Oleh: Ferdinand Hutahaean (RUMAH AMANAH RAKYAT)
SwaraSenayan.com. Secara pribadi saya cukup kaget dan bahkan bertanya-tanya atas rencana pertemuan Antasari Ashar yang dipidana Lembaga Pengadilan dengan vonis bersalah secara syah dan meyakinkan atas keterlibatannya dalam pembunuhan Nasaruddin bahkan bukan sekedar terlibat, namun dituduh sebagai otak dari pembunuhan tersebut, dan kini Antasari Ashar mendapat Grasi dari Presiden Jokowi. Kamis (26/1/2017) kemarin Presiden menerima Antasari di Istana, entah untuk apa dan entah apa manfaatnya.
Grasi adalah salah satu dari lima hak yang dimiliki kepala negara di bidang yudikatif, selain Amnesti, Abolisi, Remisi dan Rehabilitasi. Grasi adalah Hak Presiden untuk memberikan pengurangan hukuman. Artinya Grasi bukanlah menghilangkan status terpidana atau sesuatu yang menyatakan bahwa terpidana tidak bersalah dan harus dipulihkan hak-haknya. Grasi hanya sebatas pengurangan pidana.
Ada yang janggal dan tidak patut dari perilaku Presiden. Istana seharusnya bersih dari perilaku janggal dan aneh terlebih menyangkut orang-orang yang bermasalah secara hukum maupun kriminalitas. Sejak berkuasa dan dalam waktu yang tidak terlalu lama jaraknya, telah 2 kali melakukan hal yang tidak patut. Presiden pada tahun lalu menerima “A” yang sedang berstatus cekal di KPK atas dugaan keterlibatan dalam suap reklamasi pantai utara Jakarta, dan kemarin Presiden juga menerima AA terpidana kasus pembunuhan Nasarudin.
Presiden secara sadar atau tidak sadar telah meruntuhkan moral dan kehormatan Istana dengan menerima orang-orang yang bermasalah secara hukum. Presiden mestinya sebagai kepala negara harus lebih mampu menjaga kehormatan Istana karena kehormatan Istana identik dengan kehormatan bangsa.
Ada yang janggal dan aneh dari perilaku tersebut. Pertama bahwa Presiden seolah terlibat langsung mengintervensi penegakan hukum dan kedua, Presiden patut diduga memperalat orang-orang bermasalah secara hukum demi sebuah kepentingan. Coba kita lihat status “A” yang dulu dicekal KPK atas suap reklamasi, sekarang status itu bagai embun pagi yang kemudian sirna terkena matahari. Sepertinya Patrialis Akbar perlu berkunjung ke Istana supaya status tersangkanya juga siapa tau bisa hilang. Kemanakah kira-kira tercekal “A” diperalat presiden? Ada banyak dugaan, tapi kali ini kita mau fokus bahas kunjungan Antasari ke Istana.
Kasus Antasari Ashar sudah terang benderang. Penyidik kepolisian, penutut umum dari Kejaksaan Agung telah membuktikan dengan bukti-bukti akurat dan keterangan para saksi yang menyimpulkan bahwa AA terlibat dan sebagai otak pembunuhan Nasarudin. Dan Hakim pengadilan hingga tingkat Mahkamah Agung semua memvonis bersalah AA dan mehukumnya dengan hukuman penjara. Lantas, mengapa masih ada opini yang berupaya dibangun bahwa kasus AA adalah rekayasa? Sudah lupakah publik ketika dulu pengadilan memutar suara rekaman suara AA dengan gadis Caddy Golf yang masuk kategori perbuatan tidak bermoral tersebut?
AA saat ini terus mencoba memupuk dan membangun opini bahwa dia tidak bersalah. Uniknya, Presiden Jokowi sepertinya lebih memilih percaya opini seorang terpidana, dan Jokowi lupa rekaman suara AA dengan Caddy Golf itu. Presiden Jokowi akankan lebih percaya kepada terpidana daripada percaya kepada POLRI yang menjadi penyidik? Akankah Presiden tidak percaya pada Kejaksaan Agung sebagai Penuntut Umum dan tidak percaya kepada Hakim Pengadilan yang memvonis AA? Inilah yang saya sebut, patut diduga Istana memperalat orang-orang yang bermasalah secara moral dan hukum untuk sebuah kepentingan.
Publik tentu mengetahui bahwa perkara kasus pembunuhan Nasarudin tersebut terjadi di era Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono. Dan atas dasar itulah opini kemudian dibangun secara deras bahwa kasus ini adalah rekayasa penguasa saat itu. Logika pendek saya kemudian berfikir, andai Penguasa saat itu SBY mau merekayasa hukum, mungkinkah Aulia Pohan yang adalah besan SBY menjadi tersangka? Atas dasar kepentingan apa, SBY harus merekayasa kasus serumit itu? Logika waras saya tidak bisa menemukan jawabannya meski ada yang coba-coba bangun opini bahwa SBY sedang melindungi Ibas. Bukankah kalau hanya sekedar ingin melindungi Ibas tidak perlu merekayasa pembunuhan AA?
Nampaknya satu-satunya jawaban yang masuk akal bagi saya adalah, kontestasi politik saat ini yang memang membuat jarak antara Jokowi dengan SBY semakin lebar. Dan kepentingan itulah kemudian yang membuat AA dapat panggung seolah orang teraniaya kemudian diperalat menyerang SBY yang mana putranya ikut serta dalam pilkada DKI.
Kondisi itulah yang tidak dapat dipungkiri bahwa Presiden secara sadar atau tidak sadar telah meruntuhkan moral Istana dan meruntuhkan kehormatan Istana dengan menjadikan Istana sebagai panggung bagi para orang-orang yang bermasalah secara moral dan hukum. Menurut hemat saya, DPR harus bersidang meminta pertanggung jawaban Presiden dalam konteks ini. Istana simbol kehormatan bangsa bukan panggung bagi para pelaku kejahatan dan kriminalitas. *SS