Oleh: Saurip Kadi (Mantan Aster Kasad)
SwaraSenayan.com. Kini DPR sedang menggodok UU Penyelenggaraan Pemilu. Dari gelagatnya, ketentuan “Presidensial Threshold” akan dipaksakan dalam UU tersebut. Memang aneh dan lucu, bila hasil Pemilu periode 5 tahun sebelumnya, dijadikan dasar untuk menghitung ambang batas sebuah Partai atau gabungan Partai dalam mencalonkan Pasangan Capres/Wapres. Pasalnya, bukan hanya karena masa bhakti keanggotan mereka di DPR telah selesai, tapi jangan-jangan para pembentuk UU itu sendiri tidak memahami apa itu “Threshold” dalam Pemilu ?
Dan, bila tujuan menerapkan “Threshold” untuk memfilter agar Calon Pasangan Capres/Wapres yang ikut Pemilu bisa dibatasi jumlahnya, maka cara yang digunakan tidak boleh keluar dari logika politik dan aliran hukum yang sudah diamanatkan dalam Pasal-Pasal UUD. Karena, prinsip dasar dalam demokrasi hak primer warga negara yaitu hak yang langsung diatur dalam konstitusi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) Tentang Kedaulatan Ditangan Rakyat, Pasal 6. A. Ayat (1). Tentang Pemilihan Presiden Secara Langsung Oleh Rakyat, Pasal 27. Ayat (1) Tentang Kesamaan Hak didepan Hukum dan Pemerintahan, dan Pasal 28. C. Ayat (2) Tentang Hak Azasi untuk memajukan dirinya dalam meperjuangkan hak nya secara kolektif, mutlak tidak boleh direduksi, dijegal, diganjal, dan apalagi dinihilkan atau dianulir oleh UU pelaksananya.
Ambang Batas (Threshold) Dalam Pemilu
Dari sejarahnya, ambang batas atau “threshold” awalnya hanya dikenal pada sistem Parlementer, yaitu syarat minimal jumlah perolehan kursi bagi sebuah Partai untuk bisa duduk di DPR.
Dalam Pemilu pada sistem parlementer, rakyat mencoblos tanda gambar Partai. Artinya yang dipercaya rakyat adalah Partai. Sehingga anggota DPR adalah wakil Partai. Dan karena kepentingan politik Partai disalurkan melalui alat kelengkapan DPR seperti Komisi, Fraksi, Anggaran, dan lain-lainnya, maka Partai harus mempunyai wakil tetap pada setiap badan alat kelengkapan DPR yang dimaksud. Dengan menghitung berapa jumlah minimal Anggota DPR yang harus duduk mewakili partai pada semua alat kelengkapan DPR, akan ketemu norma ambang batas bagi sebuah partai untuk bisa duduk di DPR (“Parlementary Threshold”).
Dalam sistem parlementer, kabinet dibentuk oleh partai pemenang terbesar dalam Pemilu. Bila jumlah perolehan kursi di DPR tidak mayoritas tunggal (50%+1), maka dalam membentuk kabinet, partai pemenang terbesar dalam Pemilu berkoalisi dengan partai lain yang mempunyai kesamaan ideologi. Karena legitimasi pemerintahan datangnya dari DPR, maka setiap saat Kabinet bisa jatuh yaitu ketika dukungan suara di DPR kurang dari 50%. Disisi lain, karena anggota DPR adalah Wakil Partai, maka setiap saat pula Anggota DPR bisa dicopot oleh Partai.
Sebaliknya dalam sistem presidensial, dalam Pemilu rakyat mencoblos tanda gambar orang (Pasangan Capres / Caleg). Artinya, sumber legitimasi Presiden dan Anggota DPR datangnya sama-sama langsung dari rakyat. Oleh karenanya Presiden dan juga Anggota DPR sama-sama tidak bisa dijatuhkan / dicopot ditengah jalan, kecuali karena alasan Pidana. Dengan logika politik yang demikian itu, maka baik dalam sistem parlementer maupun presidensial otomatis terbentuk kondisi “CHEK and BALANCE” dalam arti yang sesungguhnya.
Di beberapa negara seperti Peracis dan Timur Letse umpamanya, memang dikenal kedua norma Threshold, baik “Parlementary Threshold” maupun “Presidensial Threshold”. Hal ini terkait dengan pemisahan kedudukan Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, dimana Kepala Pemerintahan dipilih melalui Pemilu model Parlementer (Rakyat Coblos Gambar Partai), dan Presiden dipilih melalui Pemilu dengan model Presidensial (Rakyat Coblos Gambar Capres).
