Oleh : Ariy Hadariy
SwaraSenayan.com – Lulusnya kaum muslimin pada ujian lapar dan dahaga inilah yang kemudian menjadikan kita layak diwisuda dengan perayaan Idul Fitri atau akrab disebut Lebaran. Hari Raya Idul Fitri bagi kaum muslimin bisa dianalogikan dengan graduation day (perayaan wisuda) bagi mereka yang lulus dari studi dan training selama bulan Ramadhan penuh. Mereka yang tulus menunaikan puasa, tekun salat tarawihnya, rajin membaca dan mengkaji ayat-ayat Tuhannya, bermunajat kepada Penciptanya di tengah malam buta (saharul layaaliy) tatkala manusia lagi asyik dengan mimpinya, menggalakkan amal sosial berupa zakat fitrah, zakat mal, dan aneka amal sosial lainnya, pasti akan merindukan bulan puasa di tahun-tahun mendatang.
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/ramadhan-dan-revolusi-mental/
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/diambang-pintu-keluar-ramadhan/
Kerinduan inilah yang hanya dimiliki oleh manusia beriman yang mendapatkan diploma dan degree dari Allah dalam Al-Quran, yakni muttaqin atau manusia bertakwa. Manusia berkualitas ini pulalah yang mampu menyerap wisdom (hikmah) sabda Rasul:
“Jika umatku memahami dan mengerti makna puasa, niscaya mereka akan meminta puasa berjalan setahun penuh.”
Gelar muttaqin ini sesungguhnya label dari Allah dan perwujudan dari human perfection dalam proses mengabdi kepada-Nya dengan tiada henti dan tanpa pamrih
Allah SWT memujanya dalam Al-Quran (87: 14-15):
“He is successful who grows and remembers the name of his Lord, so prays” (“Sungguh beruntunglah seseorang yang berhasil menyucikan diri (dengan berpuasa dan amal sosial), mengingat, dan menyebut nama Tuhannya, kemudian menegakkan salat”).
Di hari kemenangan ini, seorang muslim harus semakin yakin dan percaya bahwa puasa memiliki nilai tambah (added value) bagi pelakunya. Puasa bukanlah kegiatan diet, juga bukan upaya solidaritas sosial, show off kesengsaraan hidup karena kurang sandang dan pangan. Diet tidak memiliki apa-apa dibanding dengan kebesaran berpuasa dalam Islam. Diet merupakan upaya memperlangsing diri dan keelokan tubuh, kecantikan diri, yang dihiasi dengan keinginan membuat penampilan diri lebih “greget” supaya orang lain memberi respect lebih kepadanya. Dengan kata lain, individualisme adalah makna akhir diet. Sebaliknya, puasa justru memiliki makna hakiki yang berbeda. Tujuan akhir puasa adalah terciptanya manusia bertakwa, yakni manusia yang lebih care pada penderitaan orang lain dengan lebih banyak memberi daripada menerima. Manusia takwa adalah manusia yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhiratnya. Antara kehidupan pribadi, keluarga, sosial, dan kenegaraannya, serta harmonis antara emosi dan akal sehatnya.
Rasulullah SAW telah menyatakan bahwa mereka yang berpuasa karena iman dan penuh tanggung jawab, akan diampuni dosa-dosanya, dan mereka kembali pada fitrah seperti bayi yang dilahirkan ibunya (gufirolahu maa taqod-dama min dzanbihi-kal yaumi waladathu ummuhu). Dengan pernyataan ini, sesungguhnya para soimin dan soimat telah diwisuda sebagai manusia yang bersih, dan dadanya penuh dengan semangat hidayah yang akan dimanifestasikannya dalam semangat jihad. Jihad adalah mahkotanya umat Islam, jihad itu bukan berarti kekerasan dan bukan juga penghancuran umat manusia. Dan selama umat Islam meninggalkan makna dan semangat jihad, maka pada dasarnya dia telah menistakan dan menghinakan dirinya sendiri, Nauudzubillah…… Mana mungkin kita melepaskan mahkota jihad, sedangkan firman Allah SWT yang dinukilkan dalam surat Al Baqoroh: 120, khususnya tentang kebencian orang-orang Yahudi tidak pernah akan terhapus. Belum lagi pupus ingatan kita akan kekejaman tentara non muslim jika menjajah Negara-negara Islam. Kini tragedi itu mungkin saja diulangi dan akan terus diulangi apabila umat Islam kehilangan semangat ukhuwah yang berdimensi internasional untuk saling membela sesama saudaranya dalam artian silatul ukhuwah islamiyah. *SS