Revolusi Konstitusional

oleh -76 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Natalius Pigai

Kuliah Umum dihadapan 269 Presiden BEM se Sumatera Utara, 2018

banner 336x280

SwaraSenayan.com. Hari ini bangsa Indonesia berada di titik nadir, titik dimana terjadi divergensia nalar para pemimpin dan rakyat, titik jenuh dimana perilaku ponga yang dipertontonkan pemimpin, titik dimana pemimpin hadir menerkam rakyat, titik dimana Pancasila dan simbol-simbol negara bangsa dipandang sebagai artistik simbolisme tanpa perwujudan substansial.

Kita berada diambang kehancuran. Disparitas antar antar wilayah Timur, Tengah dan Barat, disparitas antar kelompok oligarki dan rakyat, kemiskinan makin hari kian parah 9,82%, 7 juta penganggur anak negeri lalu lalang menenteng tas, menyebrangi jembatan tanpa sungai di kota-kota metropolis, mengetuk pintu penguasa sembari mengucurkan air keringat. Kematian ibu dan anak yang tinggi, kebodohan nyaris menyelimuti seantero negeri ini.

Pemimpin menggadaikan negeri ini kepada pasar, Indonesia sudah tergadai pada komprador, penguasa modal, kekuasan aseng dan asing, pemilik uang IMF dan Bank Dunia. Kita menjadi hamba sahaja melayani penguasa uang di kolong langit, dijamu dengan nilai fantastis 850 miliar rupiah, uang hasil keringat rakyat. Padahal 4 tahun yang lalu pemimpin tertinggi negeri berkomitmen menjaga moralitas untuk hidup tidak hedonis, anjurkan makan ubi, singkong, tahu dan tempe  di setiap sidang kabinet. Inilah wujud nyata perilaku ponga dan bedebah dipertontonkan kepada rakyatnya sendiri tanpa perasaan malu.

Banyak bangsa yang iri hati pada bangsa ini, nusantara. Dari Sabang sampai Merauke, Miangas di Utara sampai Rote Sabu Raijua Ujung Selatan, terdiri gugusan kepulauan sebanyak 17 ribu lebih pulau, didalamnya berisi sumber daya alam yang melimpa ruah. Namun kita menyaksikan Hutan-hutan kita dicuri, rampas dan rampok (ilegal loging), ikan-ikan di laut dan segala biota dicuri (ilegal fisihing), sumber daya alam di atas bumi dan perut bumi dijarah (ilegal Mining) komprador asing, aseng dan negara. Hegemoni mereka terlalu tinggi. Rakyat merana di atas kelimpahan. Ibarat tikus mati di lumbung padi.

Letak geografis yang strategis, berada di antara 2 benua, Australia dan Asia, diapit 2 Samudera menjadi letak yang strategis sebagai lintasan mobilitas barang, jasa dan orang dari Eropa ke Pasifik dan Asia Timur, juga Australia ke Asia.

Baca Juga: KORNI: Kinerja Jokowi Maju Pesat di Semua Sektor

Apapun alasannya Indonesia berada dalam ancaman. Kita diancam 13 musuh tetangga, merongrong wilayah batas terluar negara dijadikan pusat penyeluduoan orang (traficking), dan penyeludupan barang (smugling) dan pusat transaksi narkotika.

Konflik kawasan mengancam geopolitik kita secara serius. Soal laut China Selatan, Konflik psikologis Australia dan Asia, pergolakan bangsa Moro di Philipina, perjuangan bangsa Melayu di Jala, Patani dan Naratiwat  di Thailand Selatan dan berbagai konflik regional yang mengitari kawasan ini. Jangan anggap remeh karena sejarah dunia telah membuktikan bahwa sebuah negara baru lahir juga bubar tidak hanya karena perjuangan semesta tetapi juga momentum. Momentum dimana konflik kawasan mampu membentuk peta dan geopolitik baru. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa tidak mustahil bangsa ini lepas dari belenggu penjajahan jika tahun 1942 Jelang tidak menyerbu Honolulu, Amerika mengamuk mengusir Jepang melalui lautan Pasifik, Bom Atom Jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Invasi Jelang di Indonesia dan Belanda terusik. Adanya kekosongan kekuasan Laksamana Maeda memerintahkan pembentukan Dokuritsu Jumbi Zusakai, Panitia Persiapan Kemerdekaan. Konflik dan perang antara blok Barat dan Timur telah menghasilkan ratusan negara-negara baru di abad-19 baik di Afrika, Asia juga di Amerika Latin. Oleh karena itu, jangan main-main.

