SwaraSENAYAN.com. “Simposium Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” pada tanggal 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta Jakarta, merupakan hal yang sangat positif untuk mencari fakta-fakta kebenaran yang terjadi atas tragedi 1965.
“Semoga saja simposium ini bisa sebuah awal untuk mengungkap kebenaran sejarah yang terjadi terhadap para korban tragedi 1965, sehingga keluarga para korban dan negara bisa terjadi rekonsiliasi,” kata Arief Poyuono Ketua Umum FSP BUMN Bersatu kepada SwaraSENAYAN (18/4/2016).
Sebab, menurut Arif tragedi 1965 itu adalah merupakan agenda besar Amerika Serikat untuk mencegah Indonesia menjadi negara besar di Asia, sebab konsolidasi politik saat 1965 sebenarnya sudah selesai dilakukan oleh Soekarno dengan NASAKOM nya.
“Namun ya seperti itulah kelakuan Amerika Serikat dan sekutunya yang phobia akan kebangkitan bangsa Indonesia melalui Soekarno yang menolak keras neoliberalisme dan kapitalisme, karena yang dilakukan oleh Soekarno saat 1957 melakukan nasionalisasi aset-aset asing membuat ketakutan para komprador neolib asing,” jelas Arif.
Arif mengurai konspirasi asing ini yang pertama dilakukan sebelum tragedi 1965, Amerika Serikat dan sekutunya melakukan embargo ekonomi pada Indonesia. Nah, karena banyaknya penyusupan agen-agen neolib asing yang sudah sampai menjalar ke Sekolah Sesko ABRI yang pro neolib.
Lanjut Arif, untuk menghancurkan program besar Soekarno dengan ekonomi berdikarinya, maka digunakanlah para lawan-lawan politik PKI dan tentara untuk mengkambing hitamkan PKI seakan-akan mau melakukan kudeta dan anti terhadap aliran agama.
“Jadi, simposium ini penting untuk mengungkap apakah benar PKI yang melakukan makar / kudeta atau konflik elit di jajaran TNI yang dibarengin penyusupan agem-agen neolib untuk mengorbankan PKI sebagai musuh bersama masyarakat Indonesia,” ucapnya.
Alasan Arif tersebut didukung perlawanan PKI terhadap neolib. PKI lah yang paling frontal untuk melawan faham ekonomi neolib, dan underbouw PKI paling aktif melakukan pemogokan-pemogokan kerja di perusahaan asing untuk melakukan nasionalisasi asset-aset asing.
Maka, kata Arif dibuatlah skenario agar berimbas pada jatuhnya pemerintahan Soekarno. “Karena menurut saya tragedi 1965 itu bukan tragedi pertarungan ideologi tetapi pertarungan besar penguasaan ekonomi nasional oleh para neolib asing,” ujarnya.
Hal ini dibuktikan dengan mudahnya Freeport mendapatkan izin eksploitasi besar-besaran sejak tahun 1967 setelah Soeharto memerintah dan masuknya besar-besaran investasi Jepang dan Amerika Serikat serta masuknya dengan deras hutang-hutang luar negeri yang menjerat rakyat Indonesia hingga hari ini yang mungkin sangat sulit bangsa Indonesia melunasinya. ■mtq