Oleh : Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
SwaraSenayan.com – Setiap kali memasuki detik-detik terakhir memasuki bulan Oktober (peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965) bangsa Indonesia seperti terbawa dalam suatu penyandraan batin yang secara eksistensial mengaktualkan kembali Pancasila sebagai ideologi nasional.
Di tengah suasana yang demikian itulah terus menerus akan berkembang kepercayaan yang semakin mendalam bahwa secara sosiologis dan historis nilai-nilai kultural kebangsaan, apa pun namanya, selalu tampil kembali sebagai pemandu bangsa dalam penyelesaian persoalan hidupnya yang terkadang amat pelik. Tidak saja pada saat-saat suatu bangsa melakukan penyadaran diri mengenai nilai-nilai luhur yang secara regulatif selama ini telah mempersatukan dan menggerakkan dinamika nasionalitasnya, namun hal itu sudah merupakan basis moral dalam berdialog dengan berbagai masalah kemanusiaan dalam kecenderungan ketergantungan global.
Berdasarkan kepercayaan yang eksistensial mengenai Pancasila yang demikian, Indonesia sebagai negara bangsa terus menerus perlu memperluan cakrawala pandangnya dalam tata pergaulan mondial di antara negara bangsa modern.
Dalam perkembangan kehidupan dunia mondial yang semakin mengglobal kesadaran eksistensial tersebut merupakan sumber inspirasi yang harus terus menerus didialogkan dengan pluralitas universal wawasan kemanusiaan di bidang sosial, politik, budaya, dan ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Keberadaan Pancasila sebagai ideologi berwawasan kemanusiaan, dalam semangat mondial dan global tidak semata harus teruji dalam eksistensi nasionalitas, namun perlu dihadapkan pada masalah-masalah global kemanusiaan dan ideologi.
Di sini gagasan pengembangan Pancasila sebagai ideologi terbuka merupakan bidang strategis bagi keberadaan bangsa ini di tengah pergaulan dunia yang penting dicermati dan dikaji secara kritis. Gagasan itu sendiri sudah merupakan suatu tuntutan sejarah yang mau atau tidak perlu disadari oleh generasi baru negeri ini.
Baca juga : https://www.swarasenayan.com/pancasila-diagungkan-tapi-dikebiri-dalam-praktek-bernegara/
Kehidupan manusia yang semakin modern dan beradap ternyata tidak identik dengan berkurangnya permasalahan di bidang kehidupan sosial, budaya ekonomi, dan politik serta kemanusiaan yang ternyata terus muncul di berbagai belahan dunia. Hal ini menunjukkan bahwa realisasi nilai kemanusiaan yang luhur merupakan persoalan global sekaligus universal.
Karena itu kepercayaan mengenai keterujian (kesaktian) Pancasila sudah waktunya dikembangkan sehingga ideologisasi yang selama ini dalam batas nasionalitas kebangsaan mulai perlu didialokkan dengan berbagai permasalahan kemanusiaan global tersebut.
Peluang menampilkan Pancasila sebagai ideologi kemanusiaan global tersebut di atas tampak terbuka luas dengan semakin berkembangnya keraguan dunia terhadap nilai modernitas yang dituduh menjadi penyebab bangkrutnya kemanusiaan yang perenial.
Hal ini merupakan perluasan semangat kemanusiaan Pancasila di dalam memberikan sumbangan pengembangan moralitas kemanusiaan global. Demikian pula nilai-nilai dasar kedaulatan rakyat dan keadilan sosial perlu dikembangkan sehingga memberi sumbangan bagi pengembangan tata hubungan bilateral maupun multi lateral di berbagai bidang politik, ekonomi dan budaya yang semakin demokratis.
Untuk maksud besar di ataslah kritik internal dalam arti memperluas wawasan konseptual nilai kemanusiaan sebagai akar Pancasila sudah merupakan suatu tuntutan sejarah searah dengan mondialisasi dan globalisasi nasionalisme kebangsaan.
