Oleh : Rusdianto Samawa, Direktur Eksekutif Global Base Review (GBR)
(Serial Kajian Ilmiah VI)
SwaraSenayan.com – Terdapat sejumlah persoalan yang perlu dijernihkan ketika kita mencoba mengkaji berbagai gagasan dan harapan besar masyarakat Indonesia. Tuan Guru Bajang memiliki gagasan dasar yang meletakkan citra dan model leadership atas dominasi negara melalui pengembangan kehidupan sosial secara bottom-up, mandiri, swadaya dan swasembada.
Studi tentang Tuan Guru Bajang dalam berbagai gagasan yang berhubungan langsung dengan masyarakat sipil perlu diletakkan dalam kontek reposisi tujuan dalam kerangka politik kebangsaan yang lebih berkeadaban. Dari berbagai landasan pacu ekspektasi politik Bajang membagi wilayah perjuangannya ke dalam dua bidang, yaitu: sosial kemasyarakatan dan politik kekuasaan (baca; negara).
Secara sadar Bajang memilih bidang sosial kemasyarakatan melalui swadaya keummatan, sementara bidang politik kekuasaan merupakan pimpinan partai politik yang sekali waktu terlibat secara langsung dalam momen pemilu kepala daerah maupun pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/tuan-guru-bajang-dan-proses-divestasi/
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/apakah-pt-dmb-mengalami-kerugian/
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/tgb-makrifat-yang-futuristik/
Baca juga: https://www.swarasenayan.com/tgb-retrospeksi-dan-revolusi-pancor-untuk-indonesia/
Keadaban masyarakat yang dicita-citakan Tuan Guru Bajang memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan dan dijiwai nilai-nilai ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak mulia (al-akhlaq al-karimah). Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia.
Karena itu, masyarakat yang sebenar-benarnya yang bercorak “madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Masyarakat sipil mempunyai banyak makna berkait dengan “tidak diperlukannya” peran negara konvensional.
Ernest Gellner menyebut masyarakat sipil “masyarakat yang terdiri dari atas berbagai institusi non-pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara. Meskipun tidak menghalangi negara dari memenuhi peranannya sebagai penjaga perdamaian dan sebagai wasit di antara berbagai kepentingan besar, tetap dapat menghalangi negara dari mendominasi dan mengatomisasi masyarakat.” (Membangun Masyarakat Sipil; Prasyarat Menuju Kebebasan, Mizan, 1995, hlm 6).
Untuk memenuhi hasrat perbaiki masyarakat Indonesia, maka penting bagi Tuan Guru Bajang untuk melalukan strategi “Selebritisasi Citra” sehingga dapat dikenal lebih luas lagi oleh masyarakat Indonesia. Problem terbesar sekarang, sebagai tantangan dalam pertarungan politik yakni mengembalikan kepercayaan publik seutuhnya. Karena masyarakat sudah sangat kritis terhadap janji-janji para politisi yang dilembagakan menjadi kontrak politik agar tampilan itu tidak sekadar menjadi topeng dari kepalsuan kontrak politik.
Sudah tentu, selebritisasi citra sebagai strategi yang paling mutakhir dalam pemilu untuk meraup opini dan suara publik. Menariknya, Tuan Guru Bajang bukanlah artis yang selama ini menjadi perdebatan secara teoritik. Pada setiap pemilu, politisi selebritis lebih mudah mendulang suara, dibandingkan politisi nonselebritis sekalipun ia elite partai politik atau Tuan Guru sekalipun?.
Maka, Tuan Guru Bajang seorang nonselebrities, tentu akan sangat sulit memaknai media – media mainstream untuk menjadikannya ikon pendidikan politik sebagai pilihan sebuah berita. Berbeda dengan selebrities yang setiap hari dikejar media dan mutualisme simbiosis, karena pemuatan berita artis sejalan rating media yang ingin di dapatkan.
Menurut Asmadji As Muchtar, “Selebritisasi Politik” telah dimuat oleh Republika 25 April 2013, bahwa makin banyaknya selebritisasi kiprah dipanggung politik membuktikan bahwa entertainment memberi kontribusi besar bagi dunia politik. Hal ini terjadi karena kontestasi politik membutuhkan modal popularitas, sedangkan artis adalah pemilik popularitas tertinggi dibanding pihak lain.
Nah, fenomena kehadiran Tuan Guru Bajang sebagai pilihan masyarakat. Maka, seharusnya selebritisasi itu dilakukan setepat mungkin sebagai sikap dan tindakan politik untuk memperbaiki citra. Tuan Guru Bajang memiliki segudang kelebihan yang bisa diakses oleh media dan personalitas masyarakat. Namun, media sebagai korporasi memiliki dampak pembiayaan finansial yang lumayan besar. Berbeda dengan artis, justru media yang membutuhkannya.
