Jokowi-Ma’ruf Representasi Golongan Nasionalis dan Religiusitas

Ayo Berbagi!

Oleh: Alvitus Minggu, S.I.P., M.Si.

SwaraSenayan.com. Terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres merupakan pilihan rasional (rational choice) dengan harapan ma’ruf mampu mengendalikan isu-isu sara yang dimainkan kelompok-kelompok tertentu yang dapat mengancam integrasi bangsa.

Keputusan politik tersebut memang tidak lepas dari persepsi bahwa Ma’ruf Amin dipilih untuk menjadi wakil mendampingi Jokowi Pilpres 2019 ada hubungan dengan rentetan peristiwa politik sebelumnya. Yaitu tanggal 27 Juli para tokoh agama yang terhimpun dalam Gerakan Nasional pengawal Fatwa Ulama di salah satu hotel ternama di Jakarta bertujuan menyepakati Prabowo sebagai calon Presiden sedangkan Salim Segaf dan Ustaz Somad sebagai wakil presiden dalam pemilihan presiden 2019.

Selang beberapa hari kemudian muncul ribuan ulama dari berbagai daerah berkumpul untuk melakukan aliansi gerakan Zikir kebangsaan di halaman Istana. Apapun alasannya gerakan itu penuh dengan syarat politis dan bisah dimaknai sebagai upaya konsolidasi menggalang kekuatan politik untuk melawan pemerintahan Jokowi.

Apa lagi yang hadir dalam acara tersebut menghadirkan elit-elit agama serta menggunakan atribut agama yang sengaja dikondisikan demi mewujudkan cita-cita politik individu maupun kelompok. Kita menyadari gerakan zikir kebangsaan merupakan bagian dari gerakan politik identitas yang sangat menggaggu perasaan bagi kelompok politik minoritas.

Dipilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres akan membawa konsekuensi positif bagi kemajuan bangsa dan negara yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Pasangan Jokowi-Ma’ruf merupakan perpaduan nilai yaitu mewakili kelompok nasionalis dan kelompok religiusitas yang disokong adanya keterlibatan secara langsung partai politik di dalamnya.

Menggabungkan Jokowi-Ma’ruf upaya untuk menghilangkan doktrin tirani minoritas dan mayoritas di bangsa ini. Adanya keterlibatan partai politik dalam memunculkan calon presiden dan wakil presiden setiap pemilihan umum menunjukkan bahwa partai politik menjadi sesuatu yang terpenting dalam rangka untuk menjamin keberlangsung sistem politik dalam suatu negara.

Partai tidak semata-mata untuk menjaga eksistensi kelembagaan tetapi karena rekrut calon presiden dan wakil presiden sudah menjadi tanggungjawab partai politik yang telah diamanatkan negara melalui Undang-Undang partai politik.

Maka dengan demikian secara moral politik berarti partai politik juga ikut bertanggungjawab bila suatu ketika calon presiden dan wakil presiden terlibat dalam kasus tertentu yang betentangan dengan konstitusi negara.

Persepsi publik pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-sandi seolah-olah pasangan yang merepresentasikan suara umat islam, loyalitas dengan islam, didukung oleh islam.

Mengapa persepsi itu terbangun, karena memang secara kuntitas penduduk indonesia mayoritas merupakan pemeluk agama islam sehingga gerakan pencitraan diri sebagai pembela islam yang dibungkus dengan simbol agama sah-sah saja. Dan itu merupakan langkah strategis yang secara konsisten melakukan oleh para masing-masing kandidat demi memperoleh dukungan suara umat Islam secara signifikan.

Simbol agama ditarik-tarik keranah politik oleh berbagai komponen politik kerena merasa perlu demi memenangkan pertarungan kekuasaan politik. Agama dikapitalisai sebagai kekuatan modal politik bagi para aktor-aktor politik yang sengaja diciptakan untuk meraup suara mayoritas.

Mengklaim seperti ini secara teoritis politik identitas merupakan sesuatu yang bersifat hidup atau ada dalam setiap etnis, di mana keberadaannya bersifat laten dan potensial sewaktu-waktu dapat muncul kepermukaan sebagai kekuatan politik yang dominan. Politik identitas merupakan partisipasi individual pada kehidupan sosial yang lebih ditentukan oleh budaya dan psikologis seseorang.

Identitas merupakan proses konstruksi dasar dari budaya dan psikokultural dari seorang individu yang memberikan arti dan tujuan hidup dari individu tersebut, karena terbentuknya identitas adalah dari proses dialog internal dan interaksi sosial (Castells, 2010: 6-7).