Dengan demikian dapat diupayakan pengembabangan paradigma baru hubungan Internasional Indonesia sebagai negara bangsa dalam tata pergaulan dunia. Karena itu paradigma kemanusiaan Pancasila perlu diterjemahkan lebih lanjut sehingga lebih fungsional dan regulatif terhadap berbagai permasalahan politik global.
Kecenderungan modernitas juga mulai menimbulkan permasalahan teologis searah dengan perluasan Iptek yang mulai memasuki wilayah transendental dan perenial. Di sini, konsep ketuhanan Pancasila dalam Kemanusiaan yang Adil dan Beradap seharusnya mampu memberi inspirasi bagi usaha merumuskan suatu teologi berwawasan kemanusiaan dalam pengembangan tradisi keberagamaan yang mulai menyibukkan para ahli dan elite komunitas agamawan.
Sesuai persoalan itu kiranya peringatan Hari Kesaktian Pancasila perlu dikembangkan sehingga dapat terhindar dari jebakan rutinitas. Melalui penghadapan secara dialogis nilai yang berakar pada Pancasila terhadap berbagai permasalahan kemanusiaan global, semangat kemanusiaan yang mendasari kelahiran Pancasila atau suasana batin yang menjadi akar keberadaannya dapat dikembangkan penyadaran diri yang eksistensial, aktual dan fungsional terhadap masalah kemanusiaan tersebut.
Ideologisasi Pancasila agaknya perlu diperluas sebagai ideologi kemanusiaan yang sekaligus merupakan langkah eksistensial penyadaran diri mengenai keyakinak kesaktian Pancasila tersebut. Karena itu pelaksanaan Pancasila secara abyektif dalam sistem kenegaraan dan perundang-undangan dan pelaksanaan secara subyektif sebagai paradigma perilaku warga negara juga perlu diperluas sebagai paradigma moralitas kemanusiaan.
Di samping itu keyakinan akan kesaktian Pancasila dalam wacana nasionalisme kebangsaan secara moral harus mendorong pengembangan nilai-nilai di dalamnya dalam berwawasan global di atas.
Hal ini sekaligus akan semakin mempertebal keyakinan itu sendiri sebagai semangat moral yang terus menerus aktual. Demikian pula berbagai upaya pengembangan ketercakupan global dari nilai-nilai yang mengakar dalam Pancasila di atas akan menutup kemungkinan penyempitan nasionalitas kebangsaan dalam formalisme.
Moralitas kemanusiaan global akan merupakan kritik terhadap kecenderungan formalisme Pancasila, sehingga semakin semaraknya diskusi mengenai HAM dan demokratisasi berbagai dimensi kehidupan manusia justru merupakan peluang dan tuntutan globalisasi ideologi Pancasila.
Selain itu, kritik Iptek yang antara lain menyebabkan kecenderungan involusi fungsi regulatif tradisi keagamaan yang semakin keras dan meluas merupakan peluang lain bagi pengembangan nilai-nilai ketuhanan dalam Pancasila.
Kecenderungan demikian sudah barang tentu memerlukan jawaban sesuai logika Iptek dan modernitas, sehingga dapat dikembangkan suatu tradisi baru keberagamaan yang lebih dialogis dan antisipatif serta emansipatif terhadap berbagai permasalahan kemanusiaan yang muncul sebagai mimpi buruk kemajuan Iptek dan modernitas itu sendiri.
Di sisi lain, berbagai kecenderungan global justru menunjukkan perlunya suatu paradigma kemanusiaan yang baru namun sekaligus juga membawa dunia berada dalam suasana kritikal, khususnya yang dihadapi oleh komunitas pemeluk agama.
Dalam situasi demikian inilah semangat kamanusiaan sila ketuhanan Pancasila memberikan pelajaran berharga bagi elite agamawan dalam menjawab berbagai permasalahan yang muncul akibat kemajuan Iptek di atas. Hal ini sekaligus merupakan kekuatan bagi bagi usaha pengembangan nilai-nilai Pancasila dalam wacana yang lebih global.
