Oleh : Rusdianto Samawa, Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)
(Serial Kajian Ilmiah VII)
SwaraSenayan.com – Potret komunikasi politik Tuan Guru Bajang Muhammad Zaenul Majdi sangat dinamis saat ini. Menjelang pilpres dan #2019GantiPresiden memang selayaknya membangun komunikasi dan menjaga intensitas kepentingan politik.
Menurut Siti Zuhro (2014), bahwa tidak seperti biasanya, sebelum pemilu kontestasi / kompetisi antar individu Capres / Cawapres semakin menghangat. Apalagi komunikasi dengan entitas partai yang dinilai relatif bagus. Partai-partai berkoalisi mendukung pemerintah. Dan partai-partai yang tak mendukung pemerintah (oposisi) berusaha tetap di luar, meskipun mereka tak membentuk koalisi.
Lanjut, Siti Zuhro katakan bahwa istilah koalisi digunakan tapi istilah ‘’oposisi” berusaha dihindari. Namun, eufemisme tersebut tak sejalan dengan action yang mereka tontonkan, karena partai di luar pemerintah sungguh-sungguh melaksanakan fungsi partai oposisi. Kita, masyarakat Indonesia cenderung menyukai eufemisme, meskipun garang dalam bersikap / berperilaku. Pasca pemilu 2014 lalu, suasana politik kita menunjukkan sikap yang buruk. Munculnya koalisi partai pendukung pemerintah (KIH) dan koalisi partai penyeimbang (KMP) dan partai yang netral (Demokrat) tak hanya membingungkan, tapi menimbulkan keruwetan tersendiri. Lebih-lebih lagi posisi Demokrat yang “netral’’ yang senantiasa memerankan dirinya seperti bandul jam, kapan ke kiri dan kapan ke kanan bukan membuat iklim politik semakin tak jernih, tapi juga mendorong dinamika politik ke arah yang tak pasti.
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/apakah-pt-dmb-mengalami-kerugian/
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/tgb-makrifat-yang-futuristik/
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/tgb-retrospeksi-dan-revolusi-pancor-untuk-indonesia/
Namun, kehadiran Tuan Guru Bajang bagi Demokrat, tampaknya cenderung tidak makin dinamis seiring dengan perkembangan yang terjadi di masing-masing rencana koalisi dan juga peran Demokrat sebagai partai yang klaim paling netral dengan meletakkan dirinya sebagai balancer. Ibarat kendaraan, partai demokrat akan mereparasi mobil dengan melakukan spooring dan balancing bila kendaraan tak nyaman dikendarai.
Masalahnya, Tuan Guru Bajang satu Partai bersama Soesilo Bambang Yudoyono dan anaknya SBY bernama Agus Harimurty Yudoyono, tentu komunikasi antara personalitas mewakili partai dan/atau antar koalisi tak akan berjalan memadai sehingga memunculkan rasa saling curiga, saling ‘’mengintai”, dan bahkan saling tak percaya antara mereka. Communication breakdown. Tust building absen. Akibatnya, proses pemilu akan sulit diukur tingkat keterbukaannya karena tak mampu bekerja melakukan fungsi çhecks and balances sebagai sistem demokrasi. Praktek sistem presidensil untuk sementara ini tak efektif karena eksekutif berjalan tanpa pengawasan dari DPR.
Pertanyaannya, bagaimanakah posisi Tuan Guru Bajang pada proses menghadapi pemilu 2019?, apakah kans politik lebih besar diantara koalisi pemerintah atau koalisi oposisi?. Lalu, bagaimanakah masa depan politik Tuan Guru Bajang pasca jadi atau tidaknya memimpin bangsa dan negara ini?. Mari kita jawab pertanyaan diatas, sekaligus tantangan besar bagi Tuan Bajang.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa Tuan Guru Bajang adalah pendongkrak suara pemilih Islam moderat dan pemilih Islam sinkretis maupun pembaharu berideologi kanan “wahabisme”. Sementara itu, di kalangan masyarakat Indonesia sendiri tidak membantah hal yang menyatakan demikian, begitu juga dari pihak – pihak yang diuntungkan dari rencana koalisi yang sedang dibangun itu.
