Referendum Papua, Mungkinkah?

Ayo Berbagi!

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

SwaraSenayan.com. Jokowi telah melakukan “touring” di Papua, dengan sepeda motor yang canggih, beberapa tahun lalu. Berbagai pembangunan juga dibanggakan Jokowi bahwa dia sebagai pemilik prestasi terbesar membangun jalan yang terpanjang selama Papua bersama Indonesia. Buzzer-buzzer Jokowi malah memposting-posting jalanan yang indah mirip di negara-negara maju sebagai jalan yang dibangun Jokowi di Papua. Rakyat Papua juga mencintai Jokowi dengan memilih Jokowi sebagai capres hampir 100%.

Apakah rakyat Papua lalu semakin cinta Indonesia? atau cinta NKRI? Setelah dinyatakan bergabung dengan Indonesia pada tahun 1969?

Saya baru saja melihat video ribuan atau puluhan ribu massa di depan kantor Gubernur Papua, acara kemarin, seorang ibu berpidato. Ibu itu mengatakan bahwa anak-anak Papua yang di Jawa adalah anak-anak yang dia lahirkan, bukan anak monyet. Dia berkeringat membesarkan anak-anak itu. Dalam keringat itu mengalir darah Papua. Tapi mengapa Jawa dan NKRI menindas anak-anak Papua? Lalu ibu itu meneriakkan yel yel, setelah berhenti menghela nafas, teriaknya: Papua!, puluhan ribu rakyat langsung meneriakkan, “MERDEKA!, sambutnya lagi, Referendum!, sahutan massa, YES!

Teriakan Merdeka yang saya lihat bukan seperti 21 tahu lalu, ketika saya menanyakan hal itu kepada alm. Theys Eluay dan Toha Al Hamid. Beberapa hari sebelum Theys Eluay dibunuh, pemimpin Bangsa Papua itu bersama sekjennya, Toha, sempat makan siang bersama alm. Adi Sasono, Yorrys R, dan saya. Keinginan mereka merdeka masih mix antara perluasan otonomi sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat (rakyatnya yang merdeka bukan Papua) vs. merdeka. Namun, setelah Theys di bunuh di era Presiden Megawati, beberapa tahun kemudian, Toha mengatakan pada saya Bangsa Papua sudah sulit untuk bersama Indonesia. Menurutnya seluruh negara-negara Melanesia di Pasifik dan jaringan Gereja di Amerika semakin bulat mendukung Papua berpisah. Paska kematian Theys, kecenderungan Papua tidak pernah lagi mix antara merdeka vs. atau ragu-ragu. Kecenderungan keinginan merdeka semakin dominan. Bendera Merah Putih sudah dibakar sebagain mereka.

Olivia Tasevski dalam “West Papua’s Quest for Independence”, July 2019, the Diplomat, menjelaskan detail dukungan yang semakin besar kepada gerakan Papua Merdeka. Ketua partai oposisi Inggris dari Partai Buruh, Jeremy Corbyn dan Richard Di Natali dari Senator Parlemen Australia diantara figur utama pendukung itu. Benny Wenda, pemimpin Papua Merdeka (ULMWP/United Liberation Movement of West Papuan), mengklaim telah mendapat dukungan dari 1,8 juta jiwa rakyat Papua dalam petisi yang ditujukan ke PBB untuk menuntut pengusutan pelanggaran HAM dan menuntut pula kemerdekaan. Petisi itu sudah diterima ketua PBB bagian Human Rights, Michelle Blachelet. Disamping itu, Benny juga telah berhasil meyakinkan negara-negara Pasifik untuk ikut dalam pertemuan rutin mereka MSG (Melanesia Spearhead Group).

Di sisi lain, dukungan Israel terhadap Papua semakin nyata. Beberapa tahun lalu, Papua mengibarkan bendera Israel ke seluruh penjuru Papua, sebagiannya resmi. Resmi ini diperkuat lagi oleh pernyataan Sekda Papua baru-baru ini tentang tanah Papua sebagai tanah Israel.

Meskipun Israel, Inggris, Australia dan Amerika tidak melibatkan negara dalam relasi dukungan terhadap Papua merdeka, namun gerakan rakyat dan elit dari negara-negara tersebut mengindikaiskan kedekatan gerakan Papua Merdeka dengan mereka.

Sejauh pembahasan ini, kita sudah melihat bahwa kehendak rakyat Papua untuk merdeka, khususnya 5 tahun belakangan ini semakin menggila. Lalu bagaimana kita berbuat?

Sikap lembut Jokowi terhadap Papua selama 5 tahun ini kecenderungannya akan mengantar pada sebuah situasi kompromistis. Selain tentunya balas jasa dukungan orang-orang Papua hampir 100 persen dalam pilpres mendukung Jokowi. Jaman Suharto, situasi Papua tenang dan terkendali, karena Suharto melakukan cara kekerasan mempertahankan Papua. Dalam masa sebelum Jokowi, beberapa institusi dalam negara memanfaatkan “gerakan jihadis Islam” sebagai milisi sipil berperang atau ancaman memerangi kelompok-kelompok seperatis, seperti dulu “Laskar Jihad”. Laskar-laskar seperti ini sudah distigma sebagai radikalisme, ISIS dan pembuat kerusuhan. Sehingga akhirnya, situasi separatisme di Papua hanya akan dilawan oleh tentara. Namun, siapkah tentara diterjunkan ke Papua?

Tentara tentu siap berperang. Masalahnya tinggal pada Jokowi. Jika Jokowi percaya pada kehendak rakyat, maka referendum bukanlah jalan yang “haram”. Negara demokrasi seperti Inggris pun mempersilakan Bangsa Skotlandia melakukan jejak pendapat untuk merdeka, tahun lalu. Kenapa kita tidak?

Persoalannya adalah apakah kasus Timor Timur akan terulang? Ketika Habibie, Presiden yang dianggap lemah, mempersilakan referendum Timor Timur, akhirnya propinsi ke 27, kala itu, lepas dari Indonesia. Apalagi muncul pertanyaan, bagaimana kalau Papua minta referendum lalu Aceh menuntut yang sama?

Semuanya sekarang tergantung Jokowi. Dan bersifat urgen. Opsi Jokowi dapat berupa antara lain: 1) Menyerang gerakan Papua Merdeka dan anasir-anasirnya secara massif. 2) Jokowi melakukan referendum rakyat Indonesia untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan Referendum Rakyat Papua. 3). Memberi ijin Referendum Papua

Sambil menunggu keputusan Jokowi, lembaga saya Sabang Merauke Circle, nasibnya diujung tanduk, karena Sabang dan Merauke mungkin saja hilang, tinggal Circle nya saja. *SS

Ayo Berbagi!