Oleh: Bambang Wiwoho
SwaraSENAYAN.com. Membahas masalah kepemimpinan dari masa ke masa, ibarat membuka kalender kehidupan yang sambung-menyambung tiada henti. Sebab usia kepemimpinan itu sendiri seiring dan sejalan dengan peradaban manusia yang senantiasa bergerak dan berubah.
Apa yang telah diuraikan dalam tulisan-tulisan sebelumnya hanyalah sekelumit dari timbunan yang bak gunung, dalam gudang sejarah nan luas tak bertepi dan tak beratap. Buat kita yang penting adalah sejauh mana bisa memetik hikmah dan pelajaran darinya.
Pada tahun 1991 para pengamat sosial politik telah digemparkan oleh tulisan Sammuel P. Huntington (The Third Wave: Democratization in The Late Twentieth Century, University of Oklahoma Pers, 1991), yang menyatakan bahwa gelombang demokrasi telah terus-menerus tanpa henti menghantam pantai kediktatoran; dan untuk mewujudkan demokrasi, para elit politik di masa depan harus percaya bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling sedikit keburukannya. Oleh karena itu mereka harus memiliki ketrampilan untuk mewujudkannya, terutama dalam menghadapi golongan konservatif yang pasti akan terus bertahan.
Demokrasi itu sendiri mempunyai dua dimensi yaitu, dimensi kemasyarakatan dan dimensi kekuasaan/pemerintahan. Prinsip dasar tingkat kemasyarakatan adalah, masyarakat memiliki kebebasan yang hanya dibatasi oleh konstitusi, hukum dan etika. Sebaliknya di tingkat pemerintahan, pada dasarnya terbatas, sehingga pemerintahan dalam demokrasi disebut “governing” dan bukan“rulling”. Governing adalah satu proses pengelolaan kekuasaan di mana keputusan-keputusan secara sepihak, tetapi dirundingkan melalui proses tawar-menawar yang demokratis dan transparan.
Perubahan dalam sistem ketatanegaraan tersebut membawa dampak besar dalam aturan main dan gaya kepemimpinan ataupun pemerintahan. Namun demikian bebagai literatur klasik maupun modern menunjukkan bahwa etika dan moral kepemimpinan tidaklah berubah. Etika dan moral kepemimpinan dari suatu negara yang bermoral yang mengutamakan keadilan, ketenteraman, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya merupakan suatu kebutuhan yang universal.
Memahami Permasalahan
Namun demikian gelombang demokratisasi yang dikumandangkan Sammuel Huntingtong tadi, tidaklah berjalan sendiri. Ia bergulung bersama gulungan-gulungan Gelombang Globalisasi yang berlangsung sebagai dampak berpadunya kekuatan modal dengan kemajuan ilmu-teknologi yang super canggih. Tak jemu penulis mengingatkan, Gelombang Globalisasi tersebut telah mengumandangkan musik jiwa yang menggalang alam pikiran manusia, untuk terpadu secara total pada dimensi rasionalitas yang memuja pesona dunia melalui kebutuhan-kebutuhan palsu yang menyihir.
Dimensi rasionalitas yang ditata dalam tiga sistem utama yakni sistem pasar bebas, sistem sosial politik demokratis yang individualis dan sistem sosial budaya yang lepas bebas, sudah mulai kita rasakan dampaknya dengan berkembangnya sikap dan gaya hidup masyarakat yang hedonis, individualis, pragmatis, materialis dan narsis.
Musik jiwa dimensi rasionalitas dengan 3 (tiga) paket sistem utama tersebut, menyerbu secara dahsyat negara-negara bangsa, dengan mengerahkan 17 (tujuhbelas) Divisi Perang yang menggempur setiap aspek kehidupan rakyat negara bangsa (http://bwiwoho.blogspot.co.id/2014/02/kapitalisme-global-kekuatan-perang.html).
Tiga Divisi Perang diantaranya menggempur secara langsung peradaban sesuatu bangsa termasuk Indonesia, terutama pada aspek nasionalisme, sosial budaya, kearifan lokal, adat dan tradisi, agama serta spiritualisme. Perang seperti itulah yang sekarang kita kenal sebagai perang asimetris, yaitu peperangan gaya baru secara non militer, tetapi memiliki daya hancur yang tidak kalah hebat bahkan dampaknya lebih dahsyat dari perang militer.
Perang asimetris memiliki spektrum yang sangat luas yang oleh Dewan Riset Nasional dirumuskan mencakup aspek-aspek astagatra yang merupakan paduan antara trigatra yaitu geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA serta pancagatra yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya [Dewan Riset Nasional (DRN), 2008, Suatu Pemikiran tentang Perang Asimetris (Asymmetric Warfare), Jakarta].
Di Indonesia, kini sudah semakin disadari pula bahwa Perang Semesta itu juga telah masuk dan menguasai bidang politik dengan slogan “Demokrasi, HAM & Lingkungan Hidup”. Adalah sebuah kenyataan pahit, mereka sedang berusaha keras memporakporandakan ketahanan nasional khususnya aspek Pertahanan dan Keamanan, telah menjarah sumber daya nasional kita terutama Sumber Daya Alam serta mencoba mengendalikan Kepentingan National Indonesia.
Dalam hal nasionalisme, Gelombang Globalisasi berusaha melunturkan serta mendangkalkan nilai dan semangat nasionalisme sesuatu bangsa atau negara, mengobarkan separatisme dan disintegrasi, memecah-belah, menghancurkan militansi rakyat, menciptakan kesenjangan sosial ekonomi serta menyuburkan konflik horizontal dan vertikal.