Dalam buku berjudul “Muhammadiyah Ahmad Dahlan, mengembalikan Otentisitas Muhammadiyah” terbitan Global Base Review (GBR) tahun 2015, saya sebagai editor utama, sekaligus kontributor tulisan berjudul “Keadaban Komunikasi Politik Muhammadiyah: Selebritisasi Citra Elit Politik dan Jalan Keluar Dari Latahisme,” bahwa sesungguhnya implikasi dari sistem politik yang demokratis harus berkorban untuk sebuah agenda selebritisasi citra karena hadapi model sistem proporsional terbuka membutuhkan pembiayaan yang sangat besar dalam meraih dukungan masyarakat. Pada sistem ini siapa yang populer dan memiliki citra baik, akan dengan mudah dipilih oleh rakyat. (Rusdianto Samawa, 2015: 301 – 306).
Ruang kompetisi yang terbuka di antara kontestan aktor pemilu dalam sistem politik, memiliki medan perebutan kuasa yang dominan keras. Tentu selebritisasi citra sebuah alat untuk menguasai wilayah kompetisi kekuasaan sehingga semakin mudah dan murah untuk mewujudkannya.
Karena itu, Tuan Guru Bajang harus menunjukkan popularitas dirinya dan dipastikan terpublikasi diberbagai media, yang memungkinkan masyarakat mengingatnya setiap saat dan bahkan memilihnya. Sebaliknya, menjadi sulit dan mahal bagi kontestan yang tidak melakukan tindakan selebritisasi citranya sebagai pemimpin.
Lebih jauh, Dr. Sufyanto (2015) penulis buku “Selebritisasi Politik: Kajian Dramaturgi, Habitus, dan Tindakan Komunikatif Aktor Pemilu,” bahwa jika ingin terpilih, harus mengejar ketertinggalan popularitasnya dengan melakukan proses selebritisasi politik (politic celebration) lewat media secara masif. Proses selebritisasi politik itu bisa dengan pola marketing politik (political marketing), promosi politik (political promotion) dan iklan politik (political advertishing). Pola dalam melakukan proses selebritisasi politik ini, jelas sekali menempatkan media sangatlah utama, apakah media itu berbentuk cetak, elektronik, atau dengan media iklan politik yang lain, semisal baliho, banner, stiker dan lainnya. Ya, media merupakan ranah kekuasaan. (Sufyanto, 2015: 201-202)
Pierre Bourdieu dalam karyanya Outline of a Theory of Practice (1977) dan Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984) mengatakan, ranah (field) merupakan jaringan hubungan antar posisi objektif di dalamnya. Media sebagai ranah kekuasaan merupakan arena pertarungan dan perjuangan. Struktur ranah medialah yang mempersiapkan dan membimbing strategi yang digunakan pengisi posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi untuk memaksakan penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk sendiri.
Sebetulnya, investasi dan modal citra Tuan Guru Bajang berimbas pada sel-sel jaringan civil sosial seperti Muhammadiyah, Nahdatul Wathan, Nahdatul Ulama, Persis, Alwasliyah, Tarekat dan pondok pesantren maupun jaringan ulama Aksi Bela Islam 212. Apalagi, sudah diperkuat oleh jaringan-jaringan relawan yang memiliki tekad kuat mengawal laju citra Tuan Guru Bajang untuk diusung menjadi capres atau wapres. Dukungan pun sudah kelihatan sekali, diberikan rekomendasi tanpa mahar oleh kelompok gerakan 212 yang membawahi seluruh eksponen organisasi Islam dan jaringan pondok pesantren. Ini modal utama, sprint selebritisasi untuk memperkuat modal sudah ada sangat penting sekali.
Semenjak demokrasi terpimpin, sebagian tokoh Islam berbasis santri, demi untuk survival, telah sedikit atau banyak terjebak pada perilaku yang kita soroti ini, yakni watak latahisme sedang dibudidaya dan dijamurkan dalam berbagai lingkungan sektor bidang sehingga tak mampu mengangkat citra dirinya sendiri. (Rusdianto Samawa, 2015: 306)
Mayoritas kelompok yang mendorong Tuan Guru Bajang kearah politik sungguh banyak dan tidak sedikit pula menginginkannya tetap berada pada rel sejarahnya sebagai gerakan dakwah. Tetapi kedua hal ini perlu dipertimbangkan, karena tarikan politik mainstream sedang menguat dalam godaan. Apalagi era media digital yang sangat ampuh mengunakan spiral untuk memecah belah konsentrasi.
Tentu keampuhan media sebagai pasar kompetisi, yang mempertaruhkan berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, dan simbolik) digunakan dan disebarkan. Ranah media merupakan wilayah politik (kekuasaan) yang memiliki hirarki hubungan kekuasaan dan dapat membantu menata ranah yang lain.
