Oleh: Dr. TB. Massa Djafar, Ketua Program Doktoral Ilmu Politik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Nasional Jakarta
SwaraSenayan.com. Penjelasan Mahfud MD, di balik gagalnya menjadi calon wakil presiden (cawapres) Jokowi dalam acara ILC TV One, 14 Agustus 2018, mengejutkan pemirsa. Meskipun drama politik seputar pencawapresan menuai kontroversi, bagi sebagian yang sudah mafhum tentang prilaku para aktor politik kontroversi itu sebenarnya bukan hal yang aneh.
Dari cerita Mahfud bisa menimbulkan pelbagai interpretasi dan simpulan. Secara konstitusi, keputusan siapa yang akan menjadi cawapres adalah hak prerogratif seorang presiden. Namun, itu hanya sebatas normatif. Sebab, keputusan politik yang dihasilkan berbau transaksional. Kalkulasinya hanya untuk rugi.
Betapa tidak, sebuah keputusan strategis yang diambil oleh seorang capres bisa digagalkan oleh akrobatik para oligarki parpol. Padahal, kedudukan presiden dalam sistem presidensial memiliki otoritas yang cukup. Diikuti tanggung jawab pemerintahan dan kenegaran berada dipundak sang presiden. Karena, setiap keputusan diambil presiden syarat dengan kalkulasi yang cermat, guna menghadapi tantangan ke depan.
Pilihan pada Mahfud dan KH Ma’ruf Amin, ditenggarai sebagai respon terhadap persepsi umat Islam. Jokowi dianggap tidak pro aspirasi Islam. Meskipun keputusan Jokowi tampak aspiratif dan akomodatif. Namun keputusan tersebut bisa diperdebatkan. Sebab pilihan kedua tokoh tersebut tidak mempertimbangkan tantangan ril kedepan. Yang terbaca publik, keputusan itu hanya sekedar memuaskan political distrust atau “amarah” politik umat Islam. Akomodasi politik lebih bersifat simbolik bukan fungsional. Apalagi menggambarkan konfigurasi representasi ulama. Walaupun sedikit berbeda, rasionalitas pilihan pada Mahfud. Ia dianggap cawapres elaktabilitas tertinggi.
Penjelasan lain tentang kegagalan Mahfud MD, karena adanya rivalitas internal keluarga besar politisi NU. Sebut saja, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dan Ketua Umum PPP Romahurmuzy. Kedua politisi ini sejak awal memang sudah mencalokan diri sebagai cawapres. Pilihan Jokowi pada Mahfud MD, tentu mengundang kecemburuan dan penolakan dari kedua pucuk pimpinan partai Islam tersebut.
Resistensi ini paralel dengan sikap para parpol. Mengingat, Mahfud MD bukan dari kekuatan parpol. Karena itu, secara politis posisi Mahfud tidak mungkin dipertahankan Jokowi. Tidak ada parpol yang mendukung. Bukankah, kehadiran kekuatan cawapres diluar parpol, jangka panjang tidak menguntungkan elit parpol, bahkan sebagai ancaman. Apalagi, Mahfud termasuk salah seorang tokoh politik punya integritas. Bahkan menurut pengakuaan Mahfud, ia mengetahui banyak kasus korupsi melibat petinggi parpol.
Dalam pola interaksi dan relasi kekuasaan demikian, maka dapat dipastikan, mustahil presiden memiliki power full dalam mengambil keputusan politik. Termasuk dalam menentukan cawapres.
Banyak pelajaran beharga yang bisa kita petik. Hegemoni kekuasaan parpol, pada akhirnya mengalahkan otoritas presiden. Meskipun dalam konstitusi, kekuasaan presiden memliki power full sebagai konsekuensi sistem presidensial.
Kemungkinan realitas seperti itu, sudah dapat di duga sejak awal. Desain multi partai ekstrim, tidak akan melahirkan singel majority. Yaitu partai yang memperoleh suara mayoritas. Sehingga, dukungan politik yang diperoleh kompatibel dengan sistem presidensial.
Selain distorsi bangunan sistem politik. Harga yang harus kita bayar mahal, adalah praktek politik semakin mengabaikan, bahkan defisit etika politik yanh semakin akut. Dimana seorang presiden bisa mencabut keputusannya di last minute, karena tekanan oligarki parpol.
Inkonsistensi praktek sistem presidensil kini sudah diangap sebuah kelaziman. Alasan klasik kerap muncul, dibungkus dengan argumen bahwa politik itu dinamis, perubahan politik dan inkonsistensi itu seakan proses natural belaka. Tidak ada hubungannya dengan etika politik.
Namun yang pasti, tanpa disadari, mereka sedang mendemonstrasikan kanibalisasi politik, yang mengarah dan hanya melahirkan presiden boneka. *SS