Pokja Konservasi: UU Nomor 5/1990 Belum Akomodir Perkembangan Kejahatan Keanekaragaman Hayati

oleh -50 Dilihat
oleh
banner 468x60

IMG-20170918-WA0122SwaraSenayan.com. DPR dan Pemerintah diminta untuk segera memulai pembahasan perubahan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem yang saat ini sudah mendesak untuk dilakukan, melihat kejahatan konservasi yang terjadi di tingkat tapak sudah tak dapat diakomodir dalam undang-undang tersebut.

Demikian disampaikan Kelompok Kerja (Pokja) Kebijakan Konservasi pada acara Rapat Umum Dengar Pendapat (RDPU) dengan DPR-Rl Komisi IV di gedung DPR Senayan (18/9/2017).

banner 336x280

Henri Subagiyo, selaku Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan juru bicara Pokja Kebijakan Konservasi mengatakan bahwa DPR dan Pemerintah perlu mempercepat dan memprioritaskan proses perubahan undang-undang tersebut dengan memulai pembahasan bersama.

Sesungguhnya, lanjut Henry, usulan perubahan RUU ini sudah digaungkan lebih dari satu dekade yang Ialu, bahkan sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) DPR, namun sampai saat ini status pembahasannya belum juga dijadwalkan oleh DPR.

”Sudah banyak kasus kejahatan keanekaragaman hayati yang tidak dapat diproses secara optimal karena tidak diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990, contohnya perusakan ekosistem terumbu karang oleh kapal asing di Raja Ampat. Kami masyarakat sipil yang tergabung dalam Pokja Kebijakan Konservasi mendorong DPR dan Pemerintah untuk segera mempercepat prosesnya sebelum terlambat kita kehilangan identitas bangsa,” pintanya.

Henry menyebut, setidaknya ada tiga alasan utama mengapa perlu segera merevisi UU Nomor 5 Tahun 1990 ini:

  1. Pertama, jangka waktu keberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1990 sudah sangat lama sehingga belum dapat mengakomodir perkembangan isu-isu dan permasalahan konservasi keanekaragaman hayati baik di tingkat nasional maupun internasional.
  2. Kedua, pengaturan penegakan hukum yang tidak dapat mengikuti perkembangan kejahatan keanekaragaman hayati di Indonesia.
  3. Ketiga, ada isu konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik yang sama sekali  belum ada aturannya di tingkat nasional. Sehingga banyak terjadi “pembajakan“ sumber daya genetik (biopiracy).

 

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.