Oleh : Ferdinand Hutahaean
SwaraSenayan.com. Memasuki tahun ke empat pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, tampaknya Indonesia semakin mundur ke peradaban anti kritik, anti demokrasi dan anti kebebasan berpendapat. Padahal semua aturan tentang kebebasan berpendapat itu diatur oleh rambu-rambu yang masuk dalam hukum pidana. Kebebasan ada tanggung jawabnya. Tampaknya, aturan yang sudah ada saat ini tidaklah cukup bagi para pemegang kekuasaan di negara ini, baik kekuasaan Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.
Pasal penghinaan dan pencemaran nama baik sudah diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, berlaku umum sama untuk semua orang dengan delik aduan. Namun ternyata itu masih dirasa kurang hingga harus diatur pasal khusus terhadap penghinaan kepada Presiden. Padahal pasal ini bahkan sudah pernah di batalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor -13-022/PUU-IV/2006. Mati sudah pasal itu, namun sekarang mau dihidupkkan dari alam kuburnya.
Mengapa harus ada khusus pasal yang mengatur penghinaan Presiden? Bukankah sudah ada pasal lain yang mengatur? Bukankah semua warga negara sama di hadapa hukum? Jika kedudukan semua warga negara sama di hadapan hukum, lantas kenapa Hukum itu sendiri harus menyediakan tempat dan pasal khusus bagi Presiden? Apakah ini kehendak dan keinginan dari Presiden Jokowi? Apakah pak Jokowi merasa tidak nyaman lagi menjadi presiden dengan kritik yang luar biasa besar terhadap kegagalan pemerintahannya hingga saat ini?
Saya hanya berharap agar pak Presiden Jokowi sendiri meminta supaya usulan tentang pasal penghinaan kepada Presiden itu dibatalkan. Itu sungguh kemunduran dalam demokrasi, dan Pak Jokowi adalah seorang presiden hasil dari demokrasi, tentu pak Jokowi akan menghormati kritik sebagai bagian dari demokrasi.
Tidak berhenti di ranah Eksekutif, para anggota dewan yang terhormat juga ikut-ikutan latah menjadi anti kritik. Dalam revisi UU MD3 yang awalnya ingin menambah kursi pimpinan DPR, ternyata melebar kepada hak imunitas DPR terutama dalam hal yang sama, anti kritik.
Banyak berita media menyebutkan yang mengkritik DPR bisa dipidana. Ini mengerikan bagi demokrasi karena pembungkaman demokrasi justru berasal dari rumah yang seharusnya menjadi benteng demokrasi, yaitu Gedung DPR. Mengapa DPR menjadi risih dengan kritik? mengapa tidak biarkan saja semua kritik itu mampir ke Gedung Dewan sebagai aspirasi yang harus didengar?
Selain menjadi anti kritik, DPR juga menambahkan pasal kekuatan dalam UU MD3 yaitu terkait pertimbangan dari Dewan Kehormatan DPR sebelum Presiden mengeluarkan ijin pemeriksaan bagi anggota DPR yang terlibat dalam masalah hukum.
Mengapa semua berlomba-lomba menjadi harus kebal dari hukum? Demikian juga pengacara, punya hak immunitas di ruang persidangan dan di luar persidangan dengan catatan bahwa sang pengacara tidak melanggar kode etik. Apakah dengan immunitas itu juga menjadikan seorang pengacara bebas bicara di luar persidangan hingga memfitnah dan mencemarkan nama baik seseorang? Atas nama immunitas advokat, bolehkah membela klien dengan melakukan pelanggaran hukum yang mengandung unsur pidana? Bolehkah memaksa seseorang supaya mengaku dengan kekerasan atas nama immunitas? Bolehkan mencemarkan nama baik seseorang dengan alasan immunitas dalam menggali fakta-fakta?
Tampaknya negara ini menjadi negara yang mulai mengharamkan kritik dan melegalkan kesalahan atau kejahatan atas nama immunitas yang dibuat dalam Undang-undang. Semua ini harus dihentikan karena tidak akan ada negara yang maju jika membungkam kritik dan mematikan demokrasi dan malah membiarkan pelanggaran atas nama immunitas. Mari berpikir sejenak untuk kebaikan bangsa ini, jangan hanya berpikir untuk kepentingan sesaat.
Kritik adalah konsultan gratis yang akan meluruskan jalan bagi yang amanah memimpin dan menjabat, namun kritik adalah kebencian bagi pemimpin dan pejabat yang tidak amanah dan mementingkan diri sendiri dan kelompok di atas kepentingan negara.*AZ