPI seharusnya bisa dijadikan rumah kebangsaan bagi pemuda Indonesia malah terjebak kedalam politik praktis dengan mengisi agenda dan kepengurusannya berdasarkan kesamaan politik aliran golongan tertentu saja.

“Tidak ada yang salah pemuda masuk kedalam partai politik, tapi jangan mencampur adukkan kepentingan partai kedalam organisasi KNPI sebagai tempat berhimpunnya beragam organisasi kepemudaan yang berbeda agama, partai politik, kedaerahan, profesi dan seterusnya,” kata Bambang.

Melihat wadah organisasi kepemudaan yang semakin kehilangan orientasinya, ditambah berlarutnya dualisme kepengurusan KNPI, Bambang menegaskan disinilah pentingnya mengangkat kesadaran kebangsaan pemuda yang senantiasa mewarisi semangant Sumpah Pemuda 1928, dimana pemuda menjadi pelaku sentral dan  pemersatu kebangsaan Indonesia.

“Menjadi pemuda harus tetap mengawal sumpah pemuda untuk mempertahankan kesatuan jiwa bangsa kita, jangan malah menjadi pemicu perpecahan dengan mengedepankan sikap mengutamakan kepentingan kelompok dan golongan,” ujarnya.

Jika pemuda lalai dan malah sebagai sumber perpecahan kebangsaan, Bambang menggugah pemuda untuk bangkit dan bersatu sebagai benteng pertahanan dari serangan deideologisasi Pancasila. “FOPNAS sebagai organisasi kepemudaan berupaya semaksimal mungkin menggalang kekuatan pemuda Indonesia dalam menangkal paham-paham seperti komunisme dan liberalisme yang tidak sesuai dengan bangsa Indonesia,” katanya.

Khusus Pilkada DKI, FOPNAS mengedepankan kepentingan kebangsaan. Menurut Bambang, persoalan hiruk pikuk di DKI Jakarta sebagai barometer politik nasional karena urusan penistaan agama. Rakyat DKI dan bangsa Indonesia sudah memahami dan sudah matang dalam mengakui bahwa bangsa ini memang majemuk, beragam suku bahasa, agama dan adat istiadat. Tidak ada permusuhan dengan mengedepankan sentimen anti agama, anti ras tertentu, anti suku dan sebagainya.

“Substansi demokrasi dalam memilih pemimpin bukan pada agama mayoritas harus memimpin atau suku mayoritas juga harus memimpin. Yang harus diperjuangkan pemimpin DKI adalah bagaimana mendistribusikan sumber-sumber ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Jangan ada dominasi sumber-sumber ekonomi hanya dikuasai oleh golongan tertentu saja. Dominasi sumber ekonomi inilah yang mencederai rasa keadilan ditengah rakyat yang makin susah dalam kehidupannya,” tegas Bambang.

Karena itu, FOPNAS mengedepankan dengan pendekatan politik kesejahteraan, yaitu pembangunan di segala bidang harus dirasakan untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia serta memajukan kesejahteraannya. Proses pembangunan selama ini, khususnya di Jakarta, masih mengedepankan kepentingan pemodal. Setelah akumulasi modal didapatkan dari keuntungan proyek-proyek pembangunan, para kapitalis menggunakan kekuatan modalnya untuk masuk kedalam ranah politik sebagai “cukong demokrasi”.

“Rakyat harus jeli dalam menentukan pilihannya, jangan tukarkan keyakinan rakyat dengan sogokan uang dari cukong-cukong demokrasi yang ingin membajak kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan cukong. Pilah mana pemimpin yang dekat dengan kepentingan cukong dan pemimpin yang anti dengan kepentingan cukong,” tegas Bambang.

Menyikapi terkuaknya kasus korupsi e-KTP, FOPNAS mendesak kepada penegak hukum harus tegas. Siapapun harus diproses dan diadili sesuai aturan hukum yang berlaku. “Jangan menggunakan KPK sebagai alat bargaining dengan barter kasus-kasus lainnya. Jangan hanya berani menyebut politisi papan atas saja, tapi KPK tidak berani menyeretnya dalam kursi pesakitan sebagai terdakwa,” ujar Bambang. *SS

Ayo Berbagi!