SwaraSenayan.com. Kebijakan moratorium SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) dan SIUP (Surat Izin Usaha Penangkapan) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tertuang dalam peraturan Menteri KKP RI No.56/PERMEN-KP/2014 dan diperkuat oleh Perpres No. 44 Tahun 2016 menuai kontroversial di tengah masyarakat.
Persoalan ini mendorong Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Menimbang Ulang Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tentang Moratorium SIPI dan SIUP”.
FGD yang digelar di ruang rapat Fraksi Partai Hanura, lantai 16, Gedung Nusantara 1, DPR RI ini menghadirkan sejumlah pakar dan narasumber yakni, M. Zulficar Mochtar, ST, M.Sc. (Dirjen Perikanan Tangkap KKP Republik Indonesia), Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. (Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB), Iin Rohimin (Sekjen KNTI/ Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia), dan Dr. Erislan, ST, MM (Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Hanura).
Prof. Rokhmin Dahuri dalam pemaparan materinya yang berjudul, kebijakan pengelolaan perikanan tangkap untuk peningkatan kesejahteraan nelayan, daya saing saing, dan pertumbuhan ekonomi inklusif secara berkelanjutan menguraikan sejumlah permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia diantaranya, pengangguran dan kemiskinan, ketimpangan sosial ekonomi terburuk keempat di dunia, disparitas pembangunan antar wilayah, gizi buruk dan stunting growth, daya saing dan IPM rendah, kerusakan lingkungan dan SDA.
Terkait dengan permasalahan nelayan, menurutnya, ada beberapa permahasalan yang dihadapi seperti, sekitar 48% nelayan masih miskin berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS tahun 2018), sebagian besar usaha perikanan tangkap dilakukan secara tradisional, kontribusi sektor KP terhadap PDB masih sangat rendah, umumnya nelayan hanya bisa melaut sekitar 8 bulan dalam setahun, perizinan perikanan (SIPI, SIUP, dan PHP) semakin susah, lama, dan mahal, dan mayoritas nelayan belum melakukan Best Handling Practies dan Cold Chain System sehingga kualitas ikan menurun.
“Sesuai data Direktorat Perizinan dan kenelayanan KKP tahun 2019, SIUP berjumlah 4.478, SIPI 4.262, dan SIKPI hanya 298. Faktanya juga proses pembuatan atau perpanjangan izin kapal perikanan bisa memakan waktu lebih dari 3 bulan bahkan sampai tahunan,” kata Rokhmin.
Sementara itu Sekjen Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Iing Rohimin dalam materi yang berjudul perijinan dan mimpi mewujdukan perlindungan serta pemberdayaan nelayan menjelaskan, sampai saat ini perijinan di sektor kelautan dan perikanan masih menyisahkan banyak masalah. Menurutnya, salah satu indikator untuk melihat kerja nyata KKP selama ini adalah masalah perijinan sebab dapat dilihat secara kasat mata.
“Menteri Susi dan jajarannya menjawab persoalan tersebut sedemikian luar biasa, dengan mengeluarkan data dan berbagai akrobat politik, namun faktanya hingga hari ini perijinan di sektor kelautan dan perikanan masih menyisahkan banyak masalah,” jelas Iing.
Lebih lanjut ia menjelaskan, masalah perijinan seringkali yang disorot adalah soal perizinan perahu nelayan di atas 30 GT yang menjadi kewenangan KKP, baik dari sisi ruwetnya proses perizinan, lamanya waktu, hingga rendahnya pelayanan KKP dalam menerbitkan surat sakti untuk melaut. Padahal untuk perahu yang dibawah 30 GT yang menjadi kewenangan Provinsi dan kabupaten juga masih menyisahkan sejumlah persoalan antara lain, tumpang tindihnya aturan perundangan-undangan, keterbatasan petugas dan lokasi, pengurusan pra PTSP, dan online singel submission (OSS).
Untuk itu kata Iing, terkait dengan permsalahan-permasalahan ini ada beberapa solusi yang perlu dilakukan yakni, mendekatkan pelayanan, menambah petugas yang melayani berbagai pengurusan dokumen perijinan, melibatkan nelayan atau masyarakat dengan cara membuat pelatihan dan petugas perijinan, menyederhanakan segala proses pembuatan dokumen untuk pengurusan ijin, nelayan diberikan waktu yang cukup hingga enam bulan untuk menyiapkan segala dokumen perijinan namun dalam jangka waktu tersebut nelayan tetap diperbolehkan melaut.
“DPR RI harus melakukan sinkronisasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih yang saling berbenturan satu sama lain, dan harus ada kepastian hukum dalam hal pelarangan alat tangkap nelayan yang merusak lingkungan,” pungkas Iing. *SS