Oleh: Ferdinand Hutahaean
SwaraSenayan.com. Sidang yang digelar Pengadilan Negeri Jakarta Utara kemarin Selasa 31 Januari 2017 yang menyidangkan Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta non aktif atas dakwaan penodaan agama Islam yang dilakukan terdakwa di sebuah acara di kepulauan seribu bulan september tahun 2016 lalu menyisakan sebuah tanda tanya besar terhadap negara ini.
Sidang yang menghadirkan Ketua MUI KH Maaruf Amin sebagai saksi telah dimamfaatkan secara nyata oleh Terdakwa Ahok bersama Penasehat Hukumnya untuk mempolitisasi kasus penodaan agama yang dilakukan oleh terdakwa Ahok. Sangat jelas bahwa Ahok dan Pengacaranya berusaha mengaburkan substansi perkara penodaan agama menjadi masalah politik yaitu Pilkada DKI Jakarta. Seolah andai tidak ada Pilkada, maka ucapan Ahok yang didakwa menodai agama Islam tersebut tidak akan ada, dan Ahok menjadi terdakwa adalah karena rekayasa politik. Itulah opini yang berupaya dibangun oleh Ahok dan Pengacaranya demi membebaskan terdakwa Ahok dari segala tuntutan nantinya.
Ada 2 hal yang sangat menarik pada saat KH Maaruf Amin Ketua MUI memberikan kesaksian. Yang pertama, darimana Pengacara Ahok dan Ahok mengetahui SBY menelepon KH Ma’ruf Amin dan mengetahui substansi pembicaraan kedua tokoh tersebut? Yang kedua adalah upaya kriminalisasi terhadap KH Ma’ruf Amin, seorang Ulama, tokoh ulama NU dan sekaligus menjabat sebagai Ketua MUI yang dituduh berbohong dengan memberi kesaksian palsu. Sepertinya memang bagi Ahok dan Pengacaranya, Ulama adalah pembohong.
Sungguh teramat menyedihkan jika Ulama sekelas KH Ma’ruf Amin saja dianggap pembohong. Bagi saya, situasi ini justru semakin membuktikan dakwaan penodaan agama yang dilakukan Ahok terbukti secara syah. Jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah 51, artinya yang berbohong siapa? Alat kebohongannya apa? Yang dituduh berbohong disini adalah Ulama dan alat kebohongannya adalah Qur’an. Patut diduga, sudah menjadi stigma bagi Ahok bahwa ulama adalah pembohong, sehingga didalam pengadilan pun masih menuduh ulama berbohong dan akan dilaporkan dengan kesaksian palsu.
Kejanggalan besar kedua adalah pada saat pengacara Ahok berupaya melakukan politisasi kasus penodaan agama yang dilakukan Ahok dengan berupaya mendesak KH Ma’ruf Amin untuk mengakui bahwa KH Ma’ruf Amin menerima telepon dari SBY yang meminta agar menerima Agus Sylvi dalam kaitan Pilkada. Pertanyaan besar kemudian muncul adalah, darimana Pengacara Ahok tahu telepon antara SBY dengan KH Ma’ruf Amin terjadi? Apakah telah terjadi penyadapan alat komunikasi Presiden RI Ke 6 SBY dan alat komunikasi KH Ma’ruf Amin? Jika terjadi penyadapan kepada alat komunikasi kedua tokoh tersebut, siapa pihak yang melakukan penyadapan? Jika benar terjadi penyadapan, maka sudah sepatutnya pihak menyadap itu dituntut secara hukum, dan jika itu dilakukan oleh rejim berkuasa, maka sudah selayaknya rejim ini dibawa kepengadilan karena telah melakukan kejahatan luar biasa dengan menyadap lawan politiknya.
Jika terbukti Rejim yang menyadap lawan politiknya harus diproses hukum dan diproses politik untuk diberhentikan dari kekuasaannya. Presiden harus diberhentikan jika memang penyadapan itu dilakukan lembaga negara seperti BIN atau POLRI atas perintah penguasa. Kasus ini harus diusut secara tuntas, DPR di Senayan jangan diam dan menjadi tidak berguna menjaga bangsa ini. DPR tentu bisa menggunakan haknya untuk menyelidiki kasus ini.
Ahok dan Pengacaranya harus menjelaskan kepada publik, darimana mereka mendapatkan bukti adanya komunikasi antara SBY dengan KH Ma’ruf Amin. Ini sesuatu hal yang tidak bisa didiamkan karena merupakan pelanggaran hukum serius jika bukti itu didapat secara ilegal. Terlebih adanya upaya mengkriminalisasi KH Ma’ruf Amin dengan bukti yang dimiliki oleh Ahok dengan Pengacaranya. Barang bukti yang tidak sah tentu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti. Bahkan merekam orang lain tanpa ijin adalah bentuk pekanggaran hukum, apalagi jika ternyata telah terjadi penyadapan.
Mengapa Ahok dan pengacaranya begitu bersemangat melakukan politisasi kasus penodaan agama yang mendudukkan Ahok sebagai terdakwa? Jawabannya hanya satu yaitu untuk menggiring opini bahwa kasusnya adalah akibat rekayasa politik. Mengaitkan telepon SBY dengan KH Ma’ruf Amin terhadap penodaan agama yang dilakukan Ahok adalah upaya tidak cerdas dari pengacara Ahok. Telepon dengan penodaan agama itu tidak ada kaitannya. Memangnya tidak boleh SBY melakukan komunikasi lewat telepon dengan KH Ma’ruf Amin? Adakah aturan yang dilanggar? Tidak ada sama sekali. Kemudian bahwa penodaan agama yang dilakukan Ahok sudah terjadi sebelum telepon itu terjadi, jadi mengaitkan telepon SBY dengan kasus penodaan agama itu adalah keliru dan politis. Seolah karena telepon itulah Ahok kemudian jadi terdakwa penodaan agama.
Kembali kepada esensi perkara Ahok, sesungguhnya sebanyak apapun saksi yang dikriminalisasi atau dilaporkan sebagai kesaksian palsu oleh Ahok dan pengacaranya tidak akan menghilangkan peristiwa penodaan agama yang telah dilakukan Ahok. Apapun upaya pengacara Ahok untuk mempermasalahkan narasi-narasi BAP para saksi tidak akan merubah kata-kata penodaan agama yang dilakukan Ahok sebagaimana yang diunggah dalam video di Youtube yang sudah ditonton banyak orang.
Saya pikir Hakim tidak perlu berpanjang lebar memeriksa para saksi, cukup bertanya pada Ahok apakah benar yang di video itu adalah Ahok dan benar Ahok mengucapkan kata-kata dalam video tersebut? Jika Ahok menjawab benar, maka sesuai keterangan saksi Ulama bahwa Ahok menista dan menodai agama sudah bisa diputuskan terbukti secara syah dan meyakinkan telah menodai agama Islam dan dihukum penjara sebagaimana diatur dalam KUHP.
Dengan demikian, daripada Ahok dan pengacaranya semakin menambah musuh yaitu bermusuhan dengan ulama, sudah selayaknya Ahok mengaku dan pasrah jika dihukum penjara. Itu lebih baik daripada permasalahan ini nantinya menjadi permasalahan yang semakin liar dan berpotensi memecah bangsa. *SS