Hari ini juga China penetrasi ke Asia Tenggara, Singapura telah jatuh, kawasan Pasifik mulai diintai, kawasan Afrika, Sri Langka dan Maladewa  nyaris jatuh ditangan China artinya Samudera India di ufuk barat Indonesia akan dikendalikan ditangan bangsa China musuh bebuyutan India. Bukan mustahil konflik dimasa depan adalah Lautan Andaman dan Teluk Benggali. Apalagi nilai histori bahwa bangsa Sino Tibetian dan Austro Asiatik di Thailand dan Myanmar memiliki sejarah yang panjang dengan bangsa mongol di China.

Sebagai negara yang memiliki Labilitas integrasi nasional, dibutuhkan Kekuatan pertahanan yang tangguh. Kekuatan pertahanan tidak hanya terdapat pada:

1. Jumlah dan Profesionalisme Militer.

2. Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) militer yang memenuhi atau melampui kekuatan minimum (minimum esensial force).

3. Kekuatan Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya yang tangguh.

4. Kekuatan rakyat Indonesia. Kenyataan menunjukkan bahwa militer hanya menjadi garda depan integrasi teritorial  dengan mengedepankan pertahanan doktrin unitarian NKRI.

Militer tidak pernah mampu bersuara atau berbicara menekan pemerintah tentang pentingnya keadilan sosial. Tidak mungkin Negara Kasatuan akan utuh tanpa keadilan sosial, sebaliknya keadilan sosial merekatkan jiwa nasionalisme dan integritas sosial. 73 tahun kita tersandera dan berbicara terus menerus tanpa henti tentang NKRI harga mati, spanduk di depan kantor kantor militer, atau reklame, baliho militer terpampang di sudut-sudut jalan NKRI Harga Mati, tetapi mana tulisan Keadilan, kesehatan, pendidikan dan sandang, pangan dan Papan sebagai keadilan sosial Harga mati? Kita tidak ingin militer menjadi panglima dalam perang juga panglima dalam pembangunan seperti sistem binomial pada masa orde baru, tetapi sejatinya mereka menekan pemerintah akan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kita mesti bertanya kepada pemimpin negeri ini. Mengapa Indonesia sampai pada umur 73 tahun masih berdiskursus tentang pentingnya pembangunan karakter kebangsaan (nation and character building). Masih berbicara tentang jati diri bangsa, masih berbicara tentang pemilik negeri dan bukan pemilik negeri, Masih berbicara tentang nilai-nilai fundamental, kita masih berbicara tentang adanya labilitas integrasi nasional dan integrasi sosial.

Ketidakharmonisan bangsa ini bertahan begitu lama. Salah satu sumber dan pemicu persoalannya adalah tiap pemimpin di negeri ini mengklaim diri sebagai sentrum utama nasionalisme, sumber nasionalisme. Presiden klaim diri pusat nasionalisme berada disinggasana kekuasaan di istana negara dan pemegang kekuasaan, sedangkan rakyat dianggap bukan nasionalis. Seakan-akan pusat nasionalisme hanya deliver dari Sukarno ke Suharto, Habibie, Gusdur, Megawati, SBY dan Jokowi saat ini. Sementara rakyat dianggap bukan pemilik nasionalisme.

Bahaya akibat nasionalisme personifikasi individu para pemegang kekuasaan menjustifikasi dan bahkan memperlebar segregasi antara pemerintah dan rakyat, dimana rakyat termarjinalkan dari mainstream utama nasionaliame dan bahkan dianggap bukan nasionalis. Akibatnya hari ini kita menyaksikan jutaan rakyat muslim  turun ke jalan-jalan protokol menuntut keadilan, orang-orang pinggiran di Papua, Aceh dan Kalimantan berjuang mempertahankan identitasnya. Inilah problem kebangsaan kita saat ini. Karena nasionalisme hanya diklaim milik segelintir elit politik di negeri ini.

