Oleh: Marwan Batubara, Koalisi Masyarakat Peduli Kedaulatan (KMPK).
SwaraSenayan.com. Pada 31 Maret 2020 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Menkeu Sri Mulyani yang mewakili pemerintah mengatakan Perppu bertujuan merelaksasi beberapa peraturan perundangan yang diperlukan menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
Menurut Sri Mulyani Perppu merupakan langkah awal dan menjadi landasan hukum agar Pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah-langkah yang bersifat luar biasa secara cepat dan tetap akuntabel guna menangani pandemi korona bila diperlukan. Dikatakan, upaya komprehensif dan cepat sangat diperlukan mengingat penyebaran Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional (14/4/2020).
Berlandas Perppu No.1/2020 pemerintah mengalokasikan dan menambah belanja negara pada berbagai bidang. Total tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun. Tambahan ini dialokasikan Rp75 triliun belanja bidang kesehatan; Rp110 triliun perlindungan sosial; Rp70,1 triliun insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat; dan Rp150 triliun pembiayaan pemulihan ekonomi nasional. Termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya UMKM.
Muatan materi Perppu No1/2020 ada 5 bab, yang didominasi pembicaraan persoalan ekonomi. Walaupun judul Perppu dikaitkan dengan penyebaran korona, nyaris tidak ada satu bab terkait penanganan pandemi Covid-19. Ke 5 bab adalah: 1) Ruang Lingkup, 2) Kebijakan Keuangan Negara, 3) Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan, 4) Ketentuan Sanksi dan 5) Ketentuan Penutup. Khusus bab 3, diatur: Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan, Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan BI, Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan, Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan Otoritas Jasa Keuangan, Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah.
Tak lama setelah terbit, Perppu No.1/2020 langsung menuai kritik berbagai kalangan. Kritik tersebut antara lain terkait masalah: a) relevansi penerbitan perppu jika mengacu UUD 1945; b) wewenang hak budget DPR yang tereliminasi pada pasal 2; c) potensi terjadinya penyelewengan, moral hazard dan korupsi pada pasal 27; d) potensi terulangnya kejahatan seperti terjadi pada BLBI pada pasal 28; e) potensi timbulnya otoriterianisme pada pasal 28; f) dan lain-lain. Berbagai masalah tersebut akan diuraikan dalam beberapa tulisan.
Memperhatikan berbagai potensi pelanggaran dan hal yang membahayakan demokrasi serta kehidupan berbangsa dan bernegara, berbagai kelompok masyarakat telah mengajukan judicial review (JR) terhadap Perppu No.1/2020 kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu kelompak yang mengajukan JR adalah Koalisi Masyarakat Peduli Kedaulatan (KMPK).
Para anggota KMPK peduli terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang konstitusional, berdaulat, bermartabat dan bebas KKN demi terwujudnya kemaslahatan bangsa. Mereka antara lain adalah Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Sri-Edi Swasono, Prof. Dr. M. Amien Rais, Dr. Marwan Batubara, Drs. M. Hatta Taliwang M.I.Kom, KH Agus Solachul Alam (Gus Aam), Dr. HMS Kaban, Dr. Ahmad Redi, Dr. Abdullah Hehamahua, Adhie M. Massardi, Indra Wardhana, seta sejumlah tokoh dan aktivis yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Adapun para Advokat yang akan bertindak sebagai Kuasa Hukum para pemohon antara lain Prof. Dr. Syaiful Bakhri, Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesein, Dr. Ibnu Sina Chandranegara, Dr. Ahmad Yani, Dr. Dwi Purti Cahyawati, Noor Asyari SH. MH., Dr. Dewi Anggraini, dan lain-lain. Para advokat telah bekerja dengan sangat intens, sehingga dokumen judicial review atas Perppu No.1/2020 telah disampaikan kepada MK dalam waktu yang tidak lama.
Gugatan JR dari KMPK diajukan ke MK 13 April 2020. Gugatan resmi diterima Rabu, 15 April 2020. Oleh MK, gugatan telah diberi Nomor Perkara 23/PUU-XVIII/2020. Pada 21 April 2020 melalui Surat No.218.23/PAN.MK/4/2020, Panitera Mahkamah Konstitusi telah memanggil Kuasa Hukum pemohon menghadiri Sidang Panel MK Selasa, 28 April 2020 dengan acara Pemeriksaan Pendahuluan, bertempat di Ruang Sidang Gedung MK.
Sekedar pengingat, MK berwenang menguji UU terhadap UUD 1945, berbeda dengan Mahkamah Agung (MA) yang menguji peraturan di bawah UU terhadap UU. Persidangan di MK menerapkan prinsip audi et alteram partem, keterangan para pihak didengarkan semua dalam persidangan, secara terbuka. Dalam sidang MK akan didengar keterangan pemohon, DPR dan Pemerintah, saksi serta pihak lain yang terkait dengan UU yang diuji.
Upaya JR bertujuan melindungi hak asasi warga negara sesuai konstitusi dari kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan membuat hukum yang dimiliki organ negara, yakni DPR dan Presiden. KMPK melihat Perppu No.1/2020 berpotensi melanggar konsitusi dan memberi jalan terjadinya kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan oleh pemerintah. Karena itulah, demi terwujudnya kemaslahatan bangsa, KMPK menggunakan hak JR yang antara lain dijamin Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD 1945 dan Pasal 51 UU No.24/2003 tentang MK.
Karena itu para pemohon judicial review yang tergabung dalam KMPK dijamin oleh konstitusi dan UU untuk mengajukan uji materil atas Perppu No.1/2020. Karena memang berhak secara konstitusional di satu sisi dan menginginkan kemaslahatan bangsa di sisi lain, maka upaya JR yang dilakukan para pemohon tentu tidak perlu dicurigai atau diberi label yang bernuansa negatif.
Ada 29 pasal yang mengatur berbagai ketentuan dalam Perppu No.1/2020. Dalam hal gugatan JR atas Perppu tersebut Kuasa Hukum pemohon telah memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa: a) Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan 3; b) Pasal 27 dan; c) Pasal 28 Perppu No.1/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pada prinsipnya Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan 3 terkait dengan penghilangan batas defisit anggaran 3% sebagaimana berlalu saat ini. Sedangkan Pasal 27 terkait hak immunitas pelaksana kebijakan dan anggaran Perppu, bebas tuntutan perdata dan pidana. Adapun Pasal 28 terkait dengan tidak akan berlakunya pelaksanaan Perppu No.1/2020 terhadap berbagai ketentuan dalam empat belas (14) UU yang berlaku saat ini. Disini penguasa bisa bertindak melebihi kewenangan menuju otoriterianisme. Uraian lebih lengkap atas 3 permasalahan besar tersebut akan dijelaskan dalam tulisan-tulisan berikut oleh Tim KMPK. *SS