Di Era Digital dan Arus Globalisasi, Pancasila sebagai Panduan Generasi Milenial dalam Menangkal Sisi Negatif Teknologi

Ayo Berbagi!

SwaraSenayan.com. Generasi milenial memiliki banyak kesempatan sekaligus tantangan dalam menjalani kehidupan di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan informasi. Untuk itu, para generasi milenial harus mampu menjadikan Pancasila sebagai panduan untuk menangkal sisi negatif dari pesatnya kemajuan teknologi tersebut.

Demikian disampaikan anggota Komisi I DPR RI, Subarna, saat menjadi narasumber dalam Webinar Forum Diskusi Publik yang digelar Ditjen IKP Kominfo bekerja sama dengan Komisi I DPR RI dengan tema “Pancasila, Generasi Milenial dan Tantangan Kebangsaan di Era Digital”, Selasa (26/7/2022).

Dalam mengamalkan Pancasila, kata Subarna, generasi milenial harus memiliki titik pijak dan titik temu. Menurutnya, Pancasila harus dijadikan panutan utama dalam segala aktivitas, termasuk saat berinternet.

“Oleh karena itu Pancasila harus dijadikan panduan dalam menghadapi arus globalisasi ini,” kata Subarna.

Ia mengatakan, Pancasila sebagai ideologi merupakan sarana pemersatu masyarakat. Generasi milenial, kata dia, cenderung lebih unggul bila dibandingkan generasi terdahulu karena kemudahan akses dan bisa berhubungan dengan pihak luar.

“Generasi ini menjadi tumpuan untuk membawa bangsa ini lebih maju. Oleh karena itu, generasi muda jangan sampai terjerumus dalam hal negatif melalui kemajuan teknologi ini,” ujarnya.

Subarna melanjutkan, banyak perubahan bersifat positif melalui perkembangan teknologi, meskipun ada sisi negatifnya, seperti munculnya informasi hoaks, kecanduan gadget dan lain-lain. Selain itu, mudahnya mengakses konten-konten porno dan juga memudarnya budaya lokal di tengah kencangnya arus budaya luar.

“Untuk itu, sebagai generasi milenial kita harus memiliki peran untuk menangkal sisi negatif dari teknologi, termasuk berita-berita hoaks. Kita harus bisa memanfaatkan teknologi untuk kepentingan yang positif,” ucap dia.

Dengan kemajuan teknologi, imbuh dia, generasi milenial bisa mengekspresikan kreativitas mereka yang bisa memiliki nilai jual yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam budaya kita.

“Jadi, secara keseluruhan kita bisa menyimpulkan bahwa banyak sekali dampak positif dari perkembangan teknologi ini. Sebagai generasi milenial kita harus mampu mengelola informasi akibat kemajuan teknologi,” katanya.

Narasumber lainnya, Pegiat Literasi Digital, Gun Gun Siswadi, mengatakan, Indonesia saat ini berada di era digital karena pengguna internetnya sangat banyak, yakni mencapai 204 juta orang. Selain itu, masyarakat juga sudah semakin mudah dalam mengakses informasi.

“Setiap jam setiap menit informasi itu terus bermunculan melalui media sosial sehingga terjadi banjir informasi. Sehingga kita harus memilah informasi ini,” kata Gun Gun.

Era digital, kata dia, akan memengaruhi semangat gotong royong dan toleransi. Menurutnya, hal ini menjadi tantangan yang dihadapi saat ini.

“Oleh karena itu, Pancasila harus diaktualisasikan dan implementasikan secara taktis. Era digital juga harus menjadi momentum untuk meningkatkan literasi Pancasila, terutama bagi generasi milenial,” ujarnya.

Gun Gun menyebut, platform media sosial yang paling banyak digunakan saat ini yakni WhatsApp, Facebook, Instagram, TikTok, Twitter dan lain-lain.

“Nah, media sosial ini harus dimanfaatkan untuk menyebarkan nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.

Sementara, Direktur Pusat Studi Pendidikan Pancasila, Syaiful Arif, menyoroti tingkat literasi masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah. Padahal, menurutnya, tingkat literasi ini memengaruhi aktivitas berinternet.

Ia menilai, maraknya ujaran kebencian, penyebaran berita bohon yang merupakan dampak negatif dari perkembangan teknologi juga tak lepas dari rendahnya tingkat literasi masyarakat. Sehingga, menurutnya, perlu kita untuk cerdas dalam ber-Pancasila di era digital ini.

“Kita patut bersyukur kita adalah generasi milenial yang hidup di tengah kemajuan teknologi. Namun sayangnya kemajuan teknologi ini tidak dibarengi dengan meningkatnya literasi digital,” kata Syaiful.

Ia memaparkan, bangsa Indonesia masih menempati peringkat 62 dari 70 negara dalam hal literasi. Namun, Indonesia menempati rangking ketiga dalam ber-Facebook di bawah AS dan India.

“Jadi pada satu sisi kita malas baca buku, tapi dalam bersamaan kita sangat aktif bermedsos. Lalu apa dampaknya? Nah, Microsoft pernah menyatakan bahwa netizen Indonesia paling tidak sopan di Asia Tenggara. Ini perlu kita kritisi tapi juga perlu jadi introspeksi diri. Pangkalnya adalah rendahnya tingkat literasi kita,” katanya.

Ayo Berbagi!