Perilaku arogan yang dipertontonkan oleh pemimpin negeri ini dengan mengkultuskan diri sebagai pemilik negara adalah absurd, arogan, kronisme dan cenderung primordialisme. Namun harus diingat bahwa Bangsa ini tidak pernah diperjuangkan oleh kelompok, satu orang, satu suku dan agama.

Laksamana Malahyati berjuang di Aceh, Sisingamangaraja di tanah Batak, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Hasanudin di Makasar, Patimura di Ambon, demikian pula ada 7 Pahlawan keturunan China, ada Baswedan dari keturunan Arab, pahlawan beragama Katolik dari Jawa Tengah, Slamet Riyadi, Adi Sutjipto, Adi Sumarmo, Yos Sudarso, I.J. Kasimo dll, yang merintis kemerdekaan ini semua suku bangsa dan agama.

Para pejuang ini keturunan rakyat jelata, bukan darah biru, raja-raja di nusantara juga tidak pernah berjuang kemerdekaan Indonesia, mereka hanya sebagai pemungut cukai, kaki tangan dan anak emas kolonial. Padahal dalam sejarah, kolonial hanya 1 orang Raja yang dieksekusi Mati oleh Belanda, yaitu Raja Ende Lio di Flores, Pius Wasi Wangge di eksekusi di Kupang, namun hari ini kesultanan Yogya, dan Kesunanan Solo dan Darah Biru di Jawa mengklaim negeri ini milik mereka, omong kosong!

Apa yang perlu kita lakukan hari ini, rakyat Indonesia harus bersatu melawan dan menentang nasionalisme

Personifikasi individu menjadi nasionalisme tanah air dan bangsa. Karena Nasionalisme menyatakan pertautan perasaan identitas diri dan keanekaragaman sebagai mosaik Indonesia. Nasionalisme juga bersatu karena kita mengalami trauma dan tragedi yang sama pada masa lampau (renan).

Atas nama nasionalisme membungkam lawan-lawan politik adalah salah, atas nama nasionalisme menerkam rakyat juga tentu tidak bisa dibenarkan. Ironi di negeri ini, di Jerman, Hitler tampil sebagai pemimpin yang kejam membunuh 6 juta Bangsa Jahudi tidak pernah mengklaim diri pusat nasionalisme, juga bukan untuk mempertahankan kekuasaannya sebagai kanselir Jerman. Tetapi Hitler membela bangsanya yaitu bangsa Prusia, berjuang demi harga diri bangsa Prusia. Demikian pula di Rusia dimulai dari restrukturisasi Rusia melalui grasnot, demokratizaya dan preostroyka dan akhirnya juga negara Rusia melepaskan beberapa negara pecahan di Eropa Timur dan 3 negara di Kaukasia Selatan pada 1991 juga untuk mempertahankan bangsa  Rusia seperti sekarang ini. Revolusi Perancis adalah juga mempertahankan bangsa Perancis dan juga restorasi Meiji di Jepang terjadi setelah penjajahan Jepang terhadap China dan kemenangan Jepang atas perang  Manchuria menghadapi Rusia dan Jerman juga untuk mengangkat harga diri dan nasionalisme bangsa Jepang bukan untuk mempertahankan citra atau kekuasaan Meiji dan Kawan-Kawan yang menjadi Pemimpin perang.

Oleh karena itu, para pemimpin negeri ini yang mengklaim diri pusat nasionalisme harus kita lawan! Kita harus lawan! Kita harus lawan. Lawan tidak mesti perlawanan fisik tetapi perlawanan terhadap cara pandang, pola pikir dan nalar penguasa yang berada di singgasana kekuasaan. Karena akal sehat untuk mengelolah negeri ini sedang tumpul, galau dan bahkan nelangsa di simpang kiri jalan.

