Sekali Lagi, Keadian itu Universal!

Ayo Berbagi!

shamsi-aliOleh: Imam Shamsi Ali (Presiden Nusantara Foundation & Muslim Foundation of America)
SwaraSenayan.com. New York, 6 Desember 2016. Beberapa waktu lalu saya menulis dengan judul “ketika keadilan dipertanyakan”. Sejujurnya tulisan itu memang mempertanyakan adanya perlakuan yang berbeda terhadap masyarakat di hadapan hukum negara. Intinya mempertanyakan definisi kata “tersangka” dalam hukum, yang menurut pengamatan saya, masih diperlakukan beda kepada satu warga dengan warga yang lain.

Walaupun tulisan saya tidak ditujukan membela kelompok tertentu, bahkan kelompok yang kebetulan akidah saya menjadi bagian. Tapi kenyataannya masih ada saja yang menganggap tulisan saya itu membela kelompok. Padahal yang saya bela adalah kebenaran (as-sidq) dan keadilan (al-adl). Dan itu terbangun di atas keyakinan saya bahwa keadilan itu tidak dibatasi oleh batas-batas apapun, termasuk batasan agama.

Kali ini saya kembali mempertanyakan keadilan karena kasus yang menimpa kelompok orang lain, dan kebetulan saya bukan dari mereka. Kelompok Kristiani yang konon kabarnya dilarang melakukan ibadah di tempat yang menjadi hak umum.

Pertanyaannya kemudian adalah adakah dasar hukum pelarangan itu? Adakah memang pelarangan untuk melakukan ibadah di tempat itu? Kalau memang ada maka seharusnya bukan umat Islam yang melarang. Tapi pemerintah setempat karena memang itu wewenang mereka. Tapi jika ternyata tidak ada pelarangan, maka jangankan masyarakat, pemerintah pun tidak berhak melarangnya.

Saya kira kita sepakat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, bukan sentimen suka atau tidak, berpihak ke kita atau tidak yang menjadi aturan. Tapi undang-undang dan aturan yang telah disepakati bersama. Boleh tidaknya, halal haramnya sebuah aksi dalam tatanan kebangsaan ditentukan oleh aturan yang ada.

Oleh karenanya saya menyampaikan keberatan dan protes pelarangan ibadah orang lain, selama tidak ada aturan pelarangan. Bahkan kalaupun ada pelarangan itu, dalam tatanan negara, masyarakat tidak boleh melangkahi penegak hukum (pemerintah dan kepolisian).

 Lalu bagaimana Islam melihat hak iman dan ibadah orang lain? 

Dalam sejarah dunia dan manusia Islam adalah agama dengan ajaran toleransi yang tidak saja “tegas” tapi juga “konsisten”. Dengan kata lain ajaran Islam jelas dan tegas dalam menjunjung kebebasan iman dan ibadah. Sekaligus konsisten dalam ajaran dan implementasinya. Intoleransi kepada umat lain terhadap iman dan ibadah mereka masuk dalam kategori “pelanggaran iman”. Jadi isunya bukan sekedar isu sosial.

Mulai dari konsep “petunjuk” bahwa petunjuk itu mutlak ada di tangan Allah. Sehingga tidak akan ada manusia yang mampu melakukan intervensi. Hal ini sesungguhnya menjadi modal bagi umat Islam untuk tidak terlalu “phobia” dengan usaha-usaha orang lain untuk menyampaikan “berita gembira” alias misionari itu. Ketakutan yang berlebihan itulah yang seringkali melahirkan sikap yang menyalahi prinsip agama sekaligus.

Persis ketakutan Christian fundamentalists Amerika dengan perkembangan Islam. Ketakutan atau phobia yang berlebihan itu menjadikan mereka kehilangan karakteri kristiani sejati yang mengajarkan “cintai tetanggamu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri”.

Dalam pandangan Islam, keyakinan atau iman itu adalah “penerimaan hati yang paling dalam”. Sehingga mustahil akan bisa diintervensi oleh pihak ketiga, selain yang bwrsangkutan dan Tuhannya. Oleh karenanya setiap usaha pemaksaan (ikraah) dalam agama (fid diin) dilarang secara tegas oleh Al-Qur’an.

Lebih dari itu keimanan tumbuh secara subur jika dibangun di atas sebuah fondasi kebebasan dalam kesadaran (freedom of conscience). Sehingga kebebasan beriman dan beribadah itu menjadi hak asasi (HAM) setiap orang. Dan itu adalah jaminan langit. Mengganggunya berarti berlawanan dengan jaminan langit (heavenly guaranteed). 

