Rasio Pajak Rendah, Pengelolaan Ekonomi dan Keuangan Negara Tidak Efektif

oleh -62 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Anthony Budiawan (Managing Director Political Economy and Policy Studies / PEPS)

SwaraSenayan.com. Rasio penerimaan pajak adalah rasio (persentase) penerimaan negara dari pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Penerimaan pajak terdiri dari (1) pajak dalam negeri seperti pajak penghasilan perorangan dan badan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan barang mewah, pajak bumi dan bangunan dan cukai, ditambah (2) pajak perdagangan internasional yaitu bea keluar dan bea masuk. Sebut saja rasio ini sebagai Rasio Pajak I.

banner 336x280

Namun, belakangan ini pemerintah, Kementerian Keuangan, mengenalkan rasio pajak yang juga memasukkan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA) yang sebenarnya masuk kategori PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Sebut saja rasio ini sebagai Rasio Pajak II. Tujuan dikenalkannya Rasio Pajak II tentu saja agar Rasio Pajak pemerintah terlihat (lebih) tinggi, karena Rasio Pajak I mengalami penurunan terus, yaitu dari 10,36 persen pada 2014 menjadi 9,89 persen pada 2017. Jadi, sudah di bawah 10 persen! Kalau dengan penerimaan SDA maka Rasio Pajak II pada 2017 menjadi 10,7 persen.

Jadi jelas terlihat ada unsur manipulatif dalam menyajikan data Rasio Pajak II yang memasukkan pendapatan Bukan Pajak ke dalam perhitungan Rasio Pajak agar terlihat lebih tinggi.

Rasio pajak yang rendah mempunyai dampak sangat serius terhadap kesehatan keuangan negara dan daya ungkitnya terhadap permasalahan kemiskinan, kesejahteraan, kesenjangan sosial dan pembangunan ekonomi.

Pertama, Rasio Pajak yang rendah membuat utang (dan defisit anggaran) membengkak (ceteris paribus Belanja Negara). Kalau Rasio Pajak cukup besar maka defisit dan utang pemerintah relatif akan lebih rendah, atau bahkan tidak perlu utang, untuk membiayai anggaran belanjanya: Atau, dengan defisit yang sama pemerintah dapat meningkatkan anggaran belanjanya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi atau untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial.

Sebagai contoh, defisit tahun 2018 sekitar Rp259,9 triliun (angka sementara), dan Rasio Pajak 10,3 persen. Kalau Rasio Pajak bisa mencapai 12,3 persen, maka perbedaan 2 persen terhadap PDB setara dengan sekitar Rp300 triliun, dan, oleh karena itu, pemerintah seharusnya tidak perlu utang. Atau besarnya defisit sama, Rp259,9 triliun, tetapi tambahan penerimaan pajak Rp300 triliun tersebut dapat digunakan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, atau mengurangi kemiskinan, atau mengurangi kesenjangan sosial.

Bayangkan pemerintah belum lama berselang sampai susah payah mencari dana untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan yang jumlahnya hanya sekitar Rp10 triliun sampai Rp15 triliun saja. Sampai-sampai ada wacana untuk menaikkan cukai rokok untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan tersebut. Kalau ini terjadi, artinya orang miskin (rakyat golongan bawah) akan memikul biaya defisit BPJS Kesehatan tersebut karena sebagian besar perokok adalah masyarakat golongan bawah. Hal seperti ini tidak perlu terjadi kalau Rasio Pajak cukup memadai.

Rasio pajak sekitar 10 persen memang sangat rendah sekali dan menjadi permasalahan fiskal yang sangat serius. Pemerintah sebenarnya juga mengerti hal ini, dan sudah berupaya keras untuk meningkatkan Rasio Pajak. Upaya yang cukup radikal pun sudah ditempuh oleh pemerintah yaitu dengan memberlakukan program Tax Amnesty (TA) selama sembilan bulan sejak Juli 2016 hingga akhir Maret 2017 (9 bulan).

Dengan adanya TA, pemerintah memperkirakan Rasio Pajak akan naik signifikan, yaitu sekitar 1 persen setiap tahun sehingga Rasio Pajak pada 2019 ditargetkan akan lebih besar dari 14 persen. Tetapi faktanya hanya isapan jempol belaka. Rasio Pajak malah turun terus hingga 9,89 persen pada 2017. Artinya, TA sudah gagal total. Lalu, bagaimana tanggung jawab pemerintah ketika program yang sangat kritikal ini gagal? TA awalnya untuk memberi pengampunan pajak kepada orang yang melanggar ketentuan pajak yang menyimpan uangnya di luar negari.

Tetapi, kemudian TA diperluas dengan mewajibkan semua warga negara melaporkan hartanya di dalam negeri termasuk rumah, mobil dan sebagainya yang belum dilaporkan di dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak. Seharusnya program tersebut tidak dinamakan TA, tetapi pajak ekstra secara paksa karena pemerintah memerlukan uang pada saat itu.

Kedua, semua paket kebijakan ekonomi dari jilid I hingga XVI yang dikeluarkan sejak 2015 juga tidak mampu meningkatkan Rasio Pajak. Dalam hal ini, kita juga bisa katakan bahwa kebijakan ekonomi selama ini tidak sukses, tidak efektif alias gagal.

Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN kecuali Brunei (karena bebas pajak), Rasio Pajak Indonesia merupakan yang terendah kedua, hanya di atas Myanmar, dan masih lebih rendah dari Laos atau Kamboja. Permasalahan Rasio Pajak ini berawal dari diberlakukannya Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) tahun 2008 yang membuat anjlok Rasio Pajak dari 13,3 persen pada 2008 menjadi 11,04 persen pada 2009. Menteri keuangan ketika itu kebetulan juga dijabat oleh Sri Mulyani. *SS

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.