Menyelamatkan Dunia dengan Pancasila dan Nasakom

Ayo Berbagi!
Mayor Jenderal (Purn.) Saurip Kadi
Mayor Jenderal (Purn.) Saurip Kadi

Oleh: Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi

SwaraSenayan.com. Memperhatikan tanggapan banyak pihak yang pro maupun kontra terhadap tulisan saya dengan judul “Bukan Bangsa Pendendam” disejumlah media online, salah satunya dari Mayjen TNI (Purn) Budi Sujana,  saya membikin tanggapan balik  dengan tulisan serial.

Tulisan serial termaksud, juga untuk menjawab pertanyaan sejumlah pembaca tentang apa solusi yang saya tawarkan.

Sudah barang tentu bagi mereka yang belum switching “mind set” dari OTORITER ke DEMOKRASI tulisan serial termaksud bisa jadi akan menambah alasan untuk kembali menstigma saya sebagai kader PKI yang disusupkan ke TNI.

Membicarakan tragedi G 30 S/PKI sendiri tidak bisa lepas pengalaman pahit kekalahan tentara USA di VIETNAM  yang membawa korban meninggal dan cacat dari anak-anak muda dengan  jumlah yang tidak kecil. Besarnnya penolakan rakyat USA dalam hal pengerahan tentara mereka untuk menghadapi bahaya komunisme membuat rumusan kebijakan baru dalam menggarap Indonesia. Apalagi geopolitik USA juga menempatkan Indonesia tidak boleh jadi negara komunis. Inilah yg membuat terjadinya tragedi G 30 S. Dan dokumen terkait hal tersebut, kini di USA sudah terbuka.

Komunisme telah jadi bangkai. Sejumlah negara juga telah meramu sejumlah cara dari sejumlah ideologi dalam tata kelola negara. Mengapa kita harus memelihara dendam masa lalu. Bukankah masa depan negeri ini jauh lebih penting untuk ditangani bersama segenap rakyat Indonesia tanpa kecuali termasuk anak-anak ex PKI.

Lantas  model tata kelola negara  yang bagaimana,  yang cocok untuk negara yang berdasarkan Pancasila tercinta ini.  Itulah tugas bersama kita saat ini.

BAGIAN 1

Francis Fukuyama, ahli sejarah Amerikat keturunan Jepang yang menulis buku  berjudul “The End of History and the Last Man” (1992)  mengatakan bahwa akhir evolusi perkembangan politik adalah demokrasi-liberal dan akhir evolusi perkembangan ekonomi adalah kapitalisme.
Inti dari dua sistem tersebut pada hakekatnya adalah liberalisme, yaitu liberalisme politik dan ekonomi.

Samuel  Huntington, dengan bukunya “The Clash of Civilization”  (1993) melihat arah yang berbeda. Huntington justru melihat timbulnya 5 benturan antar-peradaban. Yaitu antara delapan peradaban besar, diantaranya yang terpenting adalah Barat (Yahudi-Kristen-Yunani Kuno), Islam dan Konfusianisme  yang mendominasi peradaban Cina-Jepang (walaupun Huntington melupakan faktor Buddha, Taoisme dan Sinto yang bersama-sama dengan Konfusianime, mendominasi peradaban di kawasan itu).

Hingga kini, baik tesis Fukuyama maupun Huntington masih menjadi kontroversi.
Globalisasi memang punya banyak sisi. Bisa dilihat sebagai gejala homogenisasi dan sekaligus hegemonisasi. Homogenisasi adalah gejala meningkatnya kesamaan di tingkat global.

Sedangkan hegemoninasi adalah konsentrasi kekuasaan pada suatu negara atau peradaban  yang menciptakan pusat (core), yang merupakan hasil konsolidasi pusat hegemonik, dengan pinggiran (periphery) yang mengalami marjinalisasi.

Dewasa ini saja, telah timbul gejala paradoks, di satu pihak globalisasi sebagai gejala baru atau metamorfosis modernitas, dan di lain pihak lahir pula gejala yang disebut pasca-modern.
Globalisasi adalah gejala penyatuan dan penyeragaman, sedangkan pasca-modern merupakan gejala desentralisasi dan keanekaragaman.