Saya harus jujur sampaikan kepada adik-adik sekalian. Bangsa ini sedang mengalami Problematik secara kronis sepanjang lebih dari 50 tahun. Salah satu sumber persoalannya dimulai ketika Negara ini mengambil 3 senyawa yang berbeda dalam satu wadah yaitu; Nasionalisme, Agama dan Komunis. Bagaimana mungkin tiga pilar yang bertentangan bisa dipaksa dalam satu wadah. Nasionalisme yang mengedepankan cinta pada tanah air dan bangsa yang bersifat profan, duniawia dan alam pikir sekuler. Sedangkan Agama berbicara tentang hubungan transendental antara Tuhan dan Manusia, Tuhan dijadikan sebagai sumber moral dan pusat kekuasaan dan Komunsme yang mengajarkan cara pandang materialisme, sebuah dialektika dan logika tentang peniadaan Tuhan.

Sangat kontras dengan posisi ideologi politik-ekonomi negara-negara dunia ketiga dimana dunia berada dalam perang dingin antara blok barat dan timur. Bandingkan di Tanzania, pejuang dan proklamator bangsa Sanzibar dan Tanggayika Prof Julius Nyerere membangun doktrin sosialisme ujama yaitu kombinasi antara sistem sosialis, kapitalis dam nasionalisme berpusat pada rakyat agrarian. Agama ditempatkan pada posisi Agung (adiluhung).

Sebenarnya akhir tahun 1960-an ketiga pilar ini sudah mulai pudar dan pecah bahkan komunisme dibubarkan bahkan dilarang dan tidak berada satu wadah, namun 1973 ketika terjadi fusi partai, kekuatan komunisme masuk dalam mesin utama sebuah partai menjadi kekuatan utama sebuah partai yang bertahan sampai sekarang. Sedangkan kelompok agama sebagai penentang komunisme masih memiliki ingatan akan trauma dan tragedi (memoria pasionis), bermusuhan dan menyimpan dendam kesumat atas peristiwa 65. Sepanjang kekuatan komunisme ini masih ada dalam mesin utama politik maka persoalan bangsa ini tidak akan pernah berakhir. Dampaknya hari ini kita menanggung dosa sejarah dan akan terus menjadi noda hitam bangsa dalam sejarah Indonesia.

Berbicara tentang komunisme adalah pembicaraan yang paling sensitif di negeri ini. Keberadaan komunisme masih menghantui sebagian besar rakyat Indonesia. Namun hari ini pemerintah menjalin hubungan dengan negara komunis China menunjukkan mengambil politik luar negeri lebih ekstrim melampaui pakem politik bebas dan aktif. Kebijakan politik luar negeri pemerintah yang lebih condong ke China dibandingkan negara-negara Amerika, Eropa bahkan Jepang cenderung mengancam eksistensi negara Republik Indonesia. China adalah super Power bidang ekonomi, politik, militer juga finansial.

Pada Bulan Oktober 2017, Konggres Nasional Partai komunis China telah menetapkan 4 hal penting terkait Indonesia yang harus dicermati dan diwaspadai:

1. Menetapkan Xi Jinping sebagai Presiden China sekaligus sebagai Ketua Politbiro Partai Komunis China. Dimana Jingping pernah ke Jakarta merumuskan konsep Jalur Sutera di Jakarta.

2. Partai Komunis China menetapkan perantau (diaspora) China diseluruh dunia ditetapkan sebagai bangsa China dan China mengenal warga negara mengikuti pertalian darah (ius sanguinis).

3. Keputusan Partai Komunis China bahwa kurang lebih 400 juta orang harus keluar dari China, karena ruang dan kapasitas di China tidak cukup mampu menampung pertumbuhan penduduk.

Ada korelasi dan signifikan jika adanya penetrasi kapital China, pembukaan kawasan industri, pembangunan kawasan real estate dan reklamasi pesisir partai, penguasaan agro wisata, agro industri dan perkebunan yang luas adalah miliu dimana potensial bagi tempat penampungan penduduk China sesuai target Partai Komunis China. Inilah harus dicurigai dan diwaspadai bangsa ini.

Soal 4 Pilar bangsa. Saya harus mengulas satu per satu untuk memahami cara pandang Out of The Box tentang 4 pilar ini. Kita mesti kembangkan pemikiran baru yang lebih dinamis dan fleksibel menyertai perkembangan jaman.