Globalisasi ideologi Pancasila di samping merupakan perluasan secara mandial semangat dan moralitas kemanusiaan yang berakar di dalam dirinya sekaligus menjadi basis perumusan tridisi baru keberagamaan yang berwawasan kemanusiaan.
Prinsip eklektisitas pengamalan dan universalitas nilai-nilai Pancasila khususnya ketuhanan yang berkemanusiaan merupakan kekuatan internal yang dapat dijadikan basis usaha globalisasi tersebut.
Tumbuhnya kepercayaan diri manusia yang mulai beremansipasi terhadap berbagai wacana transendental khususnya dalam tradisi keberagamaan menyebabkan teologi humanitas merupakan tuntutan modernitas.
Suatu kecenderungan yang harus diperhatikan secara serius oleh elite komunitas pemeluk agama sebagaimana kritik kecenderungan modernisme yang melahirkan proyek emansipasi humanitas terhadap upaya konseptualisasi Iptek atas fenomena kehidupan manusia seperti dalam pemikiran mazhab Frankfurt mutakhir. Karena itu humanitas merupakan logos kesatuan universal nilai-nilai keberagamaan dan Pancasila terhadap berbagai problem kemanusiaan global.
Di satu sisi teologi kemanusiaan bukan saja merupakan kebutuhan paradigmatik pengembangan dan perumusan tradisi baru keagamaan, tetapi juga merupakan peluang bagi upaya ideologi Pancasila itu sendiri dalam formalisme nasionalitas.
Ketergantungan global sebagai perluasan dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi Pancasila harus berhadapan secara kritis dan dialogis dengan berbagai masalah global. Di sinilah nilai-nilai luhur kemanusiaan sebagai akar Pancasila dapat menjadi basis etis usaha globalisasi ideologi Pancasila.
Di samping itu konsep Masyarakat Pancasila sebagai masyarakat religius merupakan basis teologis bagi usaha pengembangan moralitas kemanusiaan dalam tata pergaulan mondial. Kepentingan di atas yaitu perlunya suatu konsep teologis yang berwawasan humanitas dan pengembangan semangat kemanusiaan dari Pancasila dalam wawasan mondial merupakan dua kekuatan yang dapat difungsikan sebagai kritik kecenderungan formalisme yang sempit dari nasionalitas yang sempit dari semangat kesaktian Pancasila itu sendiri.
Demikian pula terhadap kemungkinan formalisme pengembangan semangat religiusitas sehingga semakin memperbesar proses penyusutan fungsi tradisi keberagamaan dalam dinamika komunitas pemeluk agama dan dalam dinamika masyarakat yang lebih luas.
Kecenderungan birokratisme dan teknokratisme dalam wacana modernisme yang dialami negara bangsa berkemajuanĀ di kawasan barat merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia untuk tidak terjebak pada kecenderungan serupa ketika mulai memasuki proyek industrialisasi dalam berbagai kebijakan pembangunan.
Tanpa pengembangan nilai kemanusiaan dalam wawasan mondial proyek industrialisasi bisa terjebak dalam teknologisme yang mematikan semangat spiritual gagasan ideal kemanusiaan sebagaimana yang dialami oleh negara-negara Barat modern.
Karena itu proyek pengembangan teologi dan moral kamanusiaan dalam wawasan global merupakan pilihan strategis dalam era Indonesia modern. Semangat Kesaktian Pancasila perlu dikembangkan sebagai upaya penyadaran spiritualisasi kemanusiaan secara lebih krisis dan dialogis.
Melalui proses transedensi, pengangkatan peristiwa historis dari fakta-fakta kesejarahan, ideologi yang hidup dalam suatu bangsa bisa berfungsi bagi pencerahan kebangsaan dan nasionalitas, sekaligus kemanusiaan. *SS