SwaraSenayan.com. Negara berkesejahteraan (welfare state) mengutamakan penyediaan lapangan pekerjaan dan jaminan pelayanan kebutuhan dasar dan sosial bagi rakyatnya, namun faktanya hingga sampai sekarang belum ada wujudnya yang terukur dan terstruktur.
Demikian disampaikan Ketua Umum Komunitas Masyarakat Pertanian SUTA Nusantara, Dadung Hari Setyo kepada SwaraSenayan, Selasa (30/1/2024).
Menurut Dadung, kalau toh bagi-bagi bantuan sosial (bansos) berupa sembako dan uang itu bukan bagian dari sistem welfare state tapi itu adalah pekerjaan sosial, untuk memulihkan fungsi-fungsi sosial di masyarakat atau membantu masyarakat yang mengalami masalah atau darurat sosial.
“Pemberian bansos seperti ini sangat rentan dipolitisasi presiden untuk mendukung anaknya sebagai cawapres, apalagi presiden juga menegaskan boleh memihak dan berkampanye untuk paslon tertentu,” tegas Dadung.
Sebaiknya, Dadung menyeru kepada presiden bahwa pekerjaan sosial atau pekerjaan amal lebih tepat dilakukan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama ataupun tokoh adat, bansos seperti ini tidak tepat dilakukan oleh presiden.
“Presiden tidak etis dan sarat dengan politisasi bansos yang menggunakan sumber anggaran dari APBN untuk mendulang simpati publik,” tutur Dadung yang juga sebagai akivis kepemudaan.
Jika bansos dilakukan dengan model seperti ini, apalagi dilakukan secara sistematis dan patut diduga berafiliasi dengan paslon tertentu yang melibatkan tokoh politik bahkan aktor negara atau pemerintah maka menurut Dadung akan menjauhkan dari subtansi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya akan menambah mental kemiskinan yang melekat pada masyarakat.
“Disini terlihat bahwa ilmu pengetahuan dan administrasi negara tentang kesejahteraan rakyat atau sosial belum diterapkan secara kongkrit, sesuai amanah kontitusi di masyarakat. Akibatnya, sampai saat ini belum bisa lepas dengan pola yang ditanamkan VOC,” pungkasnya. *