Jika argumentasi tersebut menjadi rujukan oleh kedua pasangan calon baik itu pasangan Jokowi-Ma’ruf maupun pasangan calon Prabowo-Sandi untuk memenangkan pertarungan pilpres 2019 maka merasa perlu untuk tidak mengabaikan dimensi agama dalam setiap kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden.

Terlepas pro dan kontra soal pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Probowo-Sandi menggunakan simbol agama dalam pilpres 2019 sebetulnya pertarungan politik tersebut merupakan praktek riil perluasan pemahaman tentang ideologi demokrasi. Sebab pemahaman tentang demokrasi bersifat multi kompleks. Salah satu di dalamnnya berbicara tentang kebebasan dan kemerdekaan.

Demokrasi sebagai ruang bersama di mana setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mengekspresikan tentang sebuah nilai termasuk pemahaman tentang calon presiden dan wakil presiden untuk menggunakan politik identitas berlabel dimensi agama.

Politik identitas, kebebasan, dan kemerdekaan merupakan prinsip dasar yang secara otomatis melekat dalam diri setiap individu masyarakat bersifat absolutisme karena pada hakekatnya manusia itu selalu berbicara tentang politik yang dipengaruhi tekanan sosial.

Tekanan sosial yang dimaksudkan disini adalah terkait dengan pilpres 2019 yang muncul dua pasangan calon yaitu pasangan Jokowi-M’ruf dan pasangan calon Prabowo-Sandi yang secara realitas muncul pembelahan sosial ditengah masyarakat sebagai akibat munculnya sikap vanatisme yang berlibihan sehingga apa yang terjadi muncul saling bercaci maki, menghina, dan mendiskreditkan satu sama lain.

Pro dan kontra seperti ini menimbul kesan dan masyarakat merasa terangsang persepsi publik bahwa berbagai komponen politik yang ikut bertarung dalam dukung mendukung pilpres 2019 telah terpolarisasi dua faksi yaitu faksi yang mendukung pasangan calon Jokowi-Ma’ruf dan faksi yang mendukung pasangan calon Prabowo-Sandi sehingga muncul persepsi kubu mendukung islam dan kubu tidak mendukung islam.

Misalnya NU beranggapan mengalami perpecahan karena tidak solid dan seakan-akan NU mayoritas mendukung Pasangan Parabowo-sandi sedangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf didukung minoritas NU. Kendati kondisi seperti itu Jokowi dan partai pendukungnya perlu untuk merangkul berbagai faksi politik, maka Jokowi memberi keputusan menetapkan Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya.

Sikap politik tersebut menggambarkan Jokowi seolah-olah tidak yakin dengan dirinya mampu menahan serangan yang dianggap sebagai calon presiden yang tidak suka dengan Islam dan tidak suka dengan Ulama.

Keputusan Jokowi memilih Ma’ruf sebagai calon wakil presiden terutama bertujuan untuk membendung gerakan radikalisme dan gerakan intoleransi di Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim tentu berpotensi besar untuk terjadi adanya gerakan-gerakan seperti itu.

Kehadiran Ma’ruf sebagai capresnya Jokowi dengan harapan mampu memelihara kedamain serta bisa meredam konflik yang berbau sara. Dan di samping itu pula bermaksud untuk memperoleh simpati dan dukungan politik yang signifikan dari berbagai komunitas muslim dalam pilpres 2019.

Pasangan Jokowi-Ma’ruf salah satu penilaian yang dilihat adalah dalam perspektif politik kebangsaan bisa melalui aspek Nasionalisme. Paham nasionalisme merupakan satu paham untuk menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional, baik secara internal maupun secara eksternal.

Nasionalisme dalam Islam, sesungguhnya nasionalisme yang menuju suatu perasaan yang sangat mulia dalam pandangan Islam serta tidak boleh munculnya kebencian dan permusuhan antara sesama sehingga dalam menetapkan pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai calon presiden dan wakil presiden dalam pilpres 2019 dapat mengedepankan kembali nilai-nilai kebenaran sosial yang dapat mempersatukan masyarakat Indonesia serta dapat dimaknai sebagai bagian dari wawasan politik kebangsaan yang mengedepankan kepentingan bersama dengan tujuan mewujudkan manusia yang bisa menghormati, menghargai sesama dan saling menjunjung tinggi nilai hidup berdampingan sehingga NKRI menjadi harga mati. Indonesia semakin kuat dan jaya, yang disimbolkan dalam pemahaman Bhineka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu untuk NKRI. *SS

Ayo Berbagi!