Luhut Binsar Pandjaitan Meminjam Tangan Kekuasaan untuk Mengkriminalisasi Said Didu?

oleh -350 Dilihat
oleh
banner 468x60

Oleh: Ahmad Khozinudin, SH. (Ketua LBH Pelita Umat)

SwaraSenayan.com. Hari ini (Senin, 4/5/2020) Said Didu akan diperiksa penyidik Ditsiber Polri. Sebelumnya, media hanya mengabarkan Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan Said Didu karena kasus pencemaran nama baik.

banner 336x280

Awalnya, banyak pula analisis hukum bertebaran di sosial media, tentang tidak sah nya laporan Luhut Binsar Panjaitan karena dalam Surat Panggilan yang beredar, perkara dilaporkan oleh Arif Patramijaya.

Namun, perkara yang dihadapi Said Didu bukan perkara biasa. Selain dipersoalkan dengan perkara pencemaran melalui sarana ITE berdasarkan ketentuan pasal 45 ayat (3) Jo. Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 tahun 2016 Tentang Perubahan UU nomor 11 tahun 2008 Tentang ITE, Said Didu juga dipersoalkan dengan pasal menebar hoax berdasarkan ketentuan pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.

Pasal 14 ayat (1) ini adalah pasal karet yang sangat berbahaya. Karena pasal ini, ancaman pidananya 10 tahun penjara.

Berdalih pasal ini, maka Kasus Said Didu bukan murni delik aduan pencemaran nama baik berdasarkan pasal 27 ayat (3) UU ITE, namun juga delik umum menyiarkan kabar bohong (menebar hoax), yakni pasal klasik yang menjerat para aktivis. Sehingga, tak harus Luhut sendiri yang melaporkan perkara.

Lebih bahayanya, pasal hoax yang diterapkan terhadap Said Didu adalah pasal “membuat hoax” berdasarkan pasal 14 ayat (1) UU No 1/1946.

Itu artinya, jika setelah panggilan penyidik menetapkan Said Didu sebagai tersangka, atau beberapa kali panggilan kedepan, maka berbekal ketentuan pasal 21 KUHAP Jo pasal 14 ayat (1) UU No 1/1946, Said Didu bisa ditahan oleh penyidik.

Rupanya, pernyataan Said Didu yang menyebut “dipikiran Luhut yang ada hanya uang, uang dan uang”, konstruksi hukumnya tidak saja diklasifikasikan sebagai pencemaran nama baik Luhut sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (3) Jo pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Terapi, bangun konstruksi hukum yang dilakukan Penyidik telah mengklasifikasi Pernyataan Said Didu yang menyebut dalam “dipikiran Luhut yang ada hanya uang, uang dan uang”, sebagai suatu tindak Pidana menyebar hoax.

Sejak diundangkan pada tahun 1946, pasal ini tidak atau jarang sekali digunakan oleh penguasa Orde Baru untuk membungkam suara kritis rakyat. Di era SBY, Pasal ini tak pernah diaktifkan.

Wajar jika pasal ini tak pernah digunakan, sebab pasal ini adalah delik materil. Artinya, yang dipersoalkan bukan hanya sekedar membuat dan/atau menyebarkan kebohongan tetapi juga menerbitkan keonaran.

Dalam kajian hukum LBH Pelita Umat, pasal menyebar hoax ini adalah termasuk pasal karet yang sering digunakan untuk membungkam dan mengkriminalisasi para aktivis dan pengkritik rezim.

Umumnya, semua kasus kriminalisasi bersandar pada pasal 45 ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE Tentang tuduhan pidana menyebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA, pasal 45 ayat (3) Jo pasal 27 ayat (3) UU ITE Tentang Tuduhan Pencemaran Nama Baik.

Adapun jika menggunakan KUHP, pasal yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi adalah pasal 207 dan 107 KUHP, tentang tuduhan menghina pejabat umum dan makar.

Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, untuk tuduhan menyebar hoax.

Pasal 16 Jo pasal 4 huruf b angka 1 UU No 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, untuk tuduhan Rasis.

Klien-klien yang ditangani LBH Pelita Umat, yakni para aktivis yang dikriminalisasi rezim dipersoalkan dengan pasal yang tak jauh dari pasal-pasal yang telah disebutkan.

Gus Nur (Surabaya dan Palu) dipersoalkan dengan pasal 27 ayat (3) dan 28 ayat (2) UU ITE. Ust Heru Elyasa (Mojokerto) dipersoalkan dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Rini Sulistiawati (Bogor) dipersoalkan dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Suherman (Bekasi) dipersoalkan dengan pasal 28 ayat (2) UU ITE. Bagas Kurniawan (Lampung) dipersoalkan dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Penulis sendiri, dipersoalkan oleh Ditsiber Polri dengan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 207 KUHP.

Yang Paling fenomenal adalah Ali Baharsyah, klien LBH Pelita Umat yang satu ini paling banyak pasalnya. Ali ditangkap dan ditetapkan tersangka oleh Ditsiber Polri dengan pasal 45A ayat (2) Jo. Pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 Tentang Perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang ITE dan/atau pasal 16 Jo pasal 4 huruf b angka 1 UU No 40 tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau pasal 14 ayat (2) dan/atau pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan hukum Pidana dan/atau pasal 207 KUHP dan/atau pasal 107 KUHP dan/atau pasal 14 ayat (2) dan/atau pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau pasal 207 KUHP.

Sampai hari ini, Ali Baharsyah ditahan di tahanan Bareskrim Polri. Surat penangguhan yang diajukan tim hukum dianggap sebelah mata, padahal telah ada jaminan keluarga, para tokoh dan ulama.

Kembali ke perkara Said Didu, perkara ini adalah perkara politik. Hukum hanya dijadikan sarana untuk membungkam lawan politik.

Kasus Said Didu juga kasus yang mengkonfirmasi “Gengsi” seorang Luhut Binsar Pandjaitan. Sebab, target Luhut adalah permintaan maaf Said Didu.

Andai saja Said Didu sejak awal mau meminta maaf, sudah barang tentu kasus ini tidak akan muncul. Pasca pelaporan, Luhut melalui Jodi menekankan bahwa pihaknya masih membuka pintu maaf kepada Said Didu untuk meralat perkataannya.

Semua berpulang pada Said Didu, apakah dia akan mencatat sejarahnya sendiri yang akan tetap lantang melawan tirani dan penindasan, menjadi “orang merdeka” meski dengan resiko dikriminalisasi, atau “Ciut Nyali” dan meminta maaf dalam perjalanan Kasus.

Sementara publik sendiri, sangat membutuhkan perlawanan dan keberanian seorang Said Didu, untuk menjadi catatan sejarah bahwa Republik ini masih memiliki sosok anak bangsa yang idealis dan menggenggam erat prinsip kehidupan.

Sementara, sejarah perlawanan Said Didu ini akan mencatatkan seorang Luhut sebagai tokoh baperan, bukan Negarawan, tokoh yang tak siap dengan perbedaan dan bermental kerdil dengan membawa urusan perbedaan pandangan ke polisi.

Yang paling wajib disadari, Said Didu diperkarakan dengan pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946. Pasal ini, sewaktu-waktu bisa diaktifkan untuk menahan Said Didu jika dalam proses dianggap “Bandel” dan enggan meminta maaf kepada Luhut Binsar Pandjaitan.

Namun, yang perlu penulis garis bawahi adalah adanya pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946, yang disematkan bersamaan dengan pasal pencemaran nama baik melalui ITE, menjadi konfirmasi adanya dugaan kuat Luhut Binsar Pandjaitan meminjam tangan kekuasaan untuk mengintervensi kasusnya. *SS

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.