SwaraSENAYAN.com. Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak) mengapresiasi langkah yang diambil Walikota Jakarta Utara, Rustam Effendi yang mundur dari jabatannya karena tidak lagi sejalan dengan prilaku dan kebijakan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Demikian disampaikan Koordinator KomTak Lieus Sungkharisma kepada SwaraSENAYAN (27/4/2016).
Menurut Lieus, tindakan Rustam Effendi itu sebagai sikap seorang ksatria yang sudah tidak bisa lagi bekerjasama dengan pemimpinnya yang dzalim. “Rustam itu ksatria. Dia lebih memilih mundur sebagai walikota daripada harus mendukung gubernur yang sudah mendzaliminya,” ujar Lieus.
Seperti diketahui, beberapa hari lalu walikota Jakarta Utara Rustam Effendi mengirim surat kepada Ahok dan menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai walikota. Tindakan itu diambil Rustam setelah Ahok menuduhnya bersekutu dengan Yusril Ihza Mahendra, yang notabene adalah Bakal Calon Gubernur DKI dan juga kuasa hukum warga Luar Batang yang akan digusur Ahok.
Merasa difitnah atasannya sendiri, Rustam mengaku tak terima dengan tuduhan Ahok itu. Di akun facebooknya Rustam pun menumpahkan kekecewaannya pada sang gubernur. Ia menulis; “Tuduhan yang menjurus fitnah apalagi keluar dari mulut pimpinan adalah sesuatu yang sangat menyakitkan.”
Ironisnya, ujar Lieus, ketika kemudian media massa memblow up berita pengunduran diri Rustam tersebut, Ahok dengan entengnya menjawab bahwa ia hanya bercanda saat melontarkan tuduhan itu. “Sungguh ini sangat keterlaluan. Ia memfitnah orang seenaknya sendiri, dan ketika yang bersangkutan protes, dia malah bilang itu cuma bercanda. Pemimpin macam apa itu?” kata Lieus, geram.
Lieus menambahkan, mundurnya Rustam Effendi sebagai walikota Jakarta Utara adalah bukti dari ketidakmampuan Ahok dalam memimpin. “Ini bukti kegagalan Ahok memimpin Jakarta,” ujar Lieus. Apalagi, katanya, sebelum Rustam, ada dua pejabat eselon II di DKI Jakarta, yakni Haris Pindratno (Kepala Dinas Energi dan Perindustrian DKI Jakarta, serta Tri Djoko Sri Margianto (Kepala Dinas Tata Air) yang sudah lebih dulu mengundurkan diri.
“Bahkan kalau mau ditelusuri, sampai Maret lalu ada 15 pejabat eselon IV di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sudah mengajukan surat pengunduran diri dari jabatannya kepada BKD DKI,” tutur Lieus.
Banyaknya pejabat di lingkungan Pemprov DKI yang mengundurkan diri tersebut, menurut Lieus, membuktikan betapa buruknya kinerja Ahok di dalam memimpin birokrasi di Jakarta. “Ini menunjukkan Ahok gagal membangun komunikasi dengan bawahannya. Sebabnya jelas, karena Ahok selalu memaksakan kehendak dan mau benar sendiri,” jelas Lieus.
Karena itulah Lieus mendukung sikap yang diambil walikota Jakarta Utara untuk mundur ketimbang terus dijadikan tempat sampah yang harus menampung sumpah serapah Ahok. “Jika sudah menyangkut harga diri, pilihan Rustam Effendi untuk mundur sebagai walikota adalah pilihan terbaik,” kata Lieus.
Lieus pun berharap, langkah mundur yang ditempuh Rustam Effendi itu diikuti oleh para pejabat lainnya di Pemrov DKI. “Untuk apa terus menjabat tapi cuma dijadikan bemper dan tong sampah tempat Ahok menumpahkan kemarahan dan sumpah serapahnya. Mundur sebagai kesatria, itu lebih terhormat. Toh mereka tak akan kehilangan status kepegawaiannya,” tutur Lieus. ■mtq