SwaraSenayan.com. Tanggal 12 Februari 2020 lalu, pemerintah menyerahkan draf omnibus law Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja kepada DPR RI. Omnibus law atau yang kerap disebut dengan UU “sapu jagat” ini membahas berbagai topik dengan maksud mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah undang-undang lain. Namun demikian, dalam omnibus law cipta kerja yang disampaikan tersebut, terdapat beberapa pasal yang berdampak pada kewenangan Bank Indonesia (BI) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Demikian kritik yang disampaikan anggota Komisi XI DPR RI, Ir. H. Junaidi Auly, MM kepada SwaraSenayan (7/5/2020).
Legislator asal Lampung ini mengatakan bahwa pada draf RUU Cipta Kerja tentang perbankan pasal 85 menyebutkan Ketentuan dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) diubah.
Perubahan tersebut terdapat pada Pasal 22 (1) Bank Umum dapat didirikan oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia; dan/atau c. badan hukum asing secara kemitraan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Apabila yang dimaksud dalam ayat (2) adalah persyaratan pendirian bank baik izin prinsip maupun izin operasional, maka perubahan tersebut membawa implikasi bahwa Bank Indonesia tidak lagi berwenang menetapkan persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi oleh pihak-pihak yang berhak mendirikan bank umum, karena berpindah seutuhnya kepada OJK. Sebagai perbandingan, bahwa setelah berdirinya OJK tahun 2011, proses perizinan pendirian bank baru dilakukan melalui BI terkait dengan operasional bank dan melaui OJK terkait dengan persetujuan prinsip pendirian bank.
Lebih lanjut, Junaidi Auly menuturkan perubahan bunyi pasal yang berdampak pada kewenangan BI juga ada pada RUU Cipta Kerja pasal 86. Referensi pasal ini adalah pasal 9 ayat (3) Pasal 22 Undang Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan pasal 22. Dalam pasal 86 ayat (3) disebutkan bahwa: “Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.”
Peran BI dalam menentukan batas maksimum kepemilikan bank umum syariah oleh badan hukum asing dialihkan kepada peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bank Indonesia telah mengatur secara rinci hal ini melalui PBI Nomor 14/8/PBI/2012 tentang kepemilikan saham bank umum.
Selain BI, BPK juga menjadi lembaga yang kewenangannya tereduksi dengan adanya omnibus law cipta kerja. Junaidi Auly mengungkap dalam RUU pasal 153 yang berbunyi “Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan” mengamandemen UU No 15 tahun 2006 tentang BPK pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara” dan pasal 9 ayat (1) tentang wewenang BPK.
Sebagai penutup, Anggota Fraksi PKS ini menyatakan bahwa semangat kemudahan berusaha dan penciptaan lapangan kerja melalui omnibus law bukan berarti menghilangkan prinsip tata kelola yang baik serta mengesampingkan fungsi BPK sebagai lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan terhindar dari korupsi, kolusi serta nepotisme. Pemangkasan wewenang BI dan BPK dinilai tidak relevan karena berpotensi menimbulkan ketidakberaturan dan kerugian negara. *SS