Pancasila. Ironi memang! Hari ini, Pancasila sebagai landas pijak bangsa (norma dasar) mulai terusik, Tuhan mulai dipertentangkan antara sentrum utama kekuasaan dan sumber moral, kemanusiaan terasa tidak adab dan tidak adil, persatuan terkungkung dalam polarisasi SARA, permusyawaratan di monopoli komunitas mayoritas berlindung di dalil dan jargon “One Men, One Vote, dan One Value” di negeri yang penduduknya tidak seimbang, keadilan yang kontradiktif tanpa disertai distribusi kekuasaan yang merata, (no distribution of justice without distribution of power). Soal Distribusi Kekuasaan ini amat penting. Problem saat ini kurangnya distribusi kekuasaan (disturibution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice) maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada kelompok pemenang ini.

Pancasila tidak mesti dijadikan sebagai azas tunggal karena semua komunitas bangsa ini memiliki Azaz yang berbedah bedah, ada yang berazas agama, ada yang berazas budaya, ada yang berazaz kepribadian suku dan bangsa di nusantara.

Sudah saatnya membuka wacana (diskursus) Tuhan sebagai sumber kekuasaan atau sumber moral adalah hal yang mudah diperbincangkan agar termasuk tuntutan akan adanya piagam Jakarta dan juga piagam Madina. Demikian pula kemanusiaan yang adil dan beradab, istilah “adil dan beradab” itu kata kerja bukan kata sifat sehingga tidak tepat dimasukan sebagai falsafah hidup (filosofiche groundslack), demikian pula persatuan Indonesia tercerai berai dalam sektarianime dan etnisistas, adalah fakta sosial yang tidak bisa ditutupi atau disembunyikan bahwa ada Islam phobia, Kristen phobia, Papua phobia, Jawa phobia, Bali phobia sudah mulai tumbuh kembang dan menjamur dimana-mana.

Persoalan permusyawaratan, sistem pemilu sekarang promosional terbuka adalah sistem winers takes all, pemenang ambil semua, tidak tepat karena adanya fakta bangsa kita Persebaran penduduk yang tidak seimbang, Jawa masih dominan dari suku lain maka bukan tidak mungkin Presiden melalui pemilihan dan juga legislatif pasti didominasi oleh mayoritas di negeri ini, ini yang namanya kekuasaan berpusat pada satu suku.

Problem saat ini kurangnya distribusi kekuasaan (disturibution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice) maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada kelompok pemenang ini.

NKRI itu hanya sebuah bentuk bangunan negara bangsa, bentuk negara ini sama dan ibarat nomenklatur yang termasuk bangunan sosial, bangunan sosial bersifat dinamis bukan statis dan kaku, sebagaimana sistem sosial yang selalu berubah, NKRI itu juga bisa berubah, sangat ironis seluruh dunia negara kesatuan itu dibentuk jika; luas wilayahnya kecil, negara kontinental (daratan), penduduknya homogen, kekuasaan terpusat.

Kalau bangsa kita jelas bahwa wilayah negara ini terlalu luas, negara maritim, penduduk heterogen, dan pemerintahan demokratis, inilah yang namanya contradictio in terminus. Sudah saatnya kita harus formulasi Ulang tentang NKRI dengan bentuk negara Federasi atau Serikat. Bangsa Aceh bisa mengatur dan mengurus diri sendiri, Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, NTT dan lain-lain.

UUD 1945, sebagai landasan konstitusional tidak dapat diterapkan dan tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia.

Kalau kita cermati sebagai landasan konstitusional tidak mampu menjadi pijakan para pembuat undang undang, berbagai pasal di batang tubuh yang bertentangan dengan berbagai peraturan perundangan yang dihasilkan saat ini.

Selain adanya gugatan sekelompok orang yang dituduh makar yang ingin agar kata “asli” dihidupkan kembali juga adanya undang-undang yang bertentangan misalnya hukuman mati, sesuai dengan pasal 28 huruf i UUD 1945 menyatakan pengakuan hak hidup namun dalam UU KUHP masih menerapkan hukuman mati, demikian pula UUD juga tidak statis, kita memilik pengalaman amandemen UUD 1945. Sudah saatnya UUD 1945 dilakukan perubahan secara radikal untuk mengakomodir agar adanya kepastian kepentingan golongan minoritas dalam eksistensi Republik ini.

