Tantangan Aktivis dan Fungsionaris Organisasi Buruh Indonesia Sekarang

Ayo Berbagi!

Oleh: Jacob Ereste (Pembina Utama Komunitas Buruh Indonesia & Atlantika Institut Nusantara)

SwaraSenayan.com. Tantangan bagi aktivis dan fungsionaris buruh di Indonesia sekarang semakin berat dan kompleks dibanding sebelum terjadi reformasi 1998 di Indonesia.

Pertama, kesadaran kaum buruh untuk berorganisasi pun justru semakin mendangkal. Setidaknya ada anggapan yang muncul bahwa kaum buruh itu tidak perlu berorganisasi atau berserikat untuk bisa memperjuangkan aspirasinya agar kualitas hidup dan berkehidupan agar dapat lebih baik dari kondisi dan situasi keadaan sebelumnya.

Anggapan pada umumnya bahwa perbaikan kualitas hidup dan kehidupan kaum buruh akan terus membaik dengan sendiri,  lebih dominan dipercaya oleh kaum buruh. Padahal, semua perubahan hingga perbaikan kualitas hidup dan berkehidupan itu –tidak hanya bagi kaum buruh– harus diperjuangkan secara bersama oleh kaum buruh bersama aktivis atau fungsionaris orgnisasi buruh. Tentu saja organisasi buruh yang dimaksud adalah organisasi dapat dipercaya dan mau serta bersedia bekerja secara suka rela dan mengemban amanah sebagai pejuang sejati untuk rakyat.

Itulah sebabnya aktivis dan fungsionaris organisasi buruh harus ugahari, rendah hati dan sabar tanpa mengurangi semangat serta etos kerja pengabdiannya untuk dan demi orang banyak.

Pada akhirnya, pekerjaan bagi seorang aktivis dan fungsionaris organisasi buruh harus disadari sekaligus juga dipahami sebagai bagian dari ibadhah, semata-mata untuk kebaikan bagi orang banyak. Kesadaran serupa ini pada saatnya kelak pun harus mampu dan bisa diestafetkan kepada kader penerus bagi mereka yang mau mengabdikan diri juga sebagai pejuang untuk kaum buruh.

Begitulah pilihan berat bagi aktivis dan fungsionaris organisasi buruh. Jika tidak punya sikap dan mental yang ugahari, maka segenap aktivitasnya di lingkungan hidup dan kehidupan kaum buruh hanya akan menjadi pekerjaan yang sia-sia, tidak akan pernah menghasilkan apa-apa, kecuali sekedar gagah-gagahan belaka.

Indikatornya dari ketangguhan seorang aktivis dan fungsionaris yang handal itu bisa ditandai oleh luas dan banyaknya relasi serta jumlah jaringan yang mampu dibangun secara terus menerus dengan pembinaan –dipeliharaan– sebagaimana menjalin hubungan dengan sebanyak mungkin kaum buruh dari berbagai sektor atau bidang serta ragam jenis pekerjaan yang mereka geluti.

Sebab hanya dengan begitu sikap dan sifat dari kesadaran perting dari kebersamaan, solidaritas serta rasa kepedulian sosial yang tinggi itu dapat dijaga dipelihara untuk kemudian terus ditingkatkan kualitas maupun kapasitasnya.

Jadi sungguh naib bila ada aktivis dan fungsionaris organisasi buruh harus merasa kesepian ditengah ramainya pergolakan yang tidak akan usai. Sebab masalah buruh dan perburuhan akan terus muncul selama hubungan kerja antara kaum buruh dengan pihak majikan masih berlabgsung.

Buruh hampir ada di semua tempat, sepanjang di tempat itu masih ada pekerjaan. Laku masalah yang muncul bisa sangat beragam, sesuai dengan bidang dan lokasi tempatnya bekerja.

Buruh yang bekerja di puncak gunung, pasti berbeda masalah yang dihadapinya bila disandingkan dengan mereka yang bekerja di bawah laut atau di terowongan di bawah tanah.

Demikian pula pekerja jurnalis yang beragam bidang pekerjaan dan jenisnya. Wartawan radio saja sudah sangat berbeda cara kerjanya dengan wartawan televisi, apalagi dengan media cetak serta media online.

Inilah bagian dari tantangan aktivis dan fungsionaris organisasi buruh, sangat berbeda dengan organisasi yang berdasarkan ikatan profesi.

Seorang dokter di sebuah rumah sakit besar dan cukup bergengsi bahkan sangat terkenal masih saja bersikap culas mem-PHK seorang dokter. Yang bersangkutan pun  jadi keblinger hanya karena tidak harus berbuat apa dengan perlakuan PHK yang semena-mena itu.

Pengalaman nyata pernah dialami aktivis kondang semasa Orde Baru berkuasa dshulu. PHK terhadap dosen senior oleh pihak universitas pernah dialami Dr. Sri Bintang Pamungkas (UI), Dr. Arief Budiman (Universitas Satyawacana, Salatiga) dan Ariel Hariyanto yang dengan pilihan sendiri memilih pindah jadi pengajar di Singapura.

Akibatnya bagi Mas Sri Bintang, gelar profesornya tak kunjung diperoleh. Agak berbeda dengan Dr. Muchtar Pakpahan yang juga sempat mengalami hambatan meraih gelar guru besar dari UKI, beliau langsung bereaksi keras ke Kemendibdud RI, sehingga proses dari gelar guru besarnya dalam ilmu tata negara mau diberi jalan yang mulus. Sebab bila tidak, Dr. Muchtar Pakpahan akan mengerahkan Serikat Buruh Sehahtera Indonesia (SBSI) yang dia pimpin untuk melakukan penggerudukan ke Kemendikbut, manakala rezim pemerintah yang tengah berkuasa masih bersikap mau sekehendak hatinya sendiri itu.

Begitulah lebih dan kurangnya menjadi aktivis atau fungsionaris organisasi buruh. Tantangannya sekarang ini semakin banyak. Kecuali jumlah organisasi buruh di Indonesia sendiri terlanjur menjamur, juga kualitasnya seperti berjalan mundur. Sementara kaum buruh sendiri terkesan senakin ogah berserikat. *SS

Ayo Berbagi!