Front Pancasila Tolak “Simposium Membedah Tragedi 1965” di Hotel Aryaduta

Ayo Berbagi!
Alfian Tanjung, Koordinator Front Pancasila
Alfian Tanjung, Koordinator Front Pancasila

SwaraSENAYAN.com. Kudeta berdarah Gerakan 30 September PKI (G30S PKI) dan tragedi pembantaian 1965-1966 adalah sejarah kelam bangsa Indonesia dan lembaran merah dalam penegakan Pancasila.

Peristiwa yang sama juga dilakukan oleh PKI sebelum peristiwa G30S PKI. Yaitu,  peristiwa Madiun 1948, tujuannya sama pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah yang sah. Memang di awal kemerdekaan Indonesia, PKI melakukan serangkaian pembantaian di banyak wilayah RI, tidak ada ampun dan dibunuh siapapun yang tidak sepaham. Itulah PKI.

Demikian disampaikan Drs. Alfian Tanjung, M.Pd., Koordinator Front Pancasila kepada SwaraSENAYAN dalam menyikapi simposium yang diduga kuat sebagai ajang kebangkitan PKI (18/4/2016).

Pelaksanaan kegiatan “Simposium Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” pada tanggal 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta Jakarta, menurut Alfian adalah rangkaian acara PKI, setelah beberapa kegiatan sebelumnya gagal terlaksana karena dibubarkan oleh pihak keamanan. Pelaksanaan simposium ini, apakah ada hubungan PKI akan melakukan kudeta kembali atau ini hanya rangkaian acara dari eksistensi komunis Indonesia sudah mengusai kekuasaan saat ini.

Namun menurut pelaksana kegiatan, “ada tiga masalah yang harus dituntaskan oleh pemerintah saat ini, yaitu masalah HAM, stigma masyarakat terhadap korban 1965, dan pencabutan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang mendiskriminasikan korban 1965.

“Substansi simposium tersebut memiliki tendensi untuk membangkitkan paham komunisme di Indonesia dan memaksa pemerintah melakukan permintaan maaf atas kebiadaban PKI,” tegas Alfian Pemerhati PKI, Pimpinan Taruna Muslim dan Ketua Umum BPP Gerakan Nasional Patriot Indonesia / GNPI.

Sementara, faham komunis dalam segala bentuknya dilarang di Republik Indonesia, maka dilaksanakan simposium tersebut bertentangan dengan norma dan Undang-undang yang berlaku. Pancasila, UUD 1945, TAP MPRS No XXV/MPRS Tahun 1966 tentang Larangan Partai Komunis Indonesia dan Underbouwnya serta ajaran  Komunisme/Marxisme/Leninisme, TAP MPR RI Nomor 1 Tahun 2003, Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP berhubungan dengan Kejahatan dan Keamanan Negara, mengatur pelarangan faham komunis di Indonesia.

“Namun kenapa simposium ini didukung oleh pemerintah dan bahkan dilaksanakan oleh pemerintah?” tanyanya dengan penuh keheranan.

Maka, Front Pancasila sebagai sebuah pergerakan aliansi para penegak Pancasila dari berbagai daerah di Indonesia) menolak diselenggarakannya “Simposium Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” atas dasar sebagai berikut:

  1. Simposium dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan legitimasi bahwa PKI adalah sebagai korban pelanggaran HAM.
  2. Simposium dimanfaatkan untuk menekan pemerintah agar menyatakan permintaan maaf selanjutnya memberikan rehabilitasi dan kompensasi terhadap eks PKI.
  3. Simposium dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali paham komunis  yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia dan UUD 1945.
  4. Simposium hanya akan membuka luka lama sejarah sehingga akan menimbulkan perpecahan baru di antara anak-anak bangsa.
  5. Rekonsiliasi telah berjalan secara natural dan tidak dapat dipaksakan, sehingga para anggota PKI telah dapat hidup damai dan bermasyarakat.
  6. Hak-hak politik dan perdata para anggota PKI dan keturunan telah dikembalikan terbukti dengan dihilangkannya tanda ET di dalam KTP. Selain itu, pada saat ini banyak kader PKI dan keturunannya yang telah menjadi anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten, dan menjadi Kepala Daerah di berbagai wilayah di Indonesia.

“Atas pertimbangan diatas, Front Pancasila menghimbau kepada seluruh warganegara Indonesia dan elemen bangsa yang peduli dengan bangsa ini untuk menolak acara simposium tersebut,” pungkasnya. ■mtq

Ayo Berbagi!