Bhinneka Tunggal Ika ini hanya hanya adagium yang dimaknai secara simbolik tetapi tidak substansial, pengakuan keanekaan secara simbolik tidak disertai dengan kebijakan yang berbhinneka, ketika Presiden menunjuk menteri 28 orang dari 34 di antara berasal dari 1 suku yaitu Jawa maka sejatinya tidak melaksanakan atau mewujudkan bangsa pelangi atau Bhinneka.

Bhineka adalah bangsa pelangi karena itu tidak tepat kalau disebut Ika atau Tunggul, pengakuan secara faktual bahwa kita berbangsa multi etnik dan multi minoritas adalah sesuatu ada (being). Kenyataan hari ini menyaksikan bangunan kebhinekaan bangsa rapuh bahkan nyaris tuntuh, saatnya mesti belajar mengakui adanya fakta bangsa ini memang berbeda-beda.

Semua riu redah dan riak-riak di bangsa ini tidak jatuh dari langit, ada akar historisnya dan ironisnya persoalan-persoalan ini muncul ketika bangsa ini memilih Pancasila, UUD 45, NKRI Adam Bhinneka Tunggal Ika menjadi pilar-pilar bangsa yang konstan tanpa membuka ruang menampung nilai-nilai baik yang lahir, tumbuh dan berkembang di negeri ini.

Termasuk Hukum Syariah, Khilafah dan Khalifah sebagai komplementer untuk melengkapi cara pandang, pemikiran dan tindakan berbangsa dan bernegara. Sampai kapanpun bangsa ini akan bermasalah ketika penetrasi Islam transnasional begitu kencang berkembang pada mayoritas, namun negara menutup ideologi, dogmatika agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Kita telah mengalami kemunduran tidak hanya dalam pembangunan fisik tetapi yang terpenting adalah pembangunan manusia. Empat Tahun lalu, Kata NAWACITA begitu magnet dan membahana seantero nusantara. Sejak tahun 2016, Jokowi gugup mengucapkan kata “NAWACITA” dan tenggelam dihamparan lautan nusantara. Kegagalan terbesar bangsa ini adalah gagal menemukan pemimpin yang berfikir (ontologis), mampu menerjemahkan (epistemologis) dan juga bisa mendeliver menjadi nyata (aksiologis). Seperti Revolusi Mental yang konon katanya mau merubah 7 sifat buruk “manusia Indonesia” yang dikemukakan oleh Muchtar Lubis antara lain: munafik (hipokrik), korup, percaya tahayul. Namun Jokowi telah menenggelamkan sendiri karena ada tumpukan nalar orde baru dan mendung besar di atas Istana Negara.

Akhirnya, hari ini kita menyaksikan rakyat menjerit karena tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan akibat pemimipin tidak mampu mengelola negeri ini. Nilai tikar rupiah makin melemah ke posisi psikologi mencapai 14.900. Kita sudah memasuki babak baru krisis perekonomian.

Apa yang telah saya jelaskan di atas adalah berbagai persoalan fundamental yang harus diselesaikan. Tidak lain dan tidak bukan yaitu melalui Revolusi konstitusional. Revolusi konstitusional memang tidak mudah ditemukan dalam berbagai pustaka. Secara teori hanya kita mengenal revolusi konstitusi. Namun saya tegaskan Revolusi jangan dilihat sebagai sebuah perlawanan fisik, tetapi merujuk kepada ide Bung Karno yaitu Revolusi sebagai pergerakan nasional. Pergerakan untuk perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial). Pada hakikatnya revolusi sebagai “perombakan, penjebolan, penghancuran, pembinasaan dari semua yang tidak kita sukai, dan membangun apa yang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan gagalnya pemimpin negara dan melawan tatanan, norma dan keadaan yang buruk  untuk melahirkan keadaan yang baru”. Hal ini harus dimulai dari Mahasiswa sebagai mesin utama perubahan. *SS

Natalius Pigai, Kritikus, Aktivis 98, PRD, SMID dan lain-lain.

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.