Sebenarnya relasi komunikasi seperti apa yang dibangun Tuan Guru Bajang antara dengan semua partai dan para calon presiden yang lain dalam menghadapi pilpres 2019?. Anggap saja tulisan ini sebagai tesis dan antitesa dari gerakan komunikasi politik yang sedang diramu oleh Tuan Guru Bajang Muhammad Zaenul Majdi.
Sifat argumentasi penulis, soal cara komunikasi TGB sangat deskriptif yakni terbuka dan berusaha membangun relasi antara kekuatan politik ditingkat nasional. Untuk melukiskan keadaan itu berdasarkan pada prediksi – prediksi yang nampak 80% tepat dan akurat.
Selanjutnya, untuk membuktikan komunikasi dan upaya TGB masuk dalam koalisi keummatan dan kebangsaan sudah dijalankan secara fairness dengan menggunakan perspektif jaringan integratif.
Pendekatan komunikasi Tuan Guru Bajang yang dipakai adalah pendekatan sosio-historis, dalam hal ini fenomena yang terjadi sebelum dan sesudah pilpres 2019. Korelasinya yaitu hubungan yang saling membutuhkan (Mutualisme – Simbiosis Transaksional) dalam konteks kontrak politik bersama koalisi keummatan dan kebangsaan. Hal ini sesuai dengan jaringan integratif tadi yaitu Tuan Guru Bajang harus mengukur dirinya sendiri ketika berada di dalam koalisi dan struktur sosial masyarakat.
Karena, apabila menetapkan kesamaan pandangan koalisi, tentu persepsilah yang dapat membeda-bedakan kehendak politik berdasarkam kemampuan mobilisasi dalam mengejar kepentingan hingga ke batas akhir.
Perkembangan, komunikasi politik yang terbangun, ketika Tuan Guru Bajang sudah memiliki modal sosial dan nilai jaringan integratif tadi sehingga masyarakat kelas menengah dannpedesaan sudah mengenalnya. Apalagi, banyak ketertarikan masyarakat perkotaan atas dasar “Sufisme” Tuan Guru Bajang sehingga sangat banyak pengikut di Jakarta di tengah dinamika sosial yang semakin terbuka dan kritis.
Di luar perdebatan akademis, Tuan Guru Bajang harus hadir dalam masyarakat seperti “Sinterclass” yang hendak memberi harapan dari berbagai kegiatan sosial yang diyakini bagian dari mendekatkan diri pada rakyat. Bajang yang relatif mandiri atas proses loby-loby politik ingin mencoba meralisasikan gambaran sosial ideal yang dipahami dari ajaran Islam.
Oleh karena itu maka Bajang bisa jadi sebagai wadah penghimpun potensi kekuatan koalisi keummatan dan kebangsaan dalam upaya membangun, menjaga, dan melanjutkan dakwah Islamiyah melalui struktur negara. Apalagi, Bajang telah banyak memberikan kontribusi kepada masyarakat, tidak hanya melalui pendidikan dan da’wah tapi juga telah mencetak banyak pejuang yang ikut berkiprah di dunia perpolitikan secara langsung melalui partai politik, mulai dari Partai Demokrat, PBB, PBR, Golkar, Gerindra dan PPP.
Kontestasi Bajang saat ini, sejauh mana jejaring produktif Nahdatul Wathan lakukan kerja-kerja politik untuk memantapkan relasi politik dengan seluruh partai politik dan personalitas tokoh-tokoh ulama, politisi, akademisi, rektor maupun memperkuat jejaring pesantren se Indonesia. Namun, yang jadi masalah bagi Tuan Guru Bajang belum diterima dalam koalisi Keummatan dan Kebangsaan karena mayoritas kader PBB tidak lagi menerima Bajang sebagai penerusnya. Ya, mungkin saja karena perseteruan pada Periode pertama menjadi Gubernur NTB.
Sosok Tuan Guru TGKH. M. Zainuddin Abdul Majdi sebagai pencetak kader pejuang politik berbasis Nahdlatul Wathan seperti Tuan Guru Bajang, hal itu dibahas oleh Abdul Hayyi Nu’man dalam judul “Riwayat Hidup dan Perjuangan TGKH. M. Zainuddin Abdul Majdi, (Pancor : PBNW, 1999).” Dalam bukunya bahwa perjuangan membebaskan Bangsa dan rakyat Indonesia khususnya masyarakat Lombok dari cengkraman penjajah Belanda dan Jepang.
TGKH. M. Zainuddin Abdul Majdi mejadikan Madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan dan pengkaderan pejuang kemerdekaan. Disamping itu, Tuan Guru adalah tokoh panutan yang sangat berpegaruh karena kearifan, kebijaksanaan dalam perjuangan sehingga menjadikan masyarakat lombok terbebas dari penjajahan. Abdul Hayyi Nu’man menggunakan kerangka teori kontinuitas dan diskontinuitas, sistem relasi pengetahuan dan keagamaan, komunitas epistemik, dan blok historis dalam menjelaskan potensi kepemimpinan politik Tuan Guru.
Penelitian lain, karya Lalu Muhammad Kabul, dalam bukunya berjudul “Nahdlatul Wathan; Pustaka Masyarakat Sasak dan NTB, cet 1 (Pancor pengembangan masyarakat bekerjasama dengan yayasan AMPHIBI dan LPWN Nahdlatul Wathan, 2005)” yang melukiskan adanya unsur budaya lokal yang tetap berlanjut, selain masuknya pengaruh-pengaruh asing (Timur Tengah dan Barat) yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam Islam. Perubahan yang ditimbulkan oleh pengaruh asing perlu dilihat dengan perspektif lokal dan mengalami proses adaptasi kultural yang mengakibatkannya tidak lagi tampak asing.
Karya diatas merupakan dokumen yang dapat menjelaskan bahwa kiprah politik Tuan Guru Bajang berdasarkan karakter dan pelajaran masa lalunya bersentuhan dengan para sesepuh. Inti dari prinsip berdirinya Tuan Guru Bajang diatas perubahan dalam perkembangan agama, bangsa dan negara.
Tuan Guru Bajang, bisa menjadi tonggak sejarah kebangkitan masyarakat Sasak untuk berjuang menegakkan panji Islam, bangsa dan negara dan menciptakan generasi penerus untuk tetap memperjuangkan agama dan mewujudkan nasionalisme Indonesia.
Tetapi, pilpres 2019 mendatang menentukan segala apapun yang terkait dengan Tuan Guru Bajang. Apalagi, tersandera oleh beberapa masalah yang dianggap tercium oleh publik dimasa pemerintahnya. Lagi pula, rekomendasi 212 sudah di dapatkan. Saat beberapa momen situasi perlu dipertegas bahwa kans besar Tuan Guru Bajang ada pada koalisi bersama Prabowo Subianto, Amien Rais, Fahri Hamzah, dan lain sebagainya.
Untuk melihat objektivitas situasi itu, adalah faktor umat Islam yang perlu diselamatkan secara kolektif. Sekarang, ancaman terhadap umat Islam sangat besar potensinya. Berbagai masalah yang muncul, mulai dari kriminalisasi hingga pembunuhan terhadap aktivis Islam atas nama orang gila.
Maka, baiknya Tuan Guru Bajang tetap berada dalam posisi koalisi Keummatan dan Kebangsaan agar segala bentuk kezaliman bisa dihentikan. Tentu koalisi sudah bisa diprediksi melindungi masyarakat Indonesia dari cengkeraman asing. 50 persen masa depan Koalisi Keummatan dan Kebangsaan ada pada Tuan Guru Bajang. *SS
