Oleh: Bambang Wiwoho
SwaraSENAYAN.com. Luqman yang namanya diabadikan menjadi nama surat dalam Al Qur’an, dan juga Kanjeng Nabi Muhammad, telah melarang kita untuk berambisi pada jabatan, kedudukan dan kekuasaan. Namun demikian toh tetap banyak orang yang tetap loba dan tamak buat memperolehnya. Di awal abad 21 ini misalkan, kita menyaksikan di negeri kita, para elite politik yang semula bersahabat dan saling mendukung, hanya dalam kurun waktu beberapa bulan bahkan minggu, sudah bisa berbalik saling mendongkel lagi menjelekkan satu sama lain.
Fenomena itu mengingatkan akan nasihat Sang Guru kepada Antigone dalam kisah Oedipus dari mitologi Yunani yang amat termasyhur: “…….dari semua kejahatan yang bagai cacing mengerikiti jalan menuju istana raja-raja, yang terburuk adalah nafsu berkuasa. Nafsu berkuasa mengadu saudara lawan saudara, ayah lawan anak dan anak lawan tenggorokan orangtuanya.”
Orang-orang tua Jawa di masa lalu, terutama yang berpendidikan, sering berpesan kepada anak keturunannya agar bersikap hati-hati dan tidak tergoda pada tiga hal, yaitu harta, tahta dan wanita (Tiga Ta). Yang dimaksud dengan tahta tidak otomatis berarti tahta kerajaan, melainkan pangkat, jabatan atau kedudukan. Dalam rangka itu pula mereka jarang memberikan nama anak cucunya dengan nama-nama yang terkait dengan hal tersebut terutama harta dan tahta. Mereka memilih nama yang menggambarkan kualitas kehidupan, keindahan atau alam.
Bahkan satu periode menggunakan nama-nama binatang yang dikagumi seperti nama suku Indian di Amerika. Misalkan dari kata dasar bagio atau kebahagiaan; mulyo dari kata kemuliaan; kusumo atau retna yang berarti bunga; ayu, edhi, indah atau endah untuk menggambarkan keindahan; untuk menggambarkan sifat alam diberikan nama bayu (angin), samudro (samudera) wukir (gunung), guntur, mega, taufan, surya, chandra; untuk binatang diberikan nama mahisa, danu, esthi, dwipa, elang, singo, gajah, kebo dan lain-lain.
Godaan “Tiga Ta” tersebut mudah membuat kita “melik anggendong lali”, mudah membuat kita lupa diri, lupa pada tata nilai, lupa akan baik buruk – halal haram, sehingga bisa menjerumuskan kita pada kenistaan. Godaan “Tiga Ta” di dalam amalan tasawuf disebut sebagai pesona dunia yang gampang membawa yang menghambanya ke neraka, sebaliknya merintangi jalan ke surga.
Akan hal itu Kanjeng Nabi Muhammad, sebagaimana hadits yang cukup populer yang dijadikan titik tolak bahasan Al Ghazali dalam mukadimah bukunya, Minhajul Abidin, mengingatkan: “Perhatikan, surga itu dikepung oleh segala macam kesukaran. Sedangkan neraka dikelilingi oleh segala hal yang menarik.” Lebih lanjut beliau menegaskan: “Perhatikan, jalan ke surga itu penuh rintangan dan menanjak. Sedangkan jalan ke neraka itu mudah lagi rata.” (Hadis ini telah kami bahas cukup panjang dalam link https://islamjawa.wordpress.com/2014/03/28/surga-dikepung-kesulitan-neraka-dikelilingi-kemudahan/).
Pesona dunia memang menggiurkan. Ia nampak di depan mata, gemerlap, penuh sanjung dan puja puji, menggairahkan dan cepat bisa dinikmati. Sedangkan surga? Masih nun jauh di sana, tak nampak di depan mata kasar dan hanya bisa dilihat dengan mata batin. Sementara itu mata batin juga susah digunakan bila batin kita dipenuhi pesona dunia.
Oleh karena itu wahai sahabatku, marilah saling mengingatkan agar bisa menjaga batin kita tidak dipenuhi dengan pesona dunia, bahkan sesekali mengosongkan dan membersihkan batin serta kehidupan kita dari pesona dunia, antara lain dengan menghayati secara sungguh-sungguh berbagai ibadah wajib, dan secara rutin pula mengerjakan ibadah-ibadah sunah seperti puasa dan salat malam beserta muhasabah dan tafakurnya. Semoga Gusti Allah SWT senantiasa mendekap kita dengan kasih sayang dan barokah-Nya, serta menjadikan kita hamba-hambaNya yang senantiasa mengingat-Nya. Aamiin. ■