SwaraSenayan.com. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas (PT), yang dijadikan payung hukum pendirian Holding BUMN oleh pemerintah kini mendapat sorotan dari wakil rakyat.
“Komisi VI menolak PP No 72/2016 karena roadmap dan filosofis holdingisasinya tidak jelas, serta tidak mengacu pada undang-undang tentang BUMN dan undang-undang tentang PT. Badan usaha perseroan kok diperlakukan sama seperti BUMN. Karena itu, pemerintah harus pro aktif untuk berkomunikasi dengan DPR,” ujar Inas Nasrullah Zubir selaku Wakil Ketua Komisi VI DPR RI pada “FGD Holding BUMN dan Rencana Revisi UU NO 19 Tahun 2003” yang diselenggarakan Fraksi HANURA (26/1/2017).
PP No 72/2016 menurut Inas dinilai banyak kelemahan yang merugikan negara. Holdingisasi dengan payung hukum tersebut lemah, karena itu perlu melakukan revisi UU No 19/2003 yang akan memberikan kewenangan lebih terhadap BUMN dan holding yang dibentuk.
“Jika dipaksakan menggunakan PP 72/206, maka akan mengurangi kewenangan DPR untuk mengawasi anggaran dan legislasi. Jangan sampai pelaksanaan holdingisasi dimaksudkan untuk menghindar dari pengawasan DPR, ” ujar Inas.
Sejalan dengan amanah Presiden Joko Widodo yang meminta holdingisasi BUMN dilakukan dengan hati-hati, dengan kalkulasi yang matang, tidak asal gabung, asal besar, namun tetap harus dengan catatan-catatan.
“Kalkulasinya yang matang, menaati undang-undang yang ada, betul-betul ini harus dijaga, ini ada prosesnya yang harus dilakukan,” ujar Presiden seperti dilansir dari situs resmi Sekrtariat Kabinet, Kamis (26/1/2017).
Merujuk amanah preseiden tersebut, jika tidak diatur melalui undang-undang, menurut Inas ada upaya pihak tertentu yang ingin memanfaatkan lemahnya payung hukum yang ingin memisahkan kekayaan BUMN dari APBN. Sebab, tak ada pertanggungjawaban perseroan kepada legislatif. Tanpa pengawasan DPR, maka akan membahayakan bagi pengelolaan BUMN yang tanpa kontrol untuk menyelamatkan keuangan negara.
“Sekalipun BUMN berasal dari penyertaan modal dari kekayaan negara yang dipisahkan. APBN merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara, tidak mengecualikan juga kekayaan negara yang dipisahkan,” tegasnya.
Karena itu, Inas menyatakan bahwa holdingisasi bukan satu-satunya solusi, perlu aturan yang komprehensif melalui revisi undang-undang untuk meningkatkan optimalisasi BUMN.
“Tidak harus dengan holding untuk optimalisasi BUMN, bisa melalui pilihan restrukturisasi, privatisasi, merger dan holding,” ujar Inas wakil rakyat dari Dapil Banten III.
Dalam pembahasan Rencana Revisi UU No 19/2003 , secara keseluruhan banyak hal yang substansial yang menjadi dasar revisi UU BUMN tersebut, mulai dari definisi BUMN, penyelenggara BUMN, penyertaan modal, pengelolaan dan penyalahgunaan asset BUMN, pembentukan anak perusahaan, pembentukan holding, pengelolaan korporasi, restrukrisasi dan privatisasi.
Sebagai Wakil Ketua Komisi VI, Inas merasa penting untuk menghimpun pendapat dari pakar untuk mendapatkan masukan terkait pembahasan penyempurnaan Revisi UU BUMN, dan mendiskusikannya perlu atau tidaknya Holding BUMN. Selain Inas, narasumber yang hadir adalah Faisal Basri (Ekonom Senior), Marwan Batubara (IRES), Yanuar Rizki (Pengamat Ekonomi) dan Yus Usman Sumanegara (DPP Partai Hanura). *SS