Oleh: Ari Sakti Prihatwono, Prihatwono Law Research
SwaraSenayan.com. Belum lama ini dunia bisnis fintech Indonesia dihebohkan dengan kasus Rupiah Plus karena cara penagihan hutang Rupiah Plus yang dinilai bermasalah dan mengganggu masyarakat. Rupiah plus merupakan fintech yang bergerak di sektor peer-to-peer lending yang menyediakan layanan pinjaman tunai.
Diketahui awal permasalahan muncul karena cara penagihan utang yang dilakukan Rupiah Plus dianggap mengganggu masyarakat diantaranya adalah dengan cara mengancam, mengintimidasi, bahkan sampai melakukan penagihan kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pinjaman atau hutang tersebut.
Penagihan kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungannya sama sekali tersebut dilakukan oleh Rupiah Plus setelah mengakses seluruh data kontak nasabah dan menghubungi kontak-kontak tersebut meminta memberi tahu nasabah yang memiliki hutang untuk segera melunasinya. Padahal mungkin saja kontak yang dihubungi oleh Rupiah Plus tidak mengenal nasabah yang dimaksud.
Atas kasus ini Rupiah Plus diancam akan dikenakan sanksi oleh OJK setelah mendapat berbagai laporan pengaduan dari masyarakat terkait perlakuan Rupiah Plus. Pihak Rupiah Plus pun juga sudah mengakui adanya kesalahan prosedur dalam melakukan penagihan hutang dan berjanji akan melakukan perbaikan kedepannya.
Menurut Ade Bagus Riadi dari Prihatwono Law Research, Jika dilihat dari sisi hukum, potensi pelanggaran yang dilakukan oleh Rupiah Plus sedikitnya ada dua yaitu:
- Mengakses seluruh kontak debitur dan menyalahgunakannya tanpa seijin atau sepengetahuan pemilik kontak aslinya. Hal tersebut terindikasi melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.”
- Penagihan yang dilakukan dengan cara mengintimidasi dan mengganggu orang lain yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan hutang atau debitur. Hal tersebut terindikasi melanggar ketentuan Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP bahwa “Barang siapa secara sengaja melawan hukum, memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Disini terlihat adanya pelaku industri yang menyalahgunakan data pribadi seseorang dengan mengakses seluruh isi kontak nasabah untuk kepentingan bisnisnya yang ternyata merugikan masyarakat.
Sungguh jika itu terjadi patut disesalkan dan kami Prihatwono Law Research mendesak agar Pemerintah bersama DPR harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang mengatur hal-hal demikian.
Karena selama ini Indonesia sendiri belum mempunyai regulasi yang cukup mapan dalam menghadapi perkembangan dunia teknologi dan informasi serta perkembangan arus data, sehingga yang selalu menjadi korban adalah konsumen itu sendiri karena data pribadinya rawan untuk disalahgunakan.
Harapannya UU PDP nanti akan mengatur secara jelas mengenai hal-hal apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan terhadap pemanfaatan dan cara perolehan data pribadi seseorang.
Selain untuk melindungi konsumen dari penyalahgunaan data pribadinya, hal tersebut juga akan menjadi pedoman yang jelas bagi pelaku usaha/bisnis dalam memanfaatkan data pribadi konsumennya.
Konsumen pun juga harus berhati-hati dalam setiap mengakses atau menggunakan teknologi informasi, agar jangan sampai memberikan akses yang terlalu luas kepada suatu aplikasi salah satunya adalah memberikan ijin kepada aplikasi untuk mengakses seluruh isi kontak konsumen. Karena bisa saja data tersebut akan disalahgunakan yang nantinya justru merugikan konsumen itu sendiri.
Prihatwono Law Research juga menyarankan agar Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) hendaknya juga berperan aktif dalam mengawasi pelaku-pelaku fintech anggotanya agar terciptanya suasana yang kondusif. Industri Fintech masih seumur jagung sehingga perlu dibina dan dijaga oleh seluruh pemangku kepentingan sehingga industri fintech semakin diminati dan dipercaya oleh masyarakat. *dam