Gerakan Guru Besar yang Meminta Mundur Ketua MK Rawan Agenda Politis

Ayo Berbagi!

SwaraSenayan.com. Sejumlah guru besar dan profesor dari berbagai perguruan tinggi mendesak Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mundur dari jabatannya. Para guru besar ini rencananya akan menyampaikan langsung tuntutannya kepada Ketua MK pada 13 Februari mendatang.

Menanggapi gerakan guru besar tersebut, Prof. Romli Atmasasmita dalam akun twitter nya @rajasundawiwaha, menyebutkan bahwa soal Mahkamah Konstitusi ini perlu diluruskan.

“Ketua MK dipilih dan diangkat tidak mewakili asosiasi guru besar atau guru besar se Indoneisa. Tidak relevan menyoal status guru besar dengan jabatan Ketua MK,” tulis Prof. Romli.

Karena itu, permintaan mundur dari sejumlah guru besar tesebut ditanggapi Romli tidak bisa dengan desak mendesak untuk meminta mundur karena proses pemberhentian Ketua MK sudah diatur oleh undang-undang.

“Pemberhentian sudah diatur dalam Undang-undang dan sah adanya,” demikian tulisnya lebih lanjut.

Lagi pula, tulisnya lagi, “putusan mahkamah kode etik MK menyatakan perbuatan yang bersangkutan (Ketua MK) bukan pelanggaran berat”.

Sejalan dengan Prof Romli Atmasasmita diatas, Ketua Program Doktoral Ilmu Politik Universitas Nasional (UNAS) Jakarta, Dr. TB Massa Djafar menyatakan mesti dilihat apa dasar dan alasannya para guru besar meminta Ketua MK mundur dari jabatannya.

“Jika tidak ada alasan yang cukup kuat, maka desakan mundur Ketua MK bisa diduga ada kepentingan politik di belakangnya,” terang TB Massa Djafar ketika dihubungi SWARA SENAYAN, Minggu (11/2/2018).

Lebih lanjut TB Massa mengingatkan bahwa jabatan Ketua MK itu memiliki posisi strategis yang bisa mengamankan kepentingan politik penguasa atau kelompok yang berkepentingan secara politis. Oleh sebab itulah, banyak pihak yang mengincar jabatan tersebut untuk memuluskan agenda kepentingan kelompok tertentu.

Diakui TB Massa, bahwa tugas guru besar seharusnya fokus dalam mengembangkan riset, inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengembangan peradaban masyarakat. Karena itu, perkumpulan guru besar tidak baik bila dijadikan alat politis yang bersifat subjektif yang dapat mengganggu kehormatan dan harga diri profesi. *dam

 

Ayo Berbagi!