Bambang Susanto: TNI Tidak Tunduk Kepada Penguasa, Namun Hanya Tunduk Kepada Konstitusi

Ayo Berbagi!
Bambang Susanto, SH., MH., Mantan Kadiskum AL
Bambang Susanto, SH., MH., Mantan Kadiskum AL

SwaraSenayan.com. Dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, hendaknya para penyelenggara negara harus konsisten berpegang teguh pada konstitusi, dalam hal ini patuh rule of law pada UUD 1945. Peristiwa 411 sebenarnya menunjukkan bahwa rakyat, dalam hal ini adalah umat Islam hanya menginginkan suatu keadilan ditegakkan, yaitu penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap si penista agama.

“Tidak ada maksud sedikitpun dari peserta unjuk rasa untuk memecah belah bangsa dan tidak ada kaitannya dengan masalah kebhinekaan maupun SARA. Sehingga, jangan dikaburkan menjadi masalah kebhinekaan maupun SARA. Bangsa Indonesia sudah paham betul tentang kebhinekaan, karena bangsa ini memang dibangun dari keberagaman dan perbedaan namun tetap mengutamakan tunggal ika. Itu sudah final sebagai konsensus kebangsaan kita, tidak perlu diungkit dan dipermasalahkan lagi,” tegas Bambang Susanto, SH., MH., Mantan Kadiskum TNI Angkatan Laut kepada SWARA SENAYAN (27/11/2016).

Menurut Bambang, hendaknya pemerintah mengapresiasi kehendak rakyat yang diwakili oleh para peserta unjuk rasa yang benar-benar untuk menegakkan keadilan bagi si penista agama. Pemerintah jangan malah lari dan terkesan mengabaikan dari substansi yang disuarakan umat Islam pada aksi 411.

“Pemerintah harus tanggap dan bertindak cepat untuk merespon substansi masalah. Ini malah terjadi show off kunjungan presiden ke berbagai tempat, antara lain ke basis-basis komando TNI dan POLRI, yang bisa diartikan berbagai macam. Fokuskan penyelesaian masalah terhadap si penista agama, jangan membuat manuver yang multi tafsir,” ucapnya.

Bambang mengutip dasar konstitusi, berdasarkan Pasal 10 UUD 1945, Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI AD, AL dan AU. Karena itu, Bambang sependapat dengan Mantan Menkopolhukam Laksamana Tedjo Edhi bahwa Presiden bukanlah Panglima Tertinggi TNI.

“Penyebutan Presiden adalah Panglima Tertinggi TNI sudah salah kaprah, karena tidak ada satu pasal maupun ayat dalam UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden adalah Panglima Tertinggi TNI,” ujar Bambang.

Lanjutnya, bahwa Presiden mempunyai kekuasaan terhadap TNI menurut Pasal 10 UUD 1945 adalah konsekuensi logis sebagai seorang presiden. Jika Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI, maka berarti presiden dapat diartikan secara struktural masuk dalam TNI. Padahal jika Presiden secara struktural masuk dalam TNI, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan, keputusannya bukan di tangan Panglima TNI, tetapi ditangan Presiden.

Menurut Bambang, presiden tidak boleh menggunakan TNI untuk tindakan-tindakan yang melanggar konstitusi. Dia mencontohkan, TNI tidak boleh ‘membantai’ rakyatnya sendiri yang hanya ingin sekedar menyampaikan aspirasi.

“TNI tidak tunduk kepada penguasa, namun hanya tunduk kepada konstitusi. Artinya, jika penguasa melanggar konstitusi, maka TNI tidak boleh mengikuti perintahnya, karena TNI berasal dari rakyat, TNI adalah tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional. Artinya, TNI selalu bersama rakyat sehingga tidak boleh memerangi rakyatnya sendiri. Apabila hal itu terjadi, maka TNI dan Penguasa sudah melanggar Hak Asasi Manusia dan harus bertanggung jawab,” tegasnya.

Pengertian Panglima Tertinggi bahwa TNI benar-benar dibawah kendali presiden, namun penggunaan TNI hanya dalam rangka pertahanan negara terhadap serangan dari luar (self defence dari serangan militer negara lain). “Sedangkan pengertian Pemegang Kuasa, Presiden tidak boleh menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang, apalagi memerangi rakyatnya sendiri. Sekali lagi, TNI digunakan hanya untuk pertahanan negara terhadap ancaman dari luar maupun pemberontak bersenjata dan gerakan separatisme,” ujar Bambang.

Atas dasar tersebut, Bambang sebagai mantan prajurit AL berharap pemerintah menyelesaikan kasus penistaan agama bisa secepatnya diselesaikan dengan sebaik-baiknya dengan menegakkan prinsip-prinsip keadilan. Sehubungan dengan wacana sholat Jum’at disepanjang jalan protokol Jakarta yang rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 2 Desember 2016 (212), sampai-sampai kepolisian menebar maklumat dengan helikopter.

“Jelas, sikap kepolisian terlalu berlebihan dalam menyikapi umat Islam yang hanya menghendaki penegakan hukum yang seadil-adilnya bagi si penista agama. Penetapan status tersangka terhadap Ahok masih menuai ketidakadilan, karena itulah, umat Islam akan menggelar aksi yang penuh damai. karena sejatinya agama Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamiin. Islam adalah agama yang menebar kedamaian,” cetus Bambang.

Soal sholat Jum’at di jalan, Bambang mengemukakan bahwa kasus Konstantinopel dapat dijadikan sebagai acuan bahwa memang pernah ada sholat Jum’at di jalan terbesar sepanjang sejarah. Di Indonesia pun sebenarnya boleh dan sah-sah saja melaksanakan sholat Jum’at di jalanan, sepanjang ada kehendak masyarakat. Sebaiknya jangan dilarang-larang, jika tentang ketertiban umum, sebenarnya kan bisa diatur oleh aparat keamanan. *DAM

Ayo Berbagi!