Karena setiap saat Kabinet bisa jatuh, maka kedudukan Presiden perlu didukung oleh kekuatan Partai Politik, sehingga saat terjadi krisis pemerintahan, Presiden mempunyai legitimasi yang cukup kuat di DPR. Disanalah maka muncul konsep “Presidensial Threshold”.
Rakyat Tidak Boleh Dijadikan Kelinci Percobaan
Kebiasaan buruk elit bangsa ini, ketika mencontek hanya sebagian, tanpa memahami filsafat dan kerangka kesisteman secara utuh, kemudian diberi cap ala Indonesia dan ketika gagal yang disalahkan referensinya, haruslah segera disudahi. Karena resiko kegagalan sebuah konsep dalam tata kelola negara, berupa biaya politik yang terkadang disertai dengan jatuhnya korban, rakyat pula yang menanggungnya.
Untuk itu, dalam membahas perundang-undangan, semestinya logika politik, kaidah, dan norma yang sudah berlaku secara universal tidak boleh dicampakan begitu saja. Dan hasil akhir pembahasan RUU tersebut haruslah bisa diuji secara keilmuan yang kebenarannya telah terbukti dalam praktek di banyak negara. Begitu pula dari aliran hukum mendasarinya, mutlak tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan dengan amanat konstitusi.
Dengan demikian perundang-undangan yang dibuat tidak melahirkan kekacauan “rule of the Law” dan juga “rule of engagement” seperti yang banyak terjadi dalam UU Kepartaian, Pemilu dan MD-3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) yang ada saat ini, sehingga timbul potensi saling menjegal, mengganjal, mengeliminasi dan bahkan peran antar lembaga saling bertabrakan satu dengan lainnya, sebagaimana terjadi dalam beberapa contoh dibawah ini:
Satu, bagaimana mungkin akan terwujud “Chek and Balance”, kalau dalam Pemilu langsung tapi Anggota DPR bisa dicopot oleh Partai Politik.
Dua, bagaimana mungkin ada kebohongan publik tapi sah karena UU seperti yang terjadi dalam 3 kali Pilleg yang lalu, dimana Partai Politik dalam kampanye Pemilu menjanjikan program, padahal program yang akan dilaksanakan oleh Pemerintahan adalah Program Capres terpilih, sama sekali bukan program Partai.
Tiga, rumus darimana di negeri ini akan bisa tewujud stabilitas politik, kalau dalam Pilpres langsung, di DPR ada Partai Oposisi layaknya model perwakilan dalam sistem parlementer.
Dan masih banyak lagi aturan main yang perlu disinkronisasikan antara UU yang satu dengan lainnya.
Filter Jumlah Kontestan Dalam Pilpres
Kewajiban bagi kita semua selaku “Stake Holder” atas republik ini, untuk mengingatkan semua pihak yang terlibat dalam pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu, agar mengedepankan akal sehat dan hati nurani sebagai inti dasar ajaran pendiri republik ini, sebagaimana yang tercantum dalam sila keempat Pancasila yang lengkapnya berbunyi, “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikah Kebijaksanaan Dalam Pemusyawaratan / Perwakilan”.
Sepanjang para pembentuk UU mengedepankan akal sehat dan menempatkan kepentingan nasional diatas kepentingan partai dan golongan, niscaya tidak sulit untuk memahami bahwa norma “Presidensial Threshold” tidak patut untuk diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu serentak.
Sedang upaya untuk memfilter agar Pasangan Capres/Wapres yang ikut Pemilu tidak terlalu banyak, bisa ditempuh dengan cara memperketat persyaratan bagi Partai Politik untuk bisa mengikuti Pemilu. Sedemikian rupa agar jumlah kontestan Pilpres 2 atau maksimal 3 pasang Capres/Wapres saja. Pengetatan persyaratan yang dimaksud sama sekali tidak bertentangan dengan amanat yang tertuang dalam Pasal-Pasal UUD 1945 yang manapun. Sehingga, tidak ada kerawanan sedikitpun untuk bisa “digugurkan” oleh MK bila ada pihak yang mengajukan “Yudicial Review”.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberi “pepadang” kepada semua pihak yang kini terlibat dalam pembahsan RUU Penyelenggaraan Pemilu….. Amiin. *SS