Oleh: Batara R. Hutagalung, Peneliti sejarah.
SwaraSenayan.com. Mengajak bertemu untuk berunding, kemudian berlaku licik dan curang, adalah praktek taktik yang dilakukan oleh belanda selama ratusan tahun.
Sejarah mencatat banyak kelicikan yang dilakukan oleh Belanda selama ratusan tahun di masa penjajahan di Nusantara. Juga di masa Agresi Militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945–1949.
Di masa penjajahan sampai 9 Maret 1942 selain mengadu-domba pribumi, tercatat banyak kelicikan Belanda berbuat curang melalui perjanjian-perjanjian dengan kerajaan-kerajaan dan kesultanan di Nusantara, yang hanya menguntungkan Belanda.
Yang sangat terkenal adalah tipuan Belanda mengajak Pangeran Diponegoro berunding. Ternyata setelah Pangeran Diponegoro datang, lalu ditangkap dan dibuang ke luar Jawa. Demikian juga dengan Imam Bonjol. Diundang Belanda untuk berunding, ternyata buntutnya juga ditangkap dan dibuang ke luar Sumatera.
Pada bulan September 1945, Charles Olke van der Plas datang diboncengan tentara Inggris ke Republik Indonesia, yang telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Sampai sekarang, April 2019.
Dengan bantuan sekutunya dalam Perang Dunia II, Belanda berusaha menjajah Indonesia. Dengan menggunakan taktik kolonialnya, van der Plas berusaha membujuk tentara Inggris untuk mengundang para pemimpin Indonesia untuk berunding dan kemudian ditangkap.
Namun pihak tentara Inggris menolak niat licik Belanda, hal ini dituturkan oleh Kolonel Laurens van der Post, perwira Inggris dalam bukunya The Admiral’s Baby.
Van der Post juga mengungkap, bahwa tentara Inggris yang jenuh dengan perang sejak tahun 1939 – 1945 di Eropa, Afrika dan Asia, mendesak pemerintah Inggris agar menekan pemerintah Belanda ke meja perundingan dengan pihak Republik Indonesia.
Pihak belanda mematuhi tekanan pemerintah Inggris untuk Perundingan Linggarjati bulan November 1946. Untuk Belanda, perundingan ini hanya pura-pura sebagai manuver militer, yaitu mendatangkan pasukan wajib militer dari Belanda untuk menggantikan 3 divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia. Jumlah pasukan Belanda sekitar 80.000 orang ditambah pasukan KNIL (kelompok Indo dan pribumi pro belanda) dan pasukan Cina Po An Tui.
Setelah merasa cukup kuat, tanggal 22 Juli 1947 belanda membatalkan perjanjian Linggajati secara sepihak dan melancarkan agresi militernya yang pertama terhadap Republik Indonesia.
Ternyata Belanda tidak berhasil mengalahkan TNI. Atas tekanan dunia internasional di PBB, belanda pura-pura menerima dilakukan perundingan dengan Republik Indonesia.
Dengan difasilitasi oleh PBB, perundingan yang dilaksanakan mulai tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal perang Renville, diakhiri dengan Perjanjian Renville.
Lagi-lagi Belanda memanfaatkan masa gencatan senjata dengan memperkuat pasukannya, dan mendatangkan lagi tentaranya dari Belanda. Setelah merasa cukup kuat lagi (jumlah tentara Belanda sudah sekitar 150.000 orang, ditambah 65.000 pasukan KNIL serta sekitar 50.000 pasukan cina Po An Tui), lagi-lagi Belanda menyatakan pembatalan secara sepihak Perjanjian Renville.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan lagi agresi militer ke 2. Namun lagi-lagi tentara Belanda yang dibantu pasukan KNIL dan pasukan cina Po An Tui, tidak berhasil mengalahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sampai perundingan di Konferensi Meja Bundar di belanda, 23 Agustus – 2 November 1949, TNI dan Republik Indonesia eksis terus. Artinya, Indonesia tidak pernah dijajah dan Tentara Nasional Indonesia tidak terkalahkan!
Ironisnya, agresi militer yang dilancarkan tanggal 19 Desember 1948, hanya berselang 10 hari setelah Belanda ikut menandatangani Pernyataan Umum PBB mengenai Hak Asasi Manusia (UN Universal Declaration of Human Rights).
Di masa agresi militer tersebut, tentara Belanda dan antek-anteknya membantai sekitar satu juta rakyat Indonesia tanpa proses. Demikian kelicikan Belanda yang selalu pura-pura ingin berunding, tetapi berakhir dengan kelicikan dan kecurangan Belanda.
Oleh karena itu, berhati-hatilah, apabila dalam situasi “perang total” (istilah mantan Panglima TNI, Jenderal Purn. Moeldoko) ada yang mengajak untuk bertemu dan berunding. Pasti ada batu besar di balik udang. JASMERAH. *SS