Bourdieu menentukan tiga tahap proses menganalisis ranah. Pertama, menggambarkan keutamaan ranah kekuasaan (politik), untuk menemukan hubungan setiap ranah khusus dan ranah politik. Kedua, menggambarkan struktur objektif hubungan antarberbagai posisi di dalam ranah tertentu. Ketiga, penganalisis harus mencoba menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam ranah. (Sufyanto, 2015:104)
Ranahnya ialah media, yang menjadi medan perebutan untuk marketing politik, komunikasi politik dalam bingkai mengenalkan program maupun politikus itu sendiri. Maka media dalam perspektif ini, benar-benar menjadi arena kekuasaan untuk mendapatkan citranisasi yang bagus.
Selain itu, kesan siapa saja yang punya popularitas bisa serta-merta menjadi pemimpin. Munculnya kesadaran bersama itu menyelamatkan dunia politik dari dekadensi moral dan kemerosotan kualitas kepemimpinan. Karena itu, langkah kedaban perlu dilakukan melalui pendidikan politik yang layak menjadi keharusan.
Sekarang ini, layak diwaspadai munculnya popularitas karbitan yang bakal ramai-ramai terjun ke dunia politik tanpa bekal pengetahuan tentang kepemimpinan. Tentu sudah berbeda dengan leadership Tuan Guru Bajang yang akan menjamin berjalannya keadaban politk masyarakat Indonesia.
Selebritisasi politik Tuan Guru Bajang sebagai kelayakan untuk perkenalkan visi misi jika memimpin negara dan bangsa. Bajang berpotensi menjadi lokomotif penjaga keadaban – moral masyarakat Indonesia yang mendorong adanya transformasi kepemimpinan kearah lebih baik.
Masyarakat perlu dibimbing dan mewaspadai implikasi dari proses selebritisasi citra politik itu. Mengingat apapun pencitraan sebuah produk yang ditayangkan oleh media tidaklah selalu ideal dari yang dipromosikan itu. Peristiwa citranisasi berlebihan itu sekarang dialami oleh Presiden Joko Widodo yang menyebabkan kurang mendaoat perhatian dari rakyat dan bahkan dikenal suka berbohong. Ini sebab akibat selebritisasi citra.
Tentu saran paling baik bagi Bajang adalah menjaga konsistensi dan produk politik, hingga penampilan serta janji-janji politik yang disajikan. Karena itu, proses selebritisasi politik itu berimplikasi pada sejauh mana menjaga konsistensi dan menyesuaikan dengan realitas politik.
Erving Goffman (1974, 1959) dalam karyanya Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience, dan The Presentation of Self in Everyday Life, menjelaskan bahwa kehidupan manusia terdiri dari panggung depan (front region) dan panggung belakang (back stage). Dalam teori dramaturgi Bourdieu, ada dua pertanyaan pokok : mengapa pada panggung depan individu bertindak seperti sosok ideal?. Sosok ideal yang dikemas dalam kehidupan akan menjaga ‘kesatuan bertindak’, dalam situasi rutin anggota tim harus dapat dipercaya sehingga harus dipilih hati-hati.
Apa tujuan tindakan?. Tujuannya secara rasional adalah untuk menjaga “kesatuan bertindak” antara kondisi ideal dan real atau tetapnya integrasi suatu integrasi sosial. Sedang secara tidak rasional tujuan tindakan itu memang sudah dipastikan pada kehidupan yang fatalis. Dengan analisis Bourdieu di atas, jelas sekali tergambar tampilan politisi dipanggung depan dalam proses selebritisasi politik tentu tampilan performa yang ideal, yang tentu berbeda dengan performa di panggung belakang. Masyarakat dituntut kritis terhadap janji-janji politisi yang dilembagakan menjadi kontrak politik agar tampilan itu tidak sekadar menjadi topeng dari kepalsuan kontrak politik. (Asmadji As Muchtar, “Selebritisasi Politik” telah dimuat oleh Republika 25 April 2013).
Sementara ada problem klasik tentang orientasi selebritisasi citra yang disebut Gellner sebagai penjaga moral masyarakat yang memerlukan dominasi negara (Gellner, 1928: 28-33). Maka, Tuan Guru Bajang Muhammad Zaenul Majdi yang penuh kelembutan dalam berucap sudah pasti akan bisa menjaga keadaban masyarakat Islam.
Bagi Tuan Guru Bajang konsep ideal masyarakat Indonesia tersebut termasuk negara dan politik secara detail sebagai panduan prinsip normatif yang harus berorientasi pada prasyarat menumbuh kembangkan gagasan masyarakat sipil Indonesia yang berkeadaban dengan sifat terbuka, egaliter terbatas, terorganisasi, relatif bebas atas negara, dan rasional. *SS
