Pasar Global Bawang Putih dan Posisi Indonesia

oleh -182 Dilihat
oleh
banner 468x60

Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

Tulisan ini merupakan tulisan berseri dari makalah yang berjudul “Kebijakan Strategis Mewujudkan Swasembada Bawang Putih.”

banner 336x280

SwaraSenayan.com. Sampai pertengahan tahun 1990-an, Indonesia pernah mencukupi kebutuhan bawang putih konsumsi nasional dari hasil budidaya lokal. Setelah itu impor bawang putih konsumsi terus meningkat, dan praktis mencapai seratus persen dari total kebutuhan nasional. Total impor bawang putih Indonesia mencapai 674 juta dolar AS (2016), atau setara Rp 9,57 triliun (dengan kurs Rp 14.200 per dolar AS).

Dengan nilai impor sebesar itu, Indonesia tercatat sebagai negara importir bawang putih terbesar dunia, menguasai 16,7 persen dari total pasar global yang mencapai 3,84 miliar dolar AS. Peringkat kedua sebagai negara importir bawang putih terbesar dunia dipegang oleh Brazil dengan menguasai pasar impor sebesar 9 persen, senilai 344 juta dolar AS. Di kawasan ASEAN, Vietnam dan Malaysia juga impor bawang putih cukup besar, masing-masing 6,3 persen dan 6,1 persen dari pasar impor global, dengan nilai impor 241,5 juta dolar AS dan 235,5 juta dolar AS.

Sentra produksi bawang putih China terletak di provinsi Shandong dan Provinsi Henan, dengan desa Jinxiang yang terletak di sebelah Barat Daya provinsi Shandong sebagai pusat kegiatan dan pusat perdagangan bawang putih China. Hal ini tidak terlepas dari peran desa Jinxiang sebagai pelopor budidaya bawang putih China, yang kemudian berkembang menjadi pusat produksi bawang putih dunia dengan memberi kontribusi 80 persen keperluan bawang putih dunia. Hampir semua hasil panen di kedua provinsi tersebut mengalir ke desa Jinxang. Mungkin karena desa Jinxiang mempunyai infrastruktur yang sangat memadai untuk menyimpan bawang putih dalam jangka waktu panjang yang memerlukan cold storage, yang tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Jinjxang termasuk kategori desa, tetapi jangan menyamakan dengan desa di Indonesia. Desa Jinxiang bahkan mungkin jauh lebih maju dari kebanyakan kota di Indonesia sekalipun, berkat komersialisasi bawang putih.

Total produksi bawang putih dunia mencapai 26,6 juta ton (2016), dan China menguasai 79,8 persen dengan total produksi 21,2 juta ton. Dari total nilai ekspor bawang putih dunia yang mencapai 3,84 miliar dolar AS, China menguasai 71,2 persen dengan total ekspor 2,74 miliar dolar AS. Meskipun demikian, ekspor yang sangat besar tersebut sebenarnya tidak signifikan dibandingkan dengan total produksinya. Mungkin hanya sekitar 10 persen saja. Artinya, kebutuhan bawang putih dalam negeri China juga sangat besar, bisa mencapai 90 persen dari total produksinya.

 

Posisi China sebagai produsen bawang putih terbesar dunia karena mempunyai daya saing yang sangat tinggi, dan sangat kompetitif. Produktivitas penanaman bawang putih China merupakan yang tertinggi di dunia, bisa mencapai 25 ton per hektar, bahkan lebih. Dengan demikian, biaya produksi bawang putih di China merupakan salah satu yang terendah di dunia, sekitar Rp 7.500 sampai Rp 8.000 per kilogram. Sedangkan biaya produksi bawang putih di Indonesia jauh lebih tinggi, bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram hingga Rp 24.000 per kilogram.

Indonesia memang melakukan penanaman bawang putih di beberapa tempat di dataran tinggi. Tetapi, mayoritas hasil panen tersebut digunakan untuk bertanam lagi, alias dijadikan benih lagi. Karena bawang putih Indonesia tidak kompetitif untuk dijadikan bawang putih konsumsi, kalah bersaing dengan bawang putih China. Hal ini juga yang membuat harga benih bawang putih Indonesia menjadi sangat mahal, yang membuat biaya produksi menjadi tinggi. Di samping, tentu saja, umbi bawang putih Indonesia sangat kecil sehingga tidak diminati oleh konsumen.

India merupakan produsen bawang putih terbesar kedua dunia, dengan total produksi sekitar 1,4 juta ton. Perbedaan jumlah produksi antara produsen terbesar pertama dan kedua ini sangat besar sekali. China, dengan penguasaan pangsa pasar yang sedemikian besar, dan sudah termasuk kategori monopoli, seharusnya dapat mendikte harga bawang putih internasional untuk keuntungan para petaninya. Dan harga internasional tersebut tergantung dari jumlah produksi China. Ketika produksi bawang putih China tersendat, maka harga akan meningkat tajam. Dan sebaliknya, kalau produksi bawang putih China berlimpah, maka harga akan turun. Tetapi, mengingat ekspor China hanya sebagian kecil saja dari total produksinya, China sebenarnya dapat menahan (menyimpan) kelebihan hasil produksi tersebut untuk menahan harga agar tidak anjlok.

Dan Indonesia sebagai price-taker akan menyerap semua kebutuhan bawang putih nasional dengan harga berapapun. Artinya, hasil panen China akan menentukan harga bawang putih di Indonesia. Artinya, harga bawang putih di Indonesia akan tergantung hasil panen di China. Karena substitusi impor dari negara lain hampir tidak mungkin, mengingat kebutuhan bawang putih Indonesia yang sangat besar, mencapai sekitar 600.000 ton per tahun. Dan India sebagai negara produsen bawang putih terbesar kedua dunia hanya mampu produksi 1,4 juta ton saja, dengan kemampuan ekspor sangat rendah, jauh di bawah 30 ribu ton. Jadi, Indonesia tidak ada pilihan lain kecuali impor dari China dengan segala konsekuensinya. Kalau sampai terjadi gangguan produksi yang sangat serius, misalnya kekeringan yang membuat gagal panen sehingga produksi bawang putih China anjlok, maka harga bawang putih Indonesia akan meroket tanpa bisa berbuat apapun. Dan cita rasa masakan Indonesia terpaksa harus terdegradasi tanpa rasa aroma bawang putih.

Oleh karena itu, swasembada bawang putih sangat penting bagi Indonesia agar tidak tergantung dari satu negara supplier saja. *SS

banner 336x280

No More Posts Available.

No more pages to load.