Penegak Agama Dituduh Intoleransi dan Dikriminalisasi. Hedonisme, Liberalisme dan Sekulerisme Dibiarkan

oleh -67 Dilihat
oleh
Dr. Firdaus Syam, MA, dosen pasca sarjana ilmu politik Universitas Nasional (UNAS)
banner 468x60
Dr. Firdaus Syam, MA, dosen pasca sarjana ilmu politik Universitas Nasional (UNAS)
Dr. Firdaus Syam, MA, dosen pasca sarjana ilmu politik Universitas Nasional (UNAS)

SwaraSenayan.com. Hari ini penista agama dibela, pembela agama dihina. Penegak agama dituduh intoleransi. PKI, kelompok hedonisme, liberalisme dan sekulerisme dibiarkan. Kelompok yang menegaskan nilai-nilai agama telah dimarjinalkan bahkan dikriminalisasi.

Demikian disampaikan Dr. Firdaus Syam, MA, dosen pasca sarjana ilmu politik dari Universitas Nasional (UNAS) pada Round Table Discussion, bertema “Kedaulatan NKRI Tanggung Jawab Kita Semua” yang diselenggarakan oleh DHN (Dewan Harian 45) dan Center Of Study For Indonesian Leadership (CSIL) di Gedung Juang Menteng, Jakarta Pusat (20/1/2017).

banner 336x280

Selain Dr. Fidaus Syam pembicara lain yang hadir antara lain: Jend. (Purn) Tyasno Sudarto (Mantan KSAD/Ketua Umum DHN 45), Lily Wahid (Mantan Anggota DPR RI FPKB), Usamah Hisyam (Ketua Umum Parmusi), Permadi (Mantan Anggota DPR RI FPDIP), Letjend MAR (Purn) Suharto, (Purnawirawan TNI AL), Mayjend TNI (Purn) Prijanto (Mantan Wagub DKI Jakarta), Batara R. Hutagalung, Samuel Lengkey (Aktivis Muda), Habib Rizieq Syihab (Imam FPI) dan Heppi Trenggono (Pemimpin Gerakan Beli Indonesia).

Kepada SWARA SENAYAN, Firdaus Syam menguraikan lebih lanjut bahwa saat ini semakin berani dan vulgar upaya “menggerogoti” dan eksistensi sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. “Kita butuh pemimpin Islam yang istiqomah. Jangan kita terjerumus ke lubang yang sama,” tegasnya.

Dia juga meminta agar jangan mempertentangkan perbedaan. Kita butuh persatuan umat. Bahkan sampai ada yang mengatakan bahwa agama adalah sumber konflik. Melalui opini media dikesankan bahwa Islam adalah radikal.

Kelompok mayoritas terbesar pemeluk agama, melalui opini “media tertentu” terbangun kesan dan stigmatisasi  Islam itu intoleran, radikal serta aspirasi umat Islam dimarjinalisasikan.
Jika kita perhatikan dengan teliti bahwa diberbagai negara di belahan dunia tidak ada situasi yang sedemikian setoleran perlakuan Islam terhadap umat penganut agama yang berbeda. Ajaran Islam adalah agama damai dan menegakkan kedamaian.

Tapi, majelis ulama sebagai wadah yang merepresentasikan aspirasi dan pembimbing akidah umat Islam dan demikian strategis serta penting, ternyata ada keinginan dan upaya dari pihak tertentu yang mengusulkan untuk dibubarkan.

“Ormas FPI dizdalimi, dihina dan dikriminalisasi serta disuarakan agar dibubarkan. Padahal FPI dan semua anggota, pengurus dan Imamnya memiliki hak yang sama. FPI sesungguhnya aset umat dan aset bangsa Indonesia, urainya.

Ketidakadilan sosial juga semakin memprihatinkan, ketika keadilan lebih berpihak kepada segelintir orang. Dalam pengamatan Firdaus Syam, penggusuran terhadap rakyat, perlakuan hina dari pejabat yang arogan dan merasa paling benar atas kebijakannya, adalah bentuk ketidakadilan sosial.

“Rakyat menanggung beban dengan penderitaan dan kekecewaan bukan kesejahteraan dan ketentraman,” ujarnya.

Ketidakadilan di bidang ekonomi juga sangat nampak ketimpangannya. Atas nama pembangunan, modernisasi, estetika lingkungan melalui kebijakan, sebagian besar kekayaan nasional dikuasai bagian kecil keluarga Indonesia, orang terkaya lebih kurang 10 persen menguasai lebih kurang 70 persen ekonomi nasional dan lebih kurang 30 persen  diperebutkan oleh 90 persen penduduk.
Perbankan dalam dominasi asing, demikian pula hutan dan sumber daya alam bagian terbesar tidak dikuasai pribumi. Orang terkaya di Indonesia didominasi kelompok minoritas.

Selanjutnya, Firdaus menguraikan bentuk Ketidakadilan Budaya. Menurutnya, mulai ada upaya diskriminatif terhadap nilai-nilai Islam yang “didefinisikan dengan Arab”. Padahal fakta sejarah saudara kita etnis Arab baik yang ada di Indonesia maupun bangsa Arab di Timteng memiliki andil besar terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia juga solidaritas perjuangan rakyat Indonesia di forum internasional. Etnis Arab bersama rakyat Indonesia tidak diragukan lagi turut berjuang melawan penjajah.

Lalu, orang / kelompok yang tidak suka dimana komitmen bhineka tunggal ika, bagi kelompok yang melukai perasaan etnis Arab. Adanya dakwah kalangan habaib adalah panggilan agama Islam yang juga dipeluk oleh bagian terbesar dan mayoritas penduduk Indonesia.

Sorotan selanjutnya adalah ketidakadilan mendapatkan informasi. Firdaus menjelaskan posisi media sebagai pilar keempat demokrasi, kini di Indonesia sebagian telah demikian partisan dan dikuasai pemilik modal besar dengan agenda dan kepentingan politiknya. Publik telah hilang kepercayaan kepada media tersebut. Pemutar balikkan fakta demikian kuat dirasakan kalangan terbesar masyarakat, khususnya umat Islam. Informasi yang tidak jujur, tidak terbuka, tidak seimbang dan tidak bertanggungjawab telah memudarkan kepercayaan masyarakat.
Informasi menjadi tidak utuh dan merugikan khususnya berkaitan dengan masalah politik dan keumatan.

Ketidakadilan selanjutnya adalah Ketidakadilan menyuarakan hak berdemokrasi. Dirdaus menuorot, Partai dan parlemen demikian tidak sensitif terhadap isu-isu penting, rawan dan aktual  di ruang publik. Adanya tuduhan makar dan lainnya adalah sebuah “kepanikan” dari pengelola negara, khususnya aparat keamanan terhadap pandangan kritis para ulama, praktisi dan kaum intelektual di negeri ini.

Dari sederet ketidakadilan tersebut, Firdaus mengajak seluruh elemen bangsa untuk  membangun dialog nasional.

“Pemerintah perlu mengundang semua elemen masyarakat yang kini kritis terhadap pemerintah, tanpa terkecuali. Presiden harus dan perlu mendengarkan aspirasi yang mencul di ruang publik dan menjadi perhatian besar ekemen bangsa. Jauhkan dari niat yang tidak terpuji,” pungkasnya. *MTQ.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.