Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy (Guru Politik Universitas Muhammdiyah Jakarta)
SwaraSenayan.com. Entah sudah berapa puluh kali saya membaca status atau komentar di media sosial yang cenderung merendahkan untuk tidak mengatakan melecehkan perspektif keilmuan atau pandangan keagamaan yang berbeda dengan perspektif kelompoknya dengan menggugat sanad keilmuannya. Menyebut orang atau kelompok yang berbeda perspektif sebagai sanadnya tidak jelas, yang tidak bersambung sampai ke Rasulullah Muhammad.
Bukan hanya olok-olok soal sanad keilmuannya, tapi juga olok-olok kalau tidak bisa baca kitab kuning versi pesantren (kitab khas pesantren, yang biasanya kertasnya berwarna kuning, biasanya isinya terdiri dari dua, yaitu ada matan dan syarah). Diolok-olok juga kalau belajarnya dari “mbah google“, dari Al-Quran tarjamah, dan bentuk olokan lainnya yang menggambarkan kalau yang mempunyai perspektif lain itu tak paham agama (ulumuddin), meski yang diolok-olok itu sudah bergelar Lc, MA, dan bahkan Doktor, hanya karena tidak berasal dari kelompoknya. Seakan-akan di kelompok lain tak ada yang benar dan tak ada yang pintar. Sikap seperti ini menurut saya jauh dari arif. Ada kesan arogan.
Baru saja mantan rocker Hari Moekti meninggal. Selepas “taubat” sebagai musisi, Moekti total belajar dan mendakwahkan Islam. Semua anaknya hafal Qur’an. Seringkali orang seperti Moekti, hanya karena tidak pernah belajar di pesantren dituduh sanad keilmuannya tidak jelas. Apalagi yang bersangkutan bekas rocker. Namun, pastinya dengan keterbatasan ilmu yang dimilikinya dan yang tidak bersanad itu, dia telah mendakwahkan Islam dengan semangat tinggi. Bisa jadi terkadang saya yang mungkin belajar Islam sejak kecil merasa malu dengan ghirah dakwah Islam yang dilakukan oleh orang-orang seperti Moekti, yang jumlahnya cukup banyak.
Kasus Mamah Dede, hanya karena mengkritisi Islam Nusantara, langsung dibully habis di media sosial. Yang membully bukan hanya “orang awam”, tapi juga yang masuk kategori “berpendidikan”. Dan salah satu bullyannya menyoal sanad keilmuan Mamah Dede. Setahu saya Mamah Dede pernah kuliah di IAIN (UIN) Jakarta. Masa iya kuliah di UIN dituduh sanadnya tidak jelas? Kalau sanadnya tidak jelas berarti dosen-dosen Mamah Dede pun sanadnya tidak jelas. Mamah Dede juga dibully belajar Al-Quran lewat tarjamah, dan tidak cukup mumpuni keilmuan agamanya.
AA Gym diawal kemunculannya sempat pula dibully habis. Bahkan tidak sedikit yang sinis hanya karena AA Gym dinilai tidak cukup fasih melafadzkan ayat-ayat atau hadist-hadist. Tapi saya yaqin kehadiran AA Gym yang bisa jadi dituduh sanad keilmuannya juga tidak jelas telah membawa banyak maslahat bagi umat dan masyarakat umum.
Ustadz Abdul Somad yang notabene sangat jelas sanad keilmuannya juga sempat mendapat bullyan begitu rupa hanya karena ceramah-ceramahnya dinilai keras, tidak senafas dengan keinginan penguasa dan kelompok tertentu.
Kalau soal ceramahnya yang keras, coba buka kembali file-file ceramah kiai-kiai “dulu” seperti KH. Syukron Makmun, KH. Zainuddin MZ., KH. Noer Muhammad Iskandar (yang sejak Reformasi mulai melunak dan bahkan mendukung Ahok), KH. Manarul Hidayat, dan banyak lagi, lebih keras mana dengan ceramah-ceramah Ustadz Abdul Somad (UAS)?
Hanya karena umat yang terbelah karena kasus Ahok, ceramah seorang bernama UAS yang sanad keilmuannya jelas pun tak lepas dari bullyan. Bullyan seperti ini yang hanya karena mengkritik atau berbeda pandangan saya kira kurang arif.
Bagi saya, kealiman seseorang dalam hal ilmu agama bukan hanya diukur dari kemahiran penguasaan membaca kitab-kitab klasik, penguasaan atas ilmu-ilmu alat, kemahiran membaca ayat-ayat Al-quran, dan apalagi diukur dari kedekatannya dengan penguasa, tapi lebih penting dari itu semua adalah soal istiqamah, integritas atau satunya kata dengan perbuatan. antara cakap dan lakunya sama. inilah bentuk alim yang sesungguhnya.
Kalau kita bijak, utamanya ketika bicara soal sanad keilmuan agama di Indonesia, maka jauh sebelum umat Islam terkotak-kotak dalam beragam organisasi keagamaan seperti PSII, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama, Perti, Al-Washliyyah, Mathlaul Anwar, Nahdlatul Wathan, Wahdah Islamiyah, Kelompok Tarbiyah, Salafi, Jamaah Tabligh, dan sebagainya, sanad keilmuannya itu jelas, sampai pada Rasulullah Muhammad.
Ahmad Dahlan yang pada mula mendirikan Muhammadiyah terlalu sering dituduh sesat dan bahkan dikafir-kafirkan itu sanad keilmuannya sangat jelas, termasuk sanad ilmu falaqnya. KH. A. Hasan pendiri Persis pasti sanad keilmuannya juga sangat jelas, Hadratussyaih KH. Hasyim Asyari juga pasti sangat jelas, dan para pendiri ormas Islam yang lainnya juga jelas sanad keilmuannya. Kita yang hidup saat ini hanyalah pelanjut dari sanad-nasad keilmuan itu.
Jadi jangan gampang dan latah menuduh kelompok atau orang lain dengan menyebut sanad keilmuannya tak jelas hanya karena tak sejalan dengan kelompoknya. Sekian (Tol Jakarta – Cikampek, 30/6/2018). *SS