Dalam aspek sosial budaya, Gelombang Globalisasi menggelorakan sex bebas dan sex sejenis seperti halnya LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender), mengobarkan budaya hidup yang hedonistis-individualistis, pragamatis-materalitis dan narsistis, merusak dan menghancurkan bangunan tata nilai keluarga – kebersamaan – gotongroyong, merusak serta menghancurkan moral masyarakat, kebudayaan, adat, tradisi dan kearifan lokal.
Dalam aspek agama dan spiritualisme, Gelombang Globalisasi mendangkalkan dan menghancurkan nilai-nilai moral spiritual dan kesalehan yang hakiki, melibas tradisi dan kearifan lokal yang memperkuat spiritualisme dan agama, menciptakan dan mengembangkan aliran-aliran sesat, mengembangkan sekularisme dan secara khusus melakukan deislamisasi terhadap pemeluk agama terbesar dan militan ini.
Gempuran dahsyat tersebut kini sudah bisa kita lihat pada pola pikir, perilaku, gaya hidup dan bahkan peradaban masyarakat. Nampak jelas, masyarakat Indonesia kini sedang mabok dalam alunan musik jiwa yang pragmatis, hedonis, individualis, materialis dan narsis. Kita mulai berubah menjadi masyarakat yang sangat egois, yang memuja diri sendiri, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, khususnya agar bisa “berkuasa dan kaya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan segala cara.” Hidup kita menjadi boros, keras lagi mementingkan diri sendiri. Menjadikan kesalehan hanya sekedar sebagai formalitas.
Pola hidup masyarakat sedang berkembang pesat ke pola hidup yang sangat konsumtif berlebihan, serba mewah dan gemerlap, sehingga menjadikan negeri kita senantiasa defisit dalam neraca pembiayan dan perdagangan luar negerinya. Kita telah menjadi bangsa yang tekor lantaran pola hidup kita. Cobalah perhatikan barang-barang kebutuhan kita sehari-hari, mulai dari bahan pangan yang sangat sederhana seperti garam sampai dengan peralatan elektronik yang canggih, sebagian besar berasal dari impor. Demikian pula penguasaan sumber daya alam, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan emas, hutan dan kebun kelapa sawit bahkan air minum dalam kemasan, pabrik semen, rokok dan toko-toko kelontong dan bahan pokok, juga dikuasai oleh modal asing atau pengusaha besar yang bekerjasama dengan asing.
Sementara rakyat di sekitarnya tetap miskin dengan tingkat kesenjangan sosial ekonomi bahkan politik yang semakin melebar. (http://bwiwoho.blogspot.co.id/2015/09/revolusi-mental-demi-mencegah.html, bahan seminar “Revolusi Mental Mewujudkan Ekonomi Berdikari, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unversitas Gajah Mada, 4 September 2015).
Revolusi Peradaban Sebagai Keharusan
Tata nilai kehidupan yang dibentuk oleh Kapitalisme Global tersebut, apabila tidak segera dihentikan dan diantisipasi, sudah pasti akan segera menghancurkan diri kita sendiri, bahkan meluluhlantakkan Indonesia sebagai negara bangsa. Hal itu sangat dimungkinkan sejalan dengan kekuatiran Prof.Dr.M.Sahari Besari, yang menyatakan sistem nilai serta struktur sosial masyarakat Indonesia ternyata tidak terkonstruksi untuk mengakomodasi, apalagi melawan, gelombang dahsyat globalisasi yang datang tanpa henti. (Teknologi di Nusantara, 40 Abad Hambatan Inovasi, M.Sahari Besari, Penerbit Salemba Teknika 2008, halaman 1).
Perubahan total atas tata nilai hedonis dan lain-lainnya tadi, bukanlah sekedar merupakan Revolusi Mental melainkan Revolusi Budaya, Revolusi Peradaban, yang sudah merupakan keharusan yang mendesak. Karena tata nilai hedonis dan sekutunya tersebut, pada hakikatnya adalah krisis moral bahkan krisis peradaban yang akan membawa bangsa Indonesia masuk ke dalam pusaran krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks.
Karena kita tidak mungkin menghindar dari percaturan global, maka dengan memahami gempuran Perang Semesta dari Gelombang Globalisasi tadi, kita bisa menarik kesimpulan, gempuran perang asimetris dengan alunan musik jiwanya masih akan terus berlangsung; oleh karena itu kita harus bergerak cepat, tepat dan memadai. Jika tidak, maka eksistensi kita sebagai negara bangsa di kawasan negeri maritim Nusantara Raya ini, yang terdiri lebih dari 300 etnis dengan ragam adat budaya masing-masing, yang tersebar di lebih 17.500 pulau akan sangat terancam.
Itulah tantangan dan peperangan yang sedang dan masih akan dihadapi oleh kita bangsa Indonesia. Untuk itu kita membutuhkan Pemimpin yang bisa memimpin kita mengatasi tantangan dan memenangkan Perang Semesta Global. Pemimpin yang memahami persoalan bangsanya, yang bermoral dan bermental baja, yang mampu berpikir dan bertindak cepat, yang tidak takut dengan risiko atas diri pribadinya apalagi sekedar pencitraan, namun sangat peduli pada kehidupan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Semoga Gusti Allah Yang Maha Kuasa, menganugerahi kita pemimpin-pemimpin yang seperti itu. Aamiin Yaa Robbal Aalamiin. ■mtq