Saya tidak ingin berpanjanng lebar dalam hal ini. Tapi cukuplah menutup ketegasan Islam dalam toleransi dengan jaminan rasul SAW: “barangsiapa yang menyakiti dzimmi (minoritas non Muslim) maka saya akan menjadi musuhnya di hari Kiamat”.

Bayangkan anda mati dengan sholat, puasa, haji, dan berbagai amalan ritual lainnya. Tapi karena menyakiti tetangga non Muslim, anda akan dibangkitkan dalam keadaan bermusuhan dengan al-habib, Rasulullah SAW. Di saat semua merindukan pertemuan itu dengan beliau, justeru anda diharamkan untuk bertemu dengna Rasulullah karena anda dianggap musuh belau. Wal-iyazu billah.

Membela konstitusi dan keadilan yang universal.

Saya tutup dengan cerita di tahun 2011 lalu. Ketika komunitas Muslim berencana membangun masjid dekat Ground Zero (lokasi reruntuhan WTC).

Sebenarnya rencana pembangunan itu ada di lokasi yang tidak sensitif. Dua blok dari daerah reruntuhan WTC. Tetapi karena di blow-up oleh media, dan dipergunakan oleh sebagian politisi, maka 70% penduduk kota New York menenangnya. Bahkan menjadi isu nasional dan dunia ketika itu.

Di tengah meningginya perdebatan atas kontroversi pendirian masjid dekat Ground Zero itu, sebagian bahkan menuduhnya sebagai simbol kemenangan Islam atas Amerika. Walikota New York Michel Bloomberg dengan sepenuh hati mendukungnya. Padahal seperti disebutkan terdahulu 70% masyarakat New York menentangnya.

Dalam sebuah pertemuan di acara buka puasa di kediaman beliau saya tanya: “Mr. Mayor, why do you support the mosque project near ground zero?”. 

Beliau tersenyum dan menjawab santai: “Imam, listen. I am supporting the mosque, neither the Muslims. I am supporting my Constitution and my value as an American. The constitution guarantees rights of every person in this country to religious beliefs and practices. Building a mosque is a religious practiced which is guaranteed by the constitution”.

Mendengar itu saya hanya terkagum, sekaligus tersentak bahwa di tengah meningginya Islamophobia di Amerika harapan itu tetap ada sebagai warga. Bahwa di saat ada orang-orang Amerika yang melakukan diskriminasi dan bahkan kekerasan, kepercayaan (trust) kepada negara sebagai institusi harus dipegangi. Oleh karenanya sebagai minoritas di negara ini saya juga harus pintar-pintar membawa diri.

Pertama, sadar bahwa walaupun hak-hak kami dijamin oleh konstitusi, kami tetap sadar dengan posisi kami sebagai minoritas.

Kedua, jangan sok dijamin oleh konstitusi lalu merasa berada di atas angin sehingga bersikap secara insensitif (kebal muka). Jangan sampai “over acting” bahkan menyakiti perasaan mayoritas. Jaminan konstitusi perlu dihargai dengan sikap “civic responsibility”, termasuk menjaga perasaan warga sekitar.

Ketiga, belajar dari sejarah komunitas Yahudi di Eropa, keberhasilan jangan sampai melampaui batas-batas kewajaran. Jika keberhasilan itu dibangun di atas penderitaan mayoritas, dengan berbagai eksploitasi, maka alaminya akan menumbuhkan kecemburuan sosial. Dan ini bisa berakibar fatal bagi kelompok minoritas yang jaya.

Keempat, kasus-kasus yang terjadi itu bukan wajah general umat dan bangsa. Oleh karenanya “generalisasi” adalah perbuatan tercelah. Seringkali saya dengar di Amerika ini ada laporan dari Indonesia yang mengatakan bahwa Indonesia dan umat Islam tidak lagi toleran karena kasus-kasus yang ada. Saya kira kesimpulan tersebut berbahaya karean memang upaya merusak bangsa dan negara.

Pada akhirnya, saya hanya ingin mengatakan menjadi kewajiban umat dan bangsa Ini untuk memberikan dan menjamin kebebasan iman dan ibadah bagi semua. Karena selain memang dijamin secara konstitusi, juga dijamin secara samawi (agama). Sebaliknya, teman-teman minoritas saya ajak untuk mengambil tanggung jawab bersama. Jangan sensitifitas umum. Bahkan secara pro aktif melakukan pendekatan kepada masyarakat mayoritas, sehingga suasana menjadi kondusif.

Persis seperti apa yang kami lakukan selama ini di Amerika Serikat. Insya Allah! *SS

Ayo Berbagi!