Magiconomics dan Instruksi Presiden: Bertentangan?

Ayo Berbagi!

Oleh: Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

SwaraSenayan.com. Kurs rupiah sejak akhir tahun 2018 terus menguat. Sempat terperosok ke Rp15.253 per dolar AS pada 11 Oktober 2018, rupiah kemudian berbalik menguat menjadi Rp14.481 per dolar AS pada akhir tahun 2018. Penguatan signifikan ini terjadi hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan saja. Fantastis. Dan sepanjang tahun 2019, rupiah masih menguat menjadi Rp13.901 per dolar AS.

Banyak pihak merasa heran dengan penguatan rupiah ini. Pujian pun mengalir betapa hebatnya kinerja ekonomi Indonesia belakangan ini. Meskipun dalam hati mereka bertanya-tanya tentang keajaiban ekonomi Indonesia ini. Kenapa ajaib? Karena neraca perdagangan 2019 masih defisit cukup besar, mencapai 3,2 miliar dolar AS. Dan neraca transaksi berjalan 2019 juga masih defisit. Bahkan lebih besar dari 2018. Yaitu defisit 22,54 miliar dolar AS (Jan-Sep 2019) vs 21,3 miliar dolar AS (Jan-Sep 2018).

Dalam kondisi ekonomi seperti ini, kurs rupiah normalnya akan melemah. Tetapi, kebijakan ekonomi Indonesia akhir-akhir ini berhasil mematahkan teori normalnya. Kebijakan ekonomi Indonesia malah membuat kurs rupiah menguat. Bukan karena keajaiban. Kebijakan ekonomi ini memang dibuat secara terarah, dengan tujuan untuk memperkuat kurs rupiah. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi ini patut dinamakan Magiconomics. Karena hasilnya luar biasa, bisa mematahkan pendapat teori ekonomi normalnya itu. Dan kurs rupiah menjadi perkasa. Kurs rupiah pada jumat lalu, 24 Januari 2020, perkasa di Rp13.632 per dolar AS. Magiconomics sepertinya tidak sulit membuat rupiah menguat menjadi Rp12.000 per dolar AS.

Tetapi, dampak Magiconomics bisa destruktif. Penguatan rupiah membuat produk Indonesia dalam dolar AS menjadi lebih mahal. Dibandingkan dengan kurs tertinggi pada 11 Oktober 2018, rupiah sudah menguat hampir 11 persen. Mengakibatkan produk Indonesia relatif menjadi kurang kompetitif. Ekspor berpotensi turun. Khususnya untuk produk komoditas, pertanian dan industri yang relatif homogen, yang menjadi ciri khas kebanyakan produk ekspor Indonesia. Sebaliknya, produk impor malah menjadi menarik karena relatif menjadi lebih murah. Impor berpotensi meningkat. Misalnya tekstil, produk tektil, alas kaki.

Hal ini bisa bertentangan dengan instruksi Presiden untuk segera memperbaiki defisit neraca perdagangan menjadi surplus. Presiden ingin segera meningkatkan ekspor dan mengurangi impor. Dan penguatan rupiah berpotensi membuat ekspor turun dan impor naik. Artinya, berpotensi bertentangan dengan instruksi Presiden.

Kondisi ekonomi Indonesia beberapa tahun belakangan ini sebenarnya rapuh. Penguatan rupiah, melalui Magiconomics, bukan sebuah kinerja ekonomi yang gemilang. Penguatan ini sepertinya hanya untuk memberi kesan, atau pencitraan, bahwa ekonomi Indonesia sedang dalam kondisi baik. Padahal tidak.

Karena penguatan rupiah bukan terjadi secara alami melalui surplus devisa: suplus neraca perdagangan (dan neraca transaksi berjalan). Tetapi, penguatan rupiah diperoleh melalui doping. Artinya, rupiah dipaksa menguat. Melalui penerbitan surat utang negara (SUN) yang berlebihan dari yang seharusnya dibutuhkan, dan dibeli asing.

Sepertti dijelaskan di atas, rupiah menguat tajam pada triwulan IV-2018, dari Rp15.253 per dolar AS menjadi Rp14.481 per dolar AS. Kenaikan rupiah ini akibat kenaikan cadangan devisa secara signifikan, yaitu naik 5,9 miliar dolar AS, dari 114,8 miliar dolar AS pada akhir September 2018 menjadi 120,7 miliar dolar AS pada akhir Desember 2018. Kenaikan cadangan devisa (sebesar 5,9 miliar dolar AS) ini diperoleh dari doping, melalui kenaikan utang luar negeri pemerintah sebesar 7,1 miliar dolar AS pada triwulan IV-2018.

Padahal, selama 9 bulan pertama 2018, cadangan devisa merosot tajam, minus 15,4 miliar dolar AS, yang menyebabkan rupiah anjok melewati Rp15.200 per dolar AS. Melalui Magiconomics, dan melalui doping, rupiah dapat menguat cukup signifikan. Padahal neraca perdagangan pada 3 bulan terakhir 2018 membukukan rekor defisit sebesar 5 miliar dolar AS. Itulah kelebihan Magiconomics dan doping rupiah: meskipun neraca perdagangan defisit, rupiah tetap bisa menguat.

Untuk tahun 2019, cadangan devisa sampai akhir September 2019 naik 3,7 miliar dolar AS, yang menyebabkan rupiah menguat. Penguatan rupiah ini diperoleh dari utang luar negeri pemerintah, yang sampai akhir September 2019 (data triwulanan terkini) naik spektakuler, yaitu 11,2 miliar dolar AS.

Jadi, penguatan rupiah memang terarah melalui peningkatan cadangan devisa yang berasal dari utang luar negeri pemerintah. Sedangkan secara fundamental, ekonomi Indonesia masih sangat rapuh. Neraca perdagangan masih defisit. Penguatan rupiah secara prinsip membuat ekspor melemah. Sedangkan di lain sisi, penguatan rupiah dapat dilihat sebagai stimulus impor. Dengan demikian, bukankah kebijakan ini, Magiconomics dan doping rupiah, bertentangan dengan instruksi Presiden yang menginginkan ekspor naik dan impor turun? *SS

Ayo Berbagi!