Dengan perkataan  lain, globalisasi mengandung integrasi sekaligus fragmentasi, dua gejala yang melahirkan paradoks atau kontradiktif.  Ketika modal menjadi makin mengglobal, maka identitas menjadi semakin lokal. Dengan perkataan lain, globalisme diikuti dengan lokalisme. Ketika Eropa cenderung menyatu, maka Uni Soviet justru pecah bertebaran yang melahirkan negara-negara etno-nasionalis.

Ahli Hubungan Internasional dari Universitas Georgetown, Washington D.C. Amerika Serikat, Dr. M.A. Muqtedar Khan menjelaskan globalisasi sebagai sebuah gejala yang terdiri dari tiga perkembangan utama.

Pertama adalah globalisasi modal dan integrasi ekonomi menjadi satu pasar tunggal. Kedua, perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi yang membuat ruang menjadi cepat tidak relevan. Dan ketiga, konvergensi kepentingan diantara kelompok-kelompok dan timbulnya korporasi multinasional yang memadukan kembali kekuatan-kekuatan sosial pada tingkat global.

Tiga perkembangan yang merupakan gejala tunggal itu sering juga digambarkan sebagai kemunculan sebuah masyarakat  dunia (global society) dan merupakan manifestasi dari budaya dunia (global culture). 

Mirip dengan MacLuhan dengan “global village” nya, dunia ini jadi hanya sebuah desa saja.
Mereka yang memandang globalisasi sebagai integrasi ekonomi, banyak berbicara mengenai “jangkauan mendunia” (global reach), dunia yang tak bertapal batas (borderless world), impian buana (global dreams) dan ujung-ujungnya ke “lenyapnya negara-bangsa” (the end  of the nation-state).

Gelombang pasar bebas dan globalisasi sedang menguji kembali konsep dan kekukuhan (soliditas) dari bentuk “negara-bangsa” (nation-state) di dunia.  Gelombang ini pula yang telah mendorong semua negara untuk menata kembali   negara bangsa” (nation-state corporation) yang sedang dikelolanya untuk bisa masuk dalam integrasi global secara elegan dan percaya diri.
Pemerintah di seluruh dunia sedang berbenah untuk merumuskan kembali peranan mereka untuk menjaga eksistensinya. Dalam era yang serba “market driven”, peran pemerintah juga akan dinilai dari kinerjanya dalam mekanisme pasar. Apakah kinerjanya mengganggu kondisi pasar, apakah kebijakannya membebani keseluruhan sistem karena tidak-mampuannya dalam menjaga keseimbangan. Apakah peran pemerintah sudah efisien dari kacamata manajemen perusahaan modern.

Perdebatan global antara “Market Forces versus Government Forces” amat menarik. Peran pemerintah semakin hari semakin berkurang diambil alih oleh mekanisme pasar, apalagi pemerintah yang lembam, lambat, tidak efisien ditambah lagi korup.  Maka persoalan negara gagal bukan hal yang mustahil, bahkan bisa jadi berimbas pada terancamnya eksistensi negara bangsa. Karena pemerintah semacam itu hanya akan  menjadi beban bagi rakyatnya dan buat keseluruhan sistem karena “high-cost bureaucracy”.

Pemerintah yang korup dan tidak efisien akan berhadapan langsung dengan mekanisme pasar yang semakin hari semakin menawarkan efisiensi dan biaya manajemen termurah tapi dengan layanan terbaik. Mekanisme pasar bebas ini langsung berhadapan dengan rakyat sehingga rakyat secara demokratis dapat menentukan pilihannya.

Indonesia di persimpangan jalan. Kalau tidak segera bertindak dan menyikapi globalisasi dengan tepat, maka Indonesia menuju kehancuran, tanpa disadari, namun pasti akan terjadi. (Bersambung Bagian 2). ■ss

Ayo Berbagi!