Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy, Guru Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.
SwaraSenayan.com. Dalam beberapa tahun belakangan, di setiap perhelatan politik berupa Pilkada, Pilpres, Pileg, money politic sudah jamak terjadi. Modusnya begitu beragam, ada dalam bentuk fisik berupa pembagian uang tunai. Besaran money politic berbeda-beda.
Diantara Pilgub, Pilbup, dan Pilwakot, maka besaran money politic Pilwakot termasuk yang paling besar, nilainya paling rendah Rp. 50.000,- sampai ratusan ribu. Tingginya money politic pada Pilwakot biasanya seiring dengan sedikitnya jumlah pemilih. Sementara untuk Pilbup paling paling rendah masih diharga sekitar 10.000,- sampai 15.000,-. Harga murah ini biasanya di daerah atau desa pedalaman atau pegunungan. Kalau di perkotaan berkisar 20.000,- sampai Rp. 50.000,-.
Kalau Pilgub karena mencakup daaerah yang cukup luas biasanya money politic tidak dilakukan secara masif. Calon dengan modal cekak biasanya akan sangat selektif menyebar money politic, tapi calon dengan modal yang gede biasanya akan melakukan money politik secara masif pula, dengan besaran antara 10.000,- sampai Rp. 50.000,-
Ada modus lain money politic, yaitu dengan melakukan rekreasi ke tempat wisata tertentu. Pernah ada calon walikota dan bupati yang kebetulan mempunyai tempat rekreasi sekaligus juga mempunyai Perusahaan Otobus menjelang Pilkada mengangkut ribuan calon pemilih untuk rekreasi di tempat wisata yang dimilikinya. Kalaulah yang berrekreasi berjumlah 20.000 orang x Rp. 75.000,- (sudah termasuk biaya tiket masuk lokasi, makan dan snack serta biaya sewa bus), maka biaya yang harus dikeluarkan sedikitnya berjumlah 1,5 miliar.
Bahkan belakangan, biar dinilai lebih religius ada juga modus money politic berupa wisata religi (ziarah). Konon menurut penuturan seseorang bahwa untuk sekadar biaya ziarah saja seorang calon (kebetulan calon walikota) diperkirakan mengeluarkan anggaran hingga 2 miliar.
Kalau kita memahami arti penting dari pilkada, terima money politic saat pilkada besok tanggal 27/6, artinya selama 5 tahun sebenarnya telah lacurkan harga diri politiknya. Andai menerima Rp. 100.000,- maka harga diri politik seorang penerima money politic itu hanya dihargai setahun Rp. 20.000,- atau setara dengan sebulan Rp. 1.667,- atau setara dengan seminggi Rp. 417,- atau setara dengan sehari Rp. 55,-. Murah banget bukan harga diri politik dari seorang penerima money politic?
Coba bandingkan dengan harga seorang WTS, katakanlah misalnya sehari dapat pelanggan cuma satu orang dengan harga Rp. 50.000,- tentu kalah jauh dengan penerima money politic yang hanya Rp. 55,-. Perbandingannya sudah hampir seribu kali lipat. Belum lagi kalau dibandingkan dengam harga WTS kelas Alexis, maka perbandingannya akan berpuluh-puluh ribu kali lipat.
Angka-angka di atas menegaskan bahwa sejatinya dari sisi pendapatan, harga seorang WTS itu jauh lebih mahal dari harga seorang penerima politik uang.
Apakah praktek money politic bisa dikikis secara maksimal? Jawabannya sangat bergantung pada political will masing-masing yang tetlibat dalam Pilkada, Pilpres atau Pemilu. Pembuat regulasi, pelaksana pemilu, para kontestan dan masyarakat harus sama-sama mempunya li kemauan politik untuk mencegah money politic. Kalau berangkat dari filosofi ikan busuk, maka ikan busuk akan selalu diawali dari kepala. Maka money politic bisa dikikis asal pembuat regulasi dan penyelenggara pemilu serius berusaha mengikis money politik. DPR misalnya harus mempunyai political will untuk membuat UU Pemilu yang mampu meminimalalisir sedemikian rupa money politic.
Penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu harus juga mempunyai kemauan politik yang sama untuk mencegah money politic. Misal rumor dan bahkan kalau mau alat bukti terlalu cukup banyak, siapapun kandidat yang terbukti melakukan money politic, maka akan didiskualifikasi, sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilgub, Pilbup dan Pilwakot. Saya yakin para kandidat akan berpikir setidaknya 100 kali kalau hendak melakukan money politik. Pilkada serentak 2018 ini bisa menjadi momentum bagi Bawaslu untuk membuktikannya bahwa ancaman diskualifikasi bukan main-main, tapi dipraktekkan. Kalau di Pilkada serentak 2018 diterapkan, maka pada Pemilu dan Pilpres 2019 saya yakin praktek money politic akan